Next Page : May Be I Still Get Hot Memaknai Sebuah Transisi

Bandung, UPI

Sebanyak 11 orang alumni Departemen Pendidikan Seni Rupa Fakultas Pendidikan Seni dan Desain Universitas Pendidikan Indonesia (FPSD UPI) menggelar pameran bersama yang bertajuk Next Page : May be I Still Get Hot di The Space, The Parlor Bandung Jalan Rancakendal Luhur No.9, Dago Atas, Bandung, Sabtu (31/3/2018) hingga Jumat (13/4/2018).

Next Page : May be I Still Get Hot adalah pameran bersama yang digagas untuk kembali menampilkan karya para legenda Galeri Dong Boo (GDB). Next Page menghadirkan karya dari Roni Bron’s; Deni Ramadani; Angga Rinaldy A; Haryadi; Setia Pratama “Ntek”; Tina “Beni” Nuraziza; Kusratno ‘Aket’; Rennie ‘Emonk’; Sri Hartati; Teguh Pramana; Mia Meilia, sebagai bentuk upaya permulaan yang strategis untuk kembali membuat pemetaan di babak selanjutnya.

Next Page adalah pameran bersama yang digagas untuk kembali menampilkan karya para legenda Galeri Dong Boo (GDB). Serupa halaman baru bagi para seniman dalam memaknai sebuah transisi antara lembar perjalan masa lalu menuju wahana kosong selanjutnya yang benar-benar siap untuk diisi dan dimaknai. Berangkat dari pertanyaan Maybe I still get hot? menjadi permulaan yang strategis untuk kembali membuat pemetaan di babak selanjutnya.

“Lingkungan akademis khususnya seni rupa sepertinya memberikan banyak kontribusi untuk mewarnai keputusan berkarya yang terus diwariskan dari generasi ke generasi, sekaligus merefleksi citraan estetika pada zamannya. Karya-karya instalatif ada di periode 90-an, memasuki era 2000 hadir ruang pameran tunggal,” demikian ungkap kurator Next Page : May be I StillGet Hot Galih JK.

Dikatakannya, bahwa kesadaran medium karya sebagai jembatan antar seniman dan publik menjadi akhir dari medium spesifik dan bias-nya deskripsi lukis, drawing dan patung hingga karya-karya agaknya sulit digolongkan pada pakem tertentu. Walaupun banyak seniman kembali ke medium tradisi namun begitu apik mengemasnya dengan pendekatan media yang tak lagi tunggal.

Keberadaan Galeri Dong Boo (GDB) di UPI awal tahun 2000 adalah titik awal bagi mereka dalam membentuk wahana bermain sekaligus pencapain-pencapaian estetis di masa boom seni rupa. Melonjaknya konsumsi seni di Asia seperti Cina berdampak besar pada perputaran produksi konsumsi seni Indonesia, termasuk Bandung. Produktifitas berkarya para seniman diiringi dengan semangat komunal dalam budaya komunitas berbasis performance art seperti Gakeng, Koloni Hitam dan Ganiati. Pun seniman-seniman yang bekerja secara personal membiak secara militan baik yang menekuni media konvensional maupun nonkonvensional. Selanjutnya ekosistem terbentuk secara organis dalam lingkungan yang saling suport didalamnya,” bebernya.

Memasuki tahun 2008, bangunan GDB diruntuhkan, hal ini berdampak pada penurunan minat investasi karya seni di Indonesia, jelasnya. Para seniman berupaya membentuk strategi politis untuk bertahan antara idealismenya sebagai seniman sekagilus mengatasi keterbatasan dan tantangan zaman, padahal jika dilihat karirnya beberapa seniman telah mendapat posisi di kancah lokal maupun Internasional, berkontribusi pada banyak pameran penting dan kompetisi seni.

Dikataknnya,”Efek logis dari peristiwa tersebut adalah lahirnya kesadaran untuk menggandeng peluang lain diluar berkesenian seni murni seperti bidang desain, pendidikan dan industri kreatif. Kendati demikian dalam perjalanannya gagasan dalam berkarya terus muncul, menggunung dan perlu diproyeksikan.”

Sementara itu dalam kesempatan yang sama, kurator Next Page : May be I StillGet Hot Wan Ridwan Husen mengatakan bahwa pameran bersama ini direncanakan akan menjadi langkah awal masing-masing peserta dalam karir proses estetik selanjutnya. Diharapkan, pameran ini dapat memberikan manfaat selain menghangatkan kembali isu-isu mengenai gejala sosial yang muncul pada masyarakat.

“Isu-isu gejala sosial dalam pameran ini dihadirkan melalui karya dengan berbagai media dalam bentuk seni instalasi, atau isu kerusakan lingkungan yang disajikan secara satire untuk menjadi bahan interpretasi pubik. Kemudian bagaimana penggunaaan simbol dihadirkan ke ruang alternative dalam bentuk karya yang membawa kita kepada ruang spiritual tersendiri dalam menyikapi keterbacaan hubungan manusia dengan alam,” ungkapnya.

Simbol kuda tampan menjadi semacam bola yang dilempar kemudian siapa yang menyambutnya adalah mereka yang bebas mantafsirkan apa yang ingin mereka kehendaki, ujarnya. Berbagai simbol sebagai membuka pemahaman bagaimana komunikasi itu terjadi dan bagaimana komunikasi itu bermula. Dalam pertunjukan seni, Topeng selalu dijadikan banyak cerita yang memuat banyak pesan untuk ditafsirkan, begitu juga dengan sebuah boneka yang diangkat untuk menjalani fase “mencari dan menemukanmengenai self.

“Proses hijrahnya seorang sahabat juga dapat menjadi inspirasi ebuah karya seni, digambarkan dengan mencitrakan susunan potongan kayu dan disajikan kedalam karya utuh. Pengunjung pameran diajak untuk mencari kesenangan, kembali membahas sisi menarik dari kesenangan sebuah karya, kenyamanan dalam warna, gambar dengan efek menenangkan. Sosok wanita dalam bentuk keramik sebuah ajakan seniman sebagai pengingat diri antara sadar terhadap batasan seseorang dengan kemauan berbuat lebih. Pada akhirnya, pola sebuah komunitas yang sudah menjadi ciri khas akan selalu tampak sama meskipun sudah melewati waktu yang lama,” pungkasnya. (dodiangga)