ARSITEKTUR, JOKOWI, DAN NASIONALITAS

M. Syaom Barliana

NASIONALISME, tampaknya bukan lagi merupakan tema yang menarik bagi kalangan generasi muda kini. Isu ini hanya sesekali muncul pada saat peringatan hari-hari besar nasional seperti 17 Agustus untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia, 20 Oktober hari kebangkitan nasional, atau 10 November sebagai hari pahlawan. Isu ini muncul pula ketika sesekali duta olahraga memperoleh kemenangan di kancah kejuaraan dunia, atau ketika TKA China berbondong-bondong datang bahkan ketika masa pandemi covid19, atau ketika negara Indonesia bersengketa dengan negara tetangga, seperti dengan Malaysia untuk kasus klaim pulau-pulau terluar Indonesia serta klaim karya seni budaya berupa lagu Rasa Sayange, Reog Ponorogo, atau batik.  

Di sisi lain, dikaitkan dengan konteks ekonomi, sejak 25 tahun yang lalu i Ohmae (1995) sudah meramalkan runtuhnya konsep negara-bangsa.  Menurut Ohmae, nasionalisme adalah sesuatu yang ketinggalan jaman, ketika pengukuhan kebangsaan lebih menilai simbol-simbol yang sekedar melibatkan emosi ketimbang kemajuan kualitas hidup yang riil dan konkret. Akibatnya, negara bangsa pada akhirnya merupakan unit organisasional yang tak alami, bahkan disfungsional, untuk memikirkan tentang aktivitas ekonomi. Dalam ekonomi tanpa batas, kata Ohmae lebih lanjut, setiap rezim statistikal yang menganggap negara bangsa sebagai unit análisis utamanya adalah dan sudah pasti ketinggalan jaman.

Ohmae menyebutkan ada empat “I” yang menyebabkan runtuhnya konsep Negara bangsa, dan akhirnya nasionalisme. Investasi, sebagai I pertama, tidak lagi mungkin dibatasi secara geografis. Melalui pasar modal, uang akan pergi kemana ada kesempatan-kesempatan yang baik. Kedua, industri, orientasinya jauh lebih global ketimbang empat dasawarsa yang lalu. Strategi berbagai perusahaan multinasional modern tidak lagi dibentuk dan dikondisikan oleh alasan-alasan bangsa, tetapi oleh hasrat –dan kebutuhan- untuk melayani pasar yang atraktif dimanapun mereka berada dan untuk menguras berbagai sumber daya dimanapun adanya.  Gerakan investasi dan industri difasilitasi oleh I yang ketiga yaitu teknologi informasi, yang memungkinkan sebuah perusahaan beroperasi di berbagai belahan dunia tanpa harus membangun seluruh sistem bisnis di tiap-tiap Negara sebagai perwakilan. Akhirnya, I keempat, yaitu konsumen individual, juga semakin memiliki orientasi global, dengan selera dan gaya hidup global, yang diarahkan oleh kebudayaan industri ketimbang anjuran atau larangan pemerintah untuk membeli sesuatu barang, misalnya. Dalam era perkembangan yang lebih mutakhir, Kotler (2015) mendesakkan dan mengakumulasikan realitas itu pada  perubahan bersifat eksponensial, yang didorong oleh “the 6Ds: digitalization, deception, disruption, demonetization, dematerialization, and democratization”.

Tanpa perlu merujuk pada pandangan Ohmae sekalipun, tujuan berbangsa dan bernegara, sudah seharusnya memang, adalah pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Ketika tujuan itu tak kunjung tercapai untuk sebagian besar masyarakat, maka pertanyaan tentang masih relevankah sebuah nasionalisme, memperoleh pijakan yang sahih. Pun, nasionalisme, menjadi sesuatu yang sangat abstrak di tengah tekanan ekonomi sosial,   gempuran globalisasi,  kosmopolitalisme, dan transnasionalisme di satu sisi, serta otonomi daerah yang kerap terseret menjadi tribalisme di sisi lainnya.

Namun demikian, untuk supaya tidak terseret pada pesimisme, anggapan dasar dari esai ini, adalah bahwa nasionalisme tetap merupakan sesuatu yang sangat penting dan relevan dalam berkehidupan kebangsaan (Indonesia). Dan karena itu, terus (harus) didengung-dengungkan dengan berbagai cara.

Salah satu cara, yang gegap gempita, adalah jalan arsitektur. Ada suatu masa, ketika arsitektur, baik dilihat dari posisi  Arsitek dalam proses merancang dan  sisi hasil karya, berkontribusi dalam penguatan nasionalisme. Arsitek, dapat merancang karya arsitektur memakai idiom arsitektur lokal, serta memakai sumber daya, teknologi,  dan material lokal, atau sebaliknya justru menggunakan sumber-sumber impor misalnya. Arsitektur sebagai produk, baik berupai artefak, simbol, ataupun mitos,  juga dapat berperan dalam membangkitkan nasionalisme.

