Menikmati Indahnya Bersatu dalam Keragaman Pasar Budaya UPI

1UNIVERSITAS Pendidikan Indonesia menciptakan miniatur kemajemukan budaya Indonesia yang dikemas dalam kegiatan bernama Pasar Budaya, Senin-Rabu (11-13/5/2015) di Gedung Gymnasium Kampus UPI Jln. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung. Panitia penyelenggara terdiri atas beberapa departemen, yakni Management Resort and Leasur FPIPS, Sosiologi FPIPS dan Himpunan Mahasiswa Seni Rupa (Himasra) FSD.

Pasar Budaya dimaksudkan untuk mengekspresikan keragaman budaya Nusantara. Sebab, satu itu tidak harus sama. Satu lebih terasa dari kemajemukan yang ada. Seperti Indonesia yang terdiri atas berbagai pulau yang berbeda sehingga melahirkan jutaan suku dan budaya. Dari Sabang sampai Merauke memiliki bahasa daerah yang berbeda, makanan khas yang beda rasa, dan rumah adat yang tak sama pula. Namun kemajemukan itu dibungkus rapi oleh sebuah semboyan bangsa ini “bhineka tunggal ika”.2

Peserta kegiatan ini adalah seluruh mahasiswa UPI. Demi menjaga keamanan dan kenyamanan, panitia membuat jadwal kunjungan. Setiap departemen dibagi menjadi beberapa kelompok. Jadwal yang didapat mahasiswa Ilmu Pendidikan Agama Islam FPIPS sebagai peserta Pasar Budaya adalah Rabu (13/5/2015) pukul 9.30 WIB. Seluruh peserta wajib hadir di tempat 30 menit sebelum waktu yang ditentukan.

Peserta melakukan registrasi terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam Gymnasium. Panitia meminta NIM (Nomor Induk Mahasiswa) untuk dimasukan ke dalam data kunjungan, dan sebagai tanda telah melakukan registrasi peserta dipakaikan sebuah gelang. Gelang ini terdiri atas beberapa warna, ada merah, biru, dan hijau sebagai sebuah ciri dari kemajemukan budaya yang diusung. Selain itu perbedaan warna gelang menjadi tanda pembagian kelompok saat masuk ke dalam gedung yang dipandu beberapa usher.

Peserta pertama kali ditempatkan ke dalam sebuah ruang video, di sini ditayangkan video selayang pandang Pasar Budaya UPI 2015, terdiri atas peraturan selama berada di Pasar Budaya serta tugas peserta untuk membuat refleksi. Refleksi adalah alat tukar di Pasar Budaya ini, karena saat bertransaksi harus ada barang dan alat tukarnya maka peserta menggunakan refleksi sebagai alat tukar. Refleksi berupa hasil dokumentasi setelah mengunjungi beberapa stand yang langsung diupload di beberapa media sosial seperti instagram, twitter dan facebook. Selain itu refleksi berupa sebuah instrumen yang wajib diisi saat di pintu keluar.

Kelompok gelang berwarna merah mahasiswa IPAI yang dipandu usher bernama Genta (18) mendapat giliran mengunjungi dua stand saja. Pertama ada stand tari merak dan yang kedua yaitu stand gebogan dari Bali. Setelah berkunjung di stand, usher memandu untuk berkeliling stall di Pasar Budaya namun peserta hanya diperkenankan melihat-lihat dan berfoto saja tanpa mengikuti workshop di dalamnya seperti di dua stand yang disebutkan.

Di stand pertama yaitu tari merak, pelaku budaya terdiri atas tiga orang. Yang ketiganya masih berstatus sebagai siswi di salah satu SMA di Cicalengka Bandung. Seluruh peserta mendapatkan workshop mengenai Tari Merak Pasundan ini. Setelah pelaku budaya menampilkan beberapa gerakan tari, peserta dipersilahkan menari bersama dengan dipandu oleh pelaku budaya. Stand ini menjadi kesan pertama yang menarik minat karena peserta tidak merasa bosan hanya duduk saja mendengarkan penjelasan dari usher melainkan turut mempraktikkan bersama bagaimana tariannya.3

Stand kedua yang dikunjungi adalah stand Gebogan dari Bali, pelaku budaya di sini ada seorang bli yang didatangkan langsung dari Bali. Bli ini menjelaskan mengenai apa itu gebogan dan bagaimana cara membuat gebogan. Gebogan digunakan saat Hari Raya maupun hari besar pura. Sebagai sebuah ungkapan rasa syukur masyarakat sana. Gebogan terdiri atas beberapa jajanan pasar dan juga buah-buahan yang disusun dalam sebuah gebog pisang dengan beralaskan tempat yang berasal dari ukiran kayu. Gebogan ini dipercantik dengan canang, canang sebuah kerajinan tangan khas Bali yang berbahan dasar daun janur. Rata-rata seluruh wanita Bali lihai dalam membuat canang.

Walau hanya mendapat kesempatan kunjungan ke dua stand namun antusias mahasiswa IPAI dalam kelompok merah ini tak pudar. Mereka bahkan tidak ingin cepat-cepat meninggalkan Gymnasium. Namun karena waktu dan jadwal departemen lain yang sudah menunggu giliran mereka harus mengakhiri.

“Sebuah pengalaman luar biasa dapat belajar Tari Merak bersama dan membuat gebogan serta menjahit canang,” tutur Hana Fauziyyah (18) mahasiswi prodi Ilmu Pendidikan Agama Islam 2014. (Hana Fauziyyah)