Mahasiswa Departemen Pendidikan Seni Tari FPSD UPI Menggelar Dramatari Purnamasari Silalatu Pajajaran

Bandung, UPI

Departemen Pendidikan Seni Tari FPSD UPI menggelar pertunjukan dramatari dengan judul Purnamasari Silalatu Pajajaran di teater tertutup Taman Budaya Dago Tea House, Jalan Bukit Dago Atas, kota Bandung, Senin (17/6/2019). Pertunjukan dramatari ini merupakan persembahan Mahasiswa Departemen Pendidikan Seni Tari angkatan 2016 sebagai aplikasi dari perkuliahan.

Ayo Sunaryo, M.Pd., salah seorang dosen pembimbing menuturkan pagelaran ini mengisahkan kepahlawanan putri Purnamasari anak dari Prabu Siliwangi yang membela kerajaan Pajajaran dan kisah cinta yang membuat ia hancur selama hidupnya.

Pihaknya pernah menggarap teater perang Bubat tentang perang antara Kerajaan Pajajaran dengan Majapahit pada tahun 2016, lalu kisah Sang Hyang Hawu atau Prabu Jaya Perkasa yang menjadi Raja Sumedang Larang dan sebelumnya sebagai Patih di Kerajaan Pakuan Pajajaran di tahun 2017.

” Pada pagelaran dramatari hari ini, kita mengggarap tentang putri Purnamasari : Silalatu Pajajaran. Jadi dramatari yang digelar hari ini merupakan rangkaian dalam mengungkap kisah dan sejarah Kerajaan Pajajaran,” ujar Ayo.

Dikatakan Ayo Sunaryo, cerita putri Purnamasari sarat dengan nilai-nilai historis lokal yang harus diketahui generasi jaman sekarang. Oleh karena itu, tema ini diangkat karena anak muda sekarang masih kurang untuk menghayati naskah sejarah terutama sejarah yang ada di Jawa Barat.

Dalam proses persiapan pagelaran sendiri cukup lama, kurang lebih 3 bulan. Kesulitannya, dalam menuangkan cerita dalam naskah dalam sebuah koreografi karena naskahnya sendiri disakralkan sehingga tidak bisa dibaca dan ditelaah secara utuh. Hanya berdasarkan informasi-informasi pokok yang disampaikan langsung pewaris naskah.

Dalam dramatari sendiri, sekitar 250 mahasiswa Departemen Pendidikan Seni Tari FPSD UPI terlibat secara langsung. Baik sebagai pemeran dalam dramatari, pemusik, hingga dalam kepanitiaan pagelaran.

” Untuk mahasiswa angkatan 2016, terlibat sebagai pemeran dan menjadi salah satu bahan penilaian akademis. Mulai dari penilaian secara koreografi, manajemen pertunjukan, hingga publikasi,” tegasnya.

Menurut Ayo, saat ini apresiasi mahasiswa terhadap naskah-naskah sejarah di Jawa Barat sudah menunjukan peningkatan asalkan kita bisa mengemas secara profesional untuk kebutuhan pertunjukan maka akan lebih menarik minat dari anak muda jaman sekarang baik dari kalangan siswa pelajar, mahasiswa maupun para apresiator seni khususnya seni pertunjukan.

“langkah strategis dalam mewariskan budaya lokal kepada generasi sekarang tentunya tidak mudah, perlu kemasan baru supaya mereka bisa memahami sejarah tersebut, dengan seni pertunjukan maka naskah tersebut bisa mereka pahami”, kata Ayo.

Ia berharap, kepada generasi sekarang, dalam mengemas seni pertunjukan untuk mengedepankan naskah-naskah lokal karena hal ini masih kurang diminati untuk digarap, padahal naskah lokal ini sarat dengan nilai-nilai histori tentunya jika pertunjukan seni ini digarap dengan kondisi saat ini maka naskah lokal tersebut tidak lagi dianggap naskah kuno.

Sementara itu, Pewaris Pantun Pajajaran Bogor/Kabuyutan Giri Tresna Wangi, Ki Kalong Hideung Edi Yusuf mengaku sudah cukup puas dengan pengejawantahan naskah Purnamasari : Silalatu Pajajaran dalam pagelaran dramatari. Dengan persiapan relatif singkat dan pertemuan hanya sekitar empat kali, sudah mampu membuat pagelaran yang luar biasa. Edi Yusuf menilai dramatari tersebut cukup bagus dan sesuai dengan jalur.

” Saya memang hanya memberi poin-poin penting saja, tapi bisa diterjemahkan oleh mahasiswa UPI hingga sedemikian rupa bahkan segi pendalaman karakternya pun bisa terlihat. Memang ada beberapa hal yang harus diperbaiki, tapi pada prinsipnya sudah luar biasa dan sudah cukup baik,” pungkas Edi Yusuf.

Meski demikian lanjut Ki Kalong Hideung, ada pesan dari salah satu tokoh yang belum tereksplor pada drama tari tersebut. Pesannya, dilarang saling menjelekkan/ menghujat ajaran agama lain, mungkin kemasannya susah, sehingga pada waktu gugurnya R.Kubang Bagus Setra tidak maksimal. Padahal, itu sangat penting buat kerukunan bangsa dan negeri ini,” ujarnya.

Ia berharap, misteri tentang mata rantai sejarah Pajajaran, dijadikan kajian ilmiah sehingga pada suatu saat bisa terbukti dan dijadikan sebagai rujukan sejarah. Karena di dalam pantun ini (Pantun Pajajaran Bogor) ada nuansa kepajajaran baik dalam ideologi, politik, sosial maupun budaya.

Nur Fachmi, yang memerankan tokoh Ratu Purnamasari mengatakan bahwa dirinya menemukan  kesulitan dalam memerankan putri dari salah satu Raja Pajajaran tersebut. Salah satunya dalam mendalami karakter Ratu Purnamasari yang ladak (gagah) sekaligus sebagai ratu yang lembut.

” Saya harus memiliki rasa dan chemistry dalam memerankan peran saat situasi perang atau memerankan peran menjadi seorang istri atau saat bersama suami dan anak. Disitulah kesulitannya. di satu sisi gagah tapi di satu sisi lain harus lemah lembut. Alhamdulillah, dari penampilan tadi, saya cukup puas meski dengan persiapan latihan yang singkat,” ujar Nur Fachmi.

Selain bisa memerankan seorang ratu dari Kerajaan Pajajaran, Nur Fachmi pun mengaku mendapat berbagai pelajaran berharga. Selain bisa mengetahui sosok seorang ratu Purnamasari, dirinya pun bisa mengetahui sejarah dari kerajaan terbesar di Jawa Barat yakni Pajajaran. ” Saya jadi tahu (Kerajaan) Pajajaran itu seperti apa saat dulu. Semoga dengan adanya Dramatari ini generasi milenial saat ini bisa lebih ingin mengetahui sejarah yang sebenarnya dari yang belum mereka ketahui,” tegasnya. (DN)