Hal itu dapat ditelusuri dari kenyataan sejarah bahwa mencipta dan menata ruang kota, merancang dan membentuk ruang  arsitektur,  sesungguhnya adalah menata citra dan identitas bangsa. Ketika sebuah bangsa, sebuah nasionalisme, adalah suatu pembayangan tentang sebentuk masyarakat yang wujudnya tak pernah nyata, maka “identitas” arsitektur dibutuhkan untuk membedakan “aku” dengan “kamu, “kami” dengan “mereka”,  dan bahkan menandai teritorialitas melalui landmark  yang memisahkan antara nasion yang satu dengan nasion yang lain.   Hal ini bisa dipahami, karena komunitas terbayang itu, adalah komunitas manusia yang kehidupan kesehariannya berlangsung dalam ruang  yang teraga dan dibingkai oleh arsitektur. (Anderson, 1983; Grosby, 2005;  Tjahyono, 2003; Kusno, 2013).

Dalam konteks kekuasaan dan politik,   “nasionalisme”  sering merupakan suatu proyeksi yang diperlukan oleh penguasa untuk mencapai suatu cita-cita. Dengan demikian, slogan “demi bangsa” adalah gabungan politis, yang mendorong sejenis pembayangan yang sungguh-sungguh murni dan tanpa pamrih, atau lebih kerap mudah diperdaya oleh penguasa untuk mencapai tujuannya, termasuk melalui arsitektur.

Arsitektur tidak hanya mampu mewadahi aktivitas manusia dalam dalam batas ruang yang diproduksinya, tetapi juga mampu menyampaikan makna dengan tafsir tertentu.  Karena itu, karya arsitektur dan ruang perkotaan mudah menjadi media penyampaian pesan politis seorang penguasa. Banyak bukti sejarah yang memperlihatkan  bahwa kaisar, raja, dan pemimpin negara lainnya, mendirikan bangunan dan ruang kota yang monumental untuk membangkitkan suasana khusus dalam membentuk identitas, menjaga wibawa, membina semangat, atau bahkan mengancam rakyatnya.

Menengok sejarah, yaitu pada masa awal kemerdekaan, ketika keadaan rakyat  masih sangat rawan konflik dan tercerai-berai, karena pertentangan ideologi, perbedaan kepentingan politik, serta ancaman disintegrasi bangsa.  Sukarno sebagai Presiden pertama Republik Indonesia melihat hal itu dan mencoba menggiring bangsa dengan citra baru sebagai pengikat dan pemberi arah. Dengan latar belakang  pendidikan insinyur sipil/arsitektur, Sukarno memilih arsitektur sebagai salah satu jalan –dan sekaligus mitos- untuk membangun citra itu.  Citra baru yang dibangun lewat arsitektur, sekaligus menunjukkan bahwa betapa bangsa baru ini mampu membuat sesuatu yang besar, sesuatu yang monumental pada zamannya, suatu nasion.   

Ada sejumlah infrastruktur dan bangunan yang merepresentasikan gagasan Sukarno tentang nasionalitas dan kebanggaan sebagai bangsa, diantaranya adalah gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces, yang tidak jadi diselenggarakan), dan sekarang menjadi gedung MPR DPR gedung Ganefo – Senayan (sekarang Gelora  Bung Karno),  Masjid Istiqal,   dan Monumen Nasional (Monas).  Fenomena ini, tentu dapat dibaca sebagai upaya Sukarno untuk melepaskan diri dari citra kolonialisme yang membelenggu, suatu keterputusan dari masa lalu yang kelam, dan mewujud kemudian sebagai bangsa merdeka yang modern.

Soeharto yang menggantikan Sukarno, berupaya menghapus apa yang telah dilakukan oleh pendahulunya. Ingatan kolektif bangsa dicuci dengan citra, bentuk, dan perhatian baru. Keriuhan revolusi digantikan oleh derap pembangunan. Perspektif tentang bagaimana bangsa ini akan dibawa juga berbeda, karena Suharto menegaskan tata tertib sebagai pengisi ruang kota melalui penciptaan ketakutan massal di jalan. Demikianlah, melalui ibu negara Tien Suharto, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) digagas sebagai cerminan dari konsep pemersatu bangsa “bhineka tunggal ika”, suatu keragaman artifisial dari kekayaan bentukan fisik arsitektur tradisional,  yang lalu dipusatkan di Jakarta.  Sementara itu, Masjid Pancasila menyebar ke mana-mana, menyatukan wujud baku masjid,  bentuk segi lima, cermin simbolik Pancasila. Tuturan bentuk arsitekturnya mengacu pada  kebudayaan arsitektur Jawa.

Dengan berbagai kontroversi yang menyertai sosok dan karya kedua pemimpin bangsa itu, walau bagaimana pun harus diakui bahwa bagi generasi tua,  karya-karya arsitektur itu telah berkontribusi dalam membangkitkan kebanggaan sebagai bangsa (nasionalitas) maupun sebagai (bangsa) etnisitas.

