Pendewasaan Politik, Setelah Seteru Bersekutu

Oleh:

Karim Suryadi

Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pendidikan Indonesia,

kolumnis Pikiran Rakyat

Luka akibat pertarungan pemilihan presiden dan pemilu legislatif mulai mengering. Pembelahan sosial tidak lagi menganga. 

Untuk sementara, elite-elite yang berseteru kini bersekutu. Gaya pemerintahan yang merangkul semua yang diperagakan Jokowi menjadi langkah simbolik penyatuan kekuatan yang semula berserak.

Ini merupakan poin penting, sekaligus modal dalam mengarungi arena politik 2020. Meski “grand final” sudah berakhir, beberapa daerah baru akan memulai kompetisi tingkat lokal. 

Terdapat 270 daerah yang akan menggelar pemilihan kepala daerah pada 2020. Jumlah ini mencakup 9 pilkada untuk memilih gubernur, 224 memilih bupati, dan 37 perhelatan untuk memilih wali kota.

Ini berarti, elite dan partai politik harus kembali merancang strategi, dan masyarakat harus kembali bersiap menghadapi berondongan isu dan janji.

Pengalaman menghadapi berbagai kontestasi dan keluar dari konflik memberi kita hikmah. Kesemuanya mengajarkan kesediaan untuk menerima perbedaan, kebesaran jiwa menerima kekalahan, dan kewajaran dalam menyambut kemenangan menjadi modal dalam menghadapi kontestasi berikutnya.

Filosofi yang dianut masyarakat Jepang, “tujuh jatuh delapan bangkit” menjadi mantra ampuh yang harus didawamkan politisi dan menjadi kredo para petarung.

Selain telah memiliki struktur politik modern dan mekanisme ulang alik kekuasaan yang terpola, kelenturan masyarakat menghadapi tekanan politik pun sudah terbangun. Rentang stress mulai melebar, dan sumbu emosi sebagian besar warga pun tidak lagi pendek.

Lebih dari itu, Indoensia kian menjauh dari negara gagal. Pada 2019, Indeks Negara Rentan terus membaik.  Ini kabar baiknya.

Akan tetapi, di balik itu semua, ada gambaran yang harus dicermati. Di banding negara-negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia menderita pembelahan sosial (social cleavage) yang tergolong parah. Setiap isu politik dapat memunculkan perbedaan pandangan politik yang tajam.

Hal ini terlihat dari laporan V-Dem Institute yang bermarkas di Swedia, yang secara rutin mengukur Indeks Varieties of Democracy. Menurut lembaga ini, pada 2018 Indonesia meraih skor 0,27, sementara rerata Asia Tenggara mencapai 1,7.

Angka ini mengandung makna Indonesia mengalami polarisasi yang serius, sementara negara-negara Asia Tenggara secara keseluruhan mengalami polarisasi moderat.

Selain itu, indikator ketidakpuasan kelompok meningkat. Indikator ini terkait pembelahan dan perpecahan antarkelompok.

Dari skala 0-10, Indonesia meraih skor 6,3 pada 2006 dan menurun menjadi 7,3 (mendekati 10 makin buruk) pada 2019.

Dua indikator yang disebut terakhir mengirim pesan yang kurang menggembirakan. Kesatu, kesenjangan sosial dan polarisasi di Indonesia masih seperti rumput atau gulma yang dipangkas.

Di permukaan nyaris bersih, tetapi akarnya tersisa dan siap menyeruak pada waktu dan musim hujan. Ini berarti, kesejukan pasca pilpres bisa kembali memanas jika pemicunya muncul.

Kedua, mesin politik demokratis yang bekerja secara reguler masih menimbulkan korosi pada sistem.

Hal ini terjadi karena isu-isu primordial masih menjadi bahan bakar, dan instrumentalisasi politik hingga mengurangi bobot substantif kian menjadi performa yang menonjol.

Sebagian tokoh yang bertindak untuk dan atas nama masyarakat gagal menjadi simbol pemersatu, dan pilihan kebijakan pun tidak menjadi alat agregasi politik yang berterima.

Salah urus dalam banyak bidang kerap menimbulkan petaka bagi masyarakat, di luar faktor bencana dan nasib buruk.

Politik sebagai penghantar amarah, habitat ideologi kebencian, atau lakmus pembeda elite dan massa harus dikembalikan kepada makna yang sebenarnya.

Politik sebagai sarana menyelesaikan konflik tak berdarah bisa dimulai dengan proses pemilu yang melibatkan masyarakat dalam semua tahapan, menggembalakan semua pendapat hingga berujung pada mufakat, dan benar-benar menjadi kontes kebajikan (contest of beauty).

Pendewasaan politik harus dimulai dari pemilihan “bibit pemimpin”, berupa seleksi calon yang benar-benar bertumpu pada kemampuan (memiliki pengalaman dan kecakapan dalam mengelola urusan publik), kepatutan (tidak tercela secara moral, atau tidak mengandalkan faktor-faktor yang melemahkan kredibilitasnya), dan kelayakan (memenuhi semua prasyarat yang membuatnya dinilai cakap menduduki sebuah jabatan dan membangkitkan pengakuan dari, dan kebanggaan bagi,  pengikutnya).

Pengakuan dan rasa bangga tidak bisa dibeli. Kemunculannya pun tidak bisa dipaksakan dengan intimidasi atau kepura-puraan.

Massa bisa dibuat histeris ketika berjumpa pemimpin biasa-biasa saja, tetapi pengakuan dan rasa bangga tidak bisa dicegah meski ada kekuatan politik yang menghalanginya.

Hanya pengakuan dan kebanggaanlah yang akan meredam potensi polarisasi dan ketidakpuasan.

Tapa keduanya, polarisasi dan ketidakpuasan akan seperti api di dalam sekam. Seruan mencegah perpecahan yang keluar dari mulut pemimpin yang tidak membanggakan ibarat ajakan melestarikan hutan dari seseorang yang berdiri di atas pohon kayu yang ditebang.***