Manusia Milenium, “Robot” Kemanusiaan atau untuk Diri Sendiri?

2Bandung, UPI

Silverman kerap kali ditemukan di perempatan jalanan Kota Bandung. Mereka biasanya meminta sumbangan dengan melakukan atraksi pantomime, atau gerak-gerik kaku seperti robot tanpa berkata-kata dan menghampiri mobil pada saat sedang lampu merah. Biasanya mereka ditemukan berkelompok, setiap perempatannya diisi sekitar empat orang silverman. Namun, pada saat lampu lalu lintas sedang merah, mereka langsung berpencar menghampiri mobil.

Meminta sumbangan dengan cara seperti ini memang terlihat unik dan tidak biasa. Sehingga dapat mencuri perhatian si pengendara. Dengan membawa kardus kotak bertuliskan “peduli yatim piatu”, banyak juga pengendara yang iba melihat aksi manusia silver ini. Namun,tidak sedikit pula pengendara yang tidak menyisihkan uangnya untuk menyumbang. Kemungkinan besar mereka ragu akan kebenaran hasil uang yang manusia silver dapatkan.

Disisi lain mereka memang peduli dengan nasib yatim-piatu. Tapi, disisi lain juga mereka ingin memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sampai rela membalut tubuhnya menggunakan cat yang cukup berbahaya bagi kulit. Apalagi tanpa baju dan hanya memakai celana pendek saja.

Dea contohnya, remaja berusia 13 tahun ini tidak lagi melanjutkan sekolahnya dan memilih menjadi silverman atau manusia silver. “Yaaa untuk refreshing aja sih ikutan ini,” tutur Dea memberi alasan, mengapa ingin menjadi silverman.

Belum masuk usia kerja, sekolah pun tidak. Ia dipantau oleh beberapa orang pinggiran dan tiga rekan sesama silverman di perempatan Cihampelas Bandung. Tubuhnya dilumuri cat berwarna abu-abu mengkilap begitu menusuk ke dalam kulit ditambah dengan teriknya sinar matahari sore itu. Rambut hingga kaki terlihat sangat kaku seperti robot. Ia pulang, membersihkan seluruh tubuhnya dari cat menggunakan sabun cair pencuci piring.

Pada mulanya jumlah manusia silver ini sedikit dan mengisi setiap jalanan di daerah Dago Bandung, tetapi sekarang jumlahnya semakin banyak. Biasanya mereka diantar oleh mobil bak terbuka,kemudian diturunkan di tiap perempatan jalan.

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di Kota Bandung menganggap para silverman ini merusak kindahan dan kenyamanan kota. Maka, mereka melakukan operasi razia para pengemis, pengamen dan silverman yang terjaring operasi razia dan diangkut oleh petugas Satpol PP dengan mobil bak terbuka.

Dea mengatakan, bahwa silverman ini merupakan sebuah komunitas. Namun bisa dikatakan komunitas tidak resmi. Pusatnya terletak di jalan Pasteur Bandung. Tidak sedikit yang menjadi anggota dari komunitas silverman dengan mengatasnamakan “Santunan untuk Komunitas silverman” atau “Santunan untuk Yayasan Yatim Piatu.”

Dilihat dari segi usia, silverman tampak beragam, terdiri atas ibu-ibu muda, anak-anak sekolah maupun tidak sekolah, usia dewasa, laki-laki maupun perempuan. Tidak diketahui ilegal tidaknya komunitas dengan cara meminta sumbangan berupa uang pada orang lain. Jika resmi, tidak ada yang namanya “disterilkan”. Menurut salah satu situs online yang mengatakan bahwa manusia silver disterilkan dan diberi pekerjaan untuk membersihkan kawasan sekitar Braga- Asia Afrika Bandung. Selain membahayakan kulit, kemungkinan besar komunitas ini tidak ada kaitannya dengan panti asuhan maupun memiliki surat izin. Maka, komunitas ini di sterilisasikan.

Mereka rela berdandan seperti itu di tengah teriknya matahari sambil menyodorkan kotak sumbangan tanpa peduli rasa malu. Tapi jika itu mereka lalukan untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan dalih rasa peduli, hal ini sama saja dengan pengemis dengan variasi baru. Malah tidak ada kejelasan informasi tentang panti asuhan yang mereka gadang-gadang sebagai tujuan penyaluran dan sumbangan.1

Hasil sumbangan yang Dea dapatkan dari mobil ke mobil, kemudian disatukan dengan hasil yang didapatkan rekan-rekan silverman lainnya. “Iya dikumpulkan, disatuin, terus disetorkan ke yayasan panti asuhan yang ada Buahbatu,” ungkap Dea.

Pendapat lain dari salah seorang silverman juga mengatakan, “Iya, jika terkumpul sampai Rp 5 juta, kami menyumbangkannya ke lembaga-lembaga anak yatim piatu atau panti asuhan,” kata Edi datar.

Edi biasanya mendapatkan Rp 30.000 per hari untuk keperluan hidupnya. Makan pun sudah dijamin dari komunitasnya tersebut. Menjadi manusia silver dijalani Edi dengan senang hati. Hasilnya dipakai untuk menyambung hidup, dan membantu orang lain.

Meskipun belum diketahui kebenaran hasil uang yang disetorkan. Namun, dari gerak-gerik teman sesama silverman yang meminta Dea untuk segera pergi dari perbincangan. Sangat meyakinkan bahwa, hal itulah yang tidak boleh dibocorkan oleh Dea kepada kami. Selain mengatasnamakan Yayasan Panti Asuhan, silverman juga seringkali berulah. Yaitu, meminta uang dengan cara memaksa. Seperti,menggeret mobil pengendara yang tidak memberinya uang.
Tidak sedikit pengendara yang ragu untuk mendonasikan uang mereka. Apakah banyak manfaat dibandingkan mudharat? Maka, lebih banyak yang tidak menyumbang. Kalaupun ada juga, karena kasihan melihat aksi mereka di bawah terik sinar matahari tanpa dibalut baju. Selain itu pula banyak yang memilih untuk menyalurkan dana zakat, infak, sedekah kepada sebuah lembaga yang jelas dan bisa lebih dipercaya. (Dessy Nurrachim, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FPIPS UPI)