Akan halnya presiden Indonesia hari ini, Jokowi, yang ingin dikenang sebagai bapak infrastruktur Indonesia, (mungkin) melihat juga jejak kekuasaan dan nasionalisme pada arsitektur. Salah satu gagasannya adalah pemindahan ibu kota Jakarta ke Kalimantan. Rencana pemindahan ibu kota ini sudah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Jika tidak terkendala pandemic Covid19, dengan segala kontroversi yang menyertainya, rencana ini konon akan dieksekusi pada masa jabatannya yang akan berakhir tahun 2024. Arsitektur ibukota baru ini, (seharusnya) akan menjadi salahsatu legacy Jokowi.

Di luar persoalan lingkungan, teknologi smart city, asumsi kota futuristik, dan biaya investasi, jika diletakkan dalam konteks relasi arsitektur, kekuasaan, dan nasionalitas, ada tiga hal menarik yang dpat diungkap dari rencana ibu kota baru ini. Ketiganya, tampaknya punya singgungan dengan ide dan hasrat Sukarno atau Suharto.

Pertama, pilihan lokasi di Kalimantan, tepatnya di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, secara pragmatis didasarkan kepada ketersediaan lahan di luar Jawa yang masih sangat luas. Namun demikian, dari sisi nasionalitas, ini merupakan antitesa dari orientasi Suharto yang Jawa sentris. Meskipun sama-sama berdarah Jawa, Jokowi mencoba bersikap seimbang, termasuk antara lain memberi perhatian khusus pada Papua. Atau, sekedar memakai pakaian adat Baduy pada pidato kenegaraan 16 Agustus 2021, sebagai simbol kepedulian pada masyarakat adat.  Di sisi lain, jika Sukarno mencoba merekatkan nasionalitas dengan kebanggaan dan monumentalitas arsitektur di Jakarta, Jokowi memilih Kalimantan sebagai simbol penyebaran akses dan pemerataan pembangunan.

Kedua, pilihan terhadap pemenang pertama sayembara desain arsitektur, yaitu Nagara Rimba Nusa, yang dirancang oleh Arsitek Sofian Sibarani dan Tim Urban+, menegaskan hasrat yang sama dengan Suharto, meneguhkan Pancasila, sebagai ideologi dan pemersatu bangsa.  Menariknya, Suharto mewujudkan ekspresi simbolik Pancasila itu pada arsitektur masjid, Jokowi pada arsitektur ibu kota. Dalam rancangan tersebut, identitas kebangsaan diekspresikan  dalam ikon arsitektur seperti: Danau Pancasila dengan bangunan di sekitarnya yang mencerminkan lima sila Pancasila; Bhinneka Tunggal Ika Plaza; Sila kesatu berupa komplek Religi Nasional, Sila kedua berupa Museum Peradaban Indonesia, Sila ketiga berupa Monumen Persatuan Indonesia, Sila keempat berupa Plaza Demokrasi, Sila kelima berupa transit dan pasar rakyat.

Ketiga, elemen Trias Politika diwadahi dengan membuat axis pemerintahan yang sejajar, yakni legislatif dan yudikatif (sebelah kiri dan kanan) serta Istana Negara (tengah) yang merangkul legislatif dan yudikatif. Menariknya, ada konsep desain arsitektur Istana Negara karya pematung Nyoman Nuarta,  yang cukup kontroversial.

Kontroversinya, bukan karena, lagi lagi, Pancasila menjadi obsesi dan rujukan utama, melalui  stilasi Burung Garuda Pancasila sebagai ikon arsitektural Istana Negara. Namun lebih kepada bentukan arsitekturalnya. Ada banyak kritik kepada konsep desain ini.  Antara lain,  karya Nuarta, sejalan dengan katarbelakang kepakarannya, tampaknya lebih merupakan karya sculptur ketimbang arsitektur. Dari segi konsep arsitektur hemat energi dan arsitektur berkelanjutan, karya ini diprediksi akan  boros energi dan tidak ramah lingkungan. Dari segi orientasi waktu, ekspresi arsitektur terkesan lebih bernuansa masa lalu daripada merepresentasikan kota futuristik.

Diadaptasi  dari dan untuk pendalaman lihat buku: Arsitektur, Kekuasaan, dan Nasionalitas

Referensi:

Anderson, Benedict (1983), Imagined Communities. London: Verso Edition and NLB

Grosby, Steven (2005). Nasionalism. Oxford University Press.

Kotler, Steven (2015). The 6 Ds Of Exponentials. Tersedia di: https://thought catalog. com/
Kusno, Abidin (2013) After the New OrderSpace, Politics, and Jakarta. Hawai: University of Hawaiʻi Press 

Ohmae, Kenichi  (1995), The End of the Nation State: The Rise of Regional Economies. New York: The Free Press

Tjahyono, Gunawan (2003). Gagasan Bangsa dalam Politik Arsitektur dan Ruang Kota.  Jakarta: Kompas