Surat dari Tolikara
|Saya sudah hampir setahun mengajar di SMKN Tolikara Papua, demikian pesan whatapp yang saya terima dari Joni Kreido, seorang pemuda lajang lulusan PPG SPs UPI asal Papua. Kami senang bertugas mengajar di sekolah pegunungan di distrik Wari, Tolikara. Banyak tantangan di sana. Bagaimana mendidik generasi muda Papua untuk memajukan pertanian dan perkebunan.
Untuk mencapai distrik Wari dari Jayapura bisa lewat sungai Mamberamo selama dua hari dua malam, diteruskan dengan naik motor atau jalan kaki seharian. Alternatif lain, untuk mencapai Karubuga ibu kota kabupaten Tolokari bisa ditempuh satu jam dengan pesawat Cessna atau pesawat kecil carteran dari Jayapura – Karubuga Tolikara. Perjalananan dilanjutkan dengan jalan darat ke distrik Wari.
Kondisi sekolah di kabupaten Tolikara, tak seperti sekolah di pulau Jawa. SMKN saja, fasilitas sekolah masih terbatas dengan jumlah guru yang terbatas pula.
Para siswa punya semangat belajar, walau tak sebaik siswa di daerah lain. Ini tantangan kami yang utama, bagaimana membina generasi muda Papua, supaya memiliki semangat juang di bidang pertanian.Saya akan tetap mengabdi untuk kemajuan generasi muda di Tolikara ini, demikian pungkas Joni Kredo dalam Whatapp yang dikirim pekan lalu.
Ikhwal Joni Kredo ini, ketika sebagai mahasiswa PPG SPs UPI