Lapis Legit: Komunitas Keroncong Agar Kian Melejit

NET
NET

Bengawan Solo riwayatmu kini
Sedari dulu jadi perhatian insani

KETIKA lagu itu mengalun anggun, tidak hanya saja nada yang akan kita dengar. Lebih dari itu, dalam merdu melodinya kita akan terlempar pada sejarah musik keroncong yang mengakar. Sontak mulut kita ikut menyanyikannya, tangan kita ikut ketukannya, atau bahkan tubuh kita tak tertahankan untuk ikut berlenggok bergoyang. Bukan hanya kita, banyak warga manca negara hafal lirik itu. Tapi siapa sangka, lagu yang diakui kemerduannya oleh berbagai bangsa ini diciptakan sebelum Indonesia merdeka, pada tahun 1940. Lebih jauh lagi, musik keroncong yang berakar dari musik fado asal Portugis ini masuk ke Indonesia mulai abad 17, dan mulai berkembang sejak tahun 1920-an. Jadi, ketika kita ulangi lagu lagu “Bengawan Solo” di atas, bukankah kita akan langsung terkagum karena setiap nadanya membawa riwayat sejarah sejak puluhan tahun silam? Dan kalau kita sedikit merenung, kita akan langsung berpikir, apakah musik ini masih tetap ada?

Di dunia ini tidak akan ada yang tiada selama masih ada yang menjaga. Apalagi suatu produk kesenian yang menawan. Untungnya, keroncong memiliki daya magis tersendiri untuk menyihir hasrat musisi Indonesia agar menggelutinya. “Salah satunya musik keroncong ini kelebihannya adalah akulturasi musik barat dan timur, itu merupakan perpaduan. Berbeda dengan band metal yang udah taulah itu dari mana, gamelan yang kita juga udah tau itu dari mana asalnya, kalo keroncong ini tuh alat musiknya dari barat, kemudian pola permainannya itu ola permainan gaya Indonesia yaa itu gaya gamelan. Dia terbentuk atas akulturasi itu sendiri,” ujar Aldi salah satu personil dari Lapis Legit, komunitas musik keroncong yang dipunggawai mahasiswa seni musik UPI.

Memang, manisnya nada keroncong akan memiliki daya tarik tersendiri sehingga masih ada yang terus tertarik mencicipinya. Karena manisnya nada keroncong itu pula, komunitas pencinta musik keroncong ini menamai komunitas mereka dengan nama “Lapis Legit”. Selain itu, Lapis Legit tentu identik dengan budaya khas nusantara. “Komunitas ini awalnya hanyalah sebuah grup kecil yang terbentuk tahun 1998, adik tingkat yang melihat kakak tingkatnya main, mereka ikut ikutan lalu misalnya ada panggilan pekerjaan gabung main bareng. Nah sekitar dua tahun kebelakang tepatnya tahun 2013 komunitas ini dijadikan sebagai wadah pecinta musik keroncong, agar regenerasinya itu lebih terstruktur dengan baik,” lanjut Aldi sambil tersenyum mengenang sejarah komunitasnya sendiri.

Tapi, ketika tubuh, pikiran, dan mental punggawa Lapis Legit berjuang untuk melestarikan musik keroncong, masyarakat pada umumnya masih terpikat dengan musik industri yang melena. Jangankan di masyarakat umum, di kalangan mahasiswa seni musik UPI sendiri pun mereka pernah merasa menjadi komunitas yang tersisihkan. “Ada cerita sedikit, tanpa disadari keroncong ini mulai popular dikalangan anak seni musik. Awalnya hanya saya dan tiga rekan saya yang berani memainkan musik ini, karena yang lainnya masih malu malu untuk memainkan musik keroncong ini, adik-adik kelas kita itu cuma lalu lalang terlihat tidak tertarik atau karena kita hanya menjadi kaum minoritas di sini, kemudian ada beberapa anak yang mau bergabung dan kemudian kami jadikan musik ini popular dikalangan anak seni musik,” Awong berbicara dan dimatanya tertangkap rasa kegelisahan karena di rumahnya sendiri pernah merasa tersisihkan.

Ketika di dunia akademis di mana seharusnya berbagai aliran musik hadir dan terus dikembangkan, musik keroncong pun ternyata masih belum menjadi aliran musik yang diidolakan. Apalagi di masyarakat umum yang terus digempur dengan industri musik dan industri media. Mereka disesaki dengan aliran musik yang mudah diciptakan oleh kepentingan pasar. “Memang betul keroncong itu dianggapnya ada di bawah tanah, namun sebenarnya dibawah tanah itu ramai, tapi orang-orang sekarang yang menanggap dirinya berada dipermukaan tidak tau bahwa dibawah itu ada kota,” tutur Galih.1

Awong pun menambahkan kegelisahannya, “Nah di TV tuh yang dilihat tuh misalnya ST12 yang melayu melayu gitu kan, bukan berarti musik yang di TV itu jelek tapi selera masyarakat itu diciptakan brand imagenya itu dari pada apa yang media tawarkan pada mereka. Mungkin salah satunya kalua musik kita ingin masuk ke semua kalangan itu harus sering ditayangkan juga, karena orang kita itu orang yang tidak produktif. Menonton TV saja bisa melebihi orang yang mencari kerja. Kenapa musik dangdut misalnya, mendapatkan rating yang bagus karena banyak masyarakat yang menonton tayangan dangdut. Jadi semakin banyaknya media yang menayangkan musik keroncong, mungkin brand image masyarakat itu akan berubah. Masyarakat cenderung akan mudah terpengaruh paparan media, karena apapun yang media tawarkan mereka anggap itu merupakan trend dan sedang happening.

Industri musik terus menciptakan bahwa musik kekinian ialah musik yang ditayangkan di televisi. Fenomena itu pula yang menambah sulit perjuangan punggawa Lapis Legit untuk semakin mengangkat musik keroncong ke permukaan. Hal itu dijelaskan oleh Awong, bahwa dengan pandangan bahwa musik keroncong adalah musik kolot, maka tantangan bagi musisi keroncong akan semakin berat. Padahal, seperti kegiatan komunitas Lapis Legit, musisi keroncong pun tidak diam untuk merespon pandangan tersebut, mereka terus berinovasi dan menciptakan musik-musik yang dianggap kekinian tetapi tetap dalam nuansa keroncong. Misalkan musik pop yang dimainkan oleh konsep keroncong. Tetapi, tentu tidak sepenuhnya digubah demi mengikuti selera pasar, mereka tetap istiqamah dalam menjaga kemurnian musik keroncong. “Kalian bebas mengeksplor keroncong ini gimana tentu kalian harus memahami musik keroncong ini aslinya seperti apa. Sebagai generasi muda ya kita harus tau bagaimana dulunya generasi yang sudah sudah menulis sejarah keroncongnya,” tegas Awong.

Namun, siapa sangka, gempuran industri ternyata membuat mimpi-mimpi indah para musisi keroncong terusik. Mereka harus melihat realitas ketika terus meneratas agar musik keroncong berada di chart musik Indonesiapaling atas. Kini, mimpi musisi keroncong sangat sederhana, bagaimanapun caranya msuik keroncong itu harus tetap jaya meskipun dunia ini kiamat, meskipun langit telah menjadi black hole, seperti yang dituturkan oleh Awong. Meskipun semakin sulit gerak kami untuk mempopulerkan kembali musik keroncong, tetapi semangat untuk melestarikan warisan terbaik dari bangsa Indonesia agar masih terjaga dari generasi ke generasi harus tetap menyala.

Tekad dari seluruh punggawa Lapis Legit ini pun semakin tertanam jauh di dalam tekad, dan kehidupan mereka ketika mereka tampil di hadapan Ibu Waldjinah yang sekaligus menjadi pengalaman terbaik Aldi, Awong, Galih, dan Wendy. “Pengalaman yang paling berkesan adalah saat mengunjungi rumah ibu Waldjinah dan bertemu dengannya merupakan suatu kebanggaan bagi kami, disana kami membawakan lagu yang diciptakan oleh tetua musik keroncong dimana lagunya itu bercerita tentang ibu Waldjinah. Disana semuanya menangis karena terharu mungkin ya bernyanyi di hadapan iconnya musik keroncong ya bisa dibilang ibunya Kerontjongers Indonesia. Bisa dikatakan beliau adalah pahlawannya keroncong, beliau selalu memberi banyak petuah untuk kami, beliau mempertahankan musik keroncong layaknya prajurit perang yang membela negara. Selain itu, pengalaman yang berharga disini adalah mempunyai keluarga baru, yang bukan hanya sekedar formalitas bertemu saat latihan saja namun sudah seperti ada keterkaitan satu sama lain dalam bermain musik keroncong ini karena kekeluargaanya yang luar biasa.”

Tekad Lapis Legit yang akan meneruskan perjuangan Ibu Waldijnah sebenarnya telah lama tertanam dalam jargon mereka bermusik. Galih menambahkan, “Sebelum bertemu dengan ibu Waldjinah pun sepertinya sudah sangat melekat do’a dalam diri kami dengan ada slogan ‘Long Life Kerontjong’, itu terinspirasi oleh do’a nya para bawahan Ratu Inggris, ‘Long Life The Queen’, akhirnya kami ambil do’a itu yang diperuntukan untuk sang Ratu agar tetap sehat, panjang umur dan sebagainya, dan pada saat kita terjun do’a itu mungkin nempel di pundak kami, dan musik keroncong.” Dengan jargon itu mereka akan terus melakukan kerja lewat tubuh dan pikiran dalam sebuah karya luar biasa agar musik keroncong tetap jaya.

Tidak hanya dalam jargon saja, mereka benar-benar mewujudkannya dalam kehidupan. “Komunitas keroncong ini merupakan salah satu prioritas dalam kehidupan pribadi kami, setelah keluarga, pekerjaan dan pasangan masing-masing. Jadi ya membagi waktunya gampang karena sudah menjadi skala prioritas kami,” ujar Awong yang diamini seluruh penggiat musik keroncong di Komunitas Lapis Legit ini. Mereka pun mengungkapkan, bahwa kekuatan lain mereka terus menggeluti keroncong di komunitas Lapis Legit adalah bahwa komunitas ini tidak sekadar menjadi komunitas musik, tetapi suatu keluarga yang memiliki tujuan hidup bersama. Karenanya, ketika mereka bermain musik bersamaan, ada nuansa kedekatan yang sangat dirasakan.

Harapan mereka pun, disandarkan pada empat unsur kehidupan sosial yang dapat mengangkat kembali musik kercongong di Indonesia ini. “Sebenarnya ada empat unsur yang dapat mengulang kembali kejayaan keroncong, kalau jaman dulu keroncong ini sudah sangat popular di kalangan masyarakat, namun sekarang ini keempat unsur ini harus sangat terkait sebagai pondasi untuk mengangkat kembali kejayaan musik keroncong yaitu media, pemerintah, akademisi dan seniman. Nah, yang sangat kurang dari keroncong itu banyak, seniman memang banyak namun media yang masih terbatas untuk mengeksplor musik keroncong, pemerintah juga masih belum melirik keberadaan musik keroncong dibeberapa wilayah. Sebenarnya terdapat fakta yang dapat membuat kita untuk naik ke permukaan seperti masa lalu itu ada. Jadi kalau banyak orang yang ruang lingkup dimensinya berkaitan dengan keroncong mungkin musik ini akan kembali berjaya dan popular lagi,” harapan Galih kepada berbagai pihak.

Nada populer akan terus berseliweran di gendang teling masyarakat kita di tengah penetrasi industri musik dan industri media. Tapi, ada musisi keroncong yang masih menyadari bahwa nusantara mewariskan nilai tradisi yang dapat memikat hati dan menggetarkan nurani. Komunitas Lapis Legit akan terus bangkit, demi musik keroncong agar kian melejit. (Mia Audina, mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FPIPS – UPI)