Penerapan Wawancara Investigatif Solusi Alternatif Dalam Teknik Pemeriksaan Pemolisian Modern

Bandung, UPI

Penelitian tentang penggunaan bahasa di ranah hukum di Indonesia khususnya dalam konteks pemeriksaan penyidik tersangka masih belum banyak, bahkan hampir tidak pernah dilakukan. Adanya ketentuan yang mengatur aktivitas pemeriksaan penyidik dalam penyidikan perkara pidana sebagai aktivitas terbatas, menyebabkan data untuk kepentingan penelitian semacam ini relatif sulit untuk dikumpulkan.

Dalam konteks isu penegakan hukum di tingkat pemeriksaan, bahasa sebagai salah satu elemen yang berperan dominan, tidak diposisikan sebagai bagian penting yang menopang penegakan hukum. Hal tersebut dapat dilihat melalui berbagai kegagalan penanganan perkara pidana yang diakibatkan oleh lemahnya daya bukti BAP, yang tidak pernah diakui sebagai akibat substansif dari sikap institusi kepolisian yang tidak menempatkan bahasa pada posisi dan skala penting.

“Proses pemeriksaan perkara pidana di Indonesia terlihat dengan jelas adalanya persoalan kebahasaan yang muncul dan menghabat proses penegakan hukum. Jika dibiarkan, persoalan tersebut sangat berpotensi mengancam pemenuhan nilai keadilan bagi masyarakat Indonesia”, ujar Dr. Andika Dutha Bachari, M.Hum saat mempertahankan disertasinya dihadapan ketua sidang ujian promosi doktor, Selasa, 21 Agustus 2018 di Auditorium Sekolah Pascasarjana UPI, Jln. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung.

Menurut Dr. Andika Dutha Bachari, M.Hum, masalah utama penelitian dalam disertasi yang berjudul “Penerapan Wawancara Investigatif Dikaitkan Dengan Daya Bukti Berita Acara Pemeriksaan Perkara Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia” adalah bagaimana BAP yang merupakan produk fisik (output) pemeriksaan perkara pidana dapat berdaya bukti tinggi dalam mengungkap kebenaran materil sebuah perkara pidana.

Dosen Departemen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI ini memandang bahwa penerapan wawancara investigatif dalam pemeriksaan dan penyusunan BAP merupakan penggunaan bahasa yang dipengaruhi oleh kompetensi linguistik para partisipan yang terlibat di dalamnya. Karena terkait dengan kompetensi kebahasaan, maka dalam penelitian ini, teori linguistik digunakan sebagai metode analisis untuk mengupas persoalan.

“Sebagai aktivitas berbahasa yang mengandalkan kompetensi linguistik penyidik, penyusunan BAP memang sangat rentan terhadap gelaja seperti ini. Diskrepansi informasi tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab, pada faktanya, gejala ini telah banyak dilaporkan sebagai salah satu faktor yang mengganggu penegakan hukum yang adil”, tegas Andika.

Seiring dengan perkembangan ilmu linguistik forensik, ia menyarankan agar sosialisasi dan pelatihan wawancara investigatif sudah selayaknya dilakukan bagi penyidik Polri agar proses pemeriksaan perkara pidana dapat menghasilkan BAP yang berdaya bukti tinggi dan mampu mengatasi adanya tuntutan terhadap kredibilitas pemeriksaan yang dilakukan penyidik Polri.

“Di tengah tuduhan bahwa proses penyidikan perkara pidana dilakukan dengan penuh intimidasi dan pelanggaran HAM, model wawancara investigatif dapat menjadi solusi alternatif yang diandalkan sebagai sebuah teknik pemeriksaan yang efektif dan ilmiah dalam pemolisian modern”, tambahnya.

Ia berharap penelitian ini dapat memberikan dampak penting terhadap kualitas penegakan hukum di Indonesia melalui penerapan ilmu bahasa di ranah penegakan hukum, khususnya yang terkait dengan penanganan perkara pidana. (DN)