Mempelajari Sembilan Nilai Gotong Royong dalam Waktu 60 Menit

3PERDAMAIAN, suka cita, disiplin, kerendahan hati, kasih sayang, kearifan, kepedulian, kesabaran dan kesetiaan merupakan sembilan nilai gotong royong yang diberikan secara cuma-cuma di Pasar Budaya UPI 2015. Terdapat puluhan stand yang berisikan budaya yang ada di Indonesia seperti Tari Merak, batik, teh tarik, panen padi, Jaipong Indramayu, cendol, wayang golek, rendang dan lain-lain. Setiap stand memiliki aktor budaya yang berasal dari suku asli atau daerah masing-masing, sehingga para peserta bisa mendapatkan ilmu dari narasumbernya secara langsung.

Salah satu stand yang dikunjungi di Pasar Budaya UPI 2015, Rabu (13/05/2015) adalah Turun Tanah atau dalam bahasa Sunda disebut Mudun Taneuh yang berasal dari Cirebon Jawa Barat. Budaya ini merupakan tradisi orang Cirebon secara turun temurun dari nenek moyangnya. Biasanya, Turun Tanah dilaksanakan sebagai bentuk syukur orang tua dan keluarga kepada Tuhan karena telah diberikan anak atau bayi yang menuju fase belajar berjalan.5

Hal-hal yang harus dipersiapkan saat akan mengadakan Turun Tanah di antaranya air dengan kembang tujuh rupa, kursi, tangga, makanan khas dari daerah asal, kendi, telur ayam, dan piringan yang  telah diisi berbagai macam bahan seperti tanah, pasir, bubur merah, bubur putih, kotoran hewan, padi, gabah, ketan dan terakhir adalah kurungan ayam yang di dalamnya terdapat berbagai macam mainan anak kecil.

Berikut adalah tahap-tahap prosesi Turun Tanah yang disampaikan aktor budaya. Bayi dimandikan dengan air kembang tujuh rupa lalu dikenakan pakaian yang bagus dan rapi. Setelah itu pegang bayi di atas kursi dan turunkan ke tangga yang di bawahnya terdapat makanan khas seperti sesajen namun bisa dikonsumsi setelah acara usai.

Ini diartikan sebagai perkenalan dan permohonan perlindungan untuk sang bayi kepada para arwah nenek moyang. Setelah menuruni tangga, bayi menginjak piring yang telah berisikan bahan-bahan yang mengandung arti tersendiri. Seperti tanah dan pasir yang berati kebumian, bubur putih dan bubur merah berarti sebagai kesucian dan kewibawaan, kotoran hewan yang diibaratkan sebagai rintangan dalam kehidupan, padi dan gabah sebagai rintangan kecil dan terakhir adalah ketan dengan tekstur yang lengket berarti bayi tersebut ketika besar harus selalu mengingat kampung halaman dan tanah airnya.6

Setelah melalui proses menginjak piring, bayi dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang di dalamnya terdapat berbagai macam jenis mainan. Mainan tersebut merupakan pemberian dan harapan orang tua kepada sang anak ketika besar nanti, misalnya buku dan alat tulis karena harapan orang tua anaknya kelak ingin menjadi seorang guru, alat masak mainan karena ingin menjadi seorang koki, bola karena ingin menjadi seorang atlet, mobil-mobilan karena ingin anaknya menjadi seorang pembalap, dan lain-lain.

Di dalam budaya Cirebon, jumlah anak tangga dan piringan biasanya merupakan angka ganjil karena menurut narasumber Islam identik dengan angka ganjil. Selain itu proses Turun Tanah tidak lepas dari sisi keislamannya karena selama prosesi seluruh keluarga, kerabat atau tetangga yang datang melantukan sholawat. Hal tersebut dipengarungi oleh tradisi para wali di zaman dahulu saat menyebarkan dan mendakwahkan agama islam di tengah warga yang masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.

Itulah salah satu kebudayaan yang didapatkan di Pasar Budaya UPI 2015. Masih banyak puluhan budaya dan pelajaran dari 9 nilai gotong royong yang bisa didapatkan di acara ini. Meskipun waktu setiap peserta di Pasar Budaya ini hanya sekitar 60 menit namun banyak sekali hal baru yang didapatkan. Pasar Budaya UPI 2015 adalah acara yang dilaksanakan di Gymnasium UPI untuk pertama kalinya tetapi panitia penyelenggara yang merupakan kerjasama dari Departemen Pendidikan Seni Rupa, Departemen Pendidikan Sosiologi dan Departemen Manajemen Resort dan Leisure UPI sudah mempersembahkan acara yang luar biasa. Diharapkan kedepannya akan semakin lebih baik, bermanfaat dan menjadi acara tahunan terbesar bagi warga UPI dan umum. (Nisrina Qurrotu’aini El Yusuf, Pendidikan Teknik Arsitektur 2014)4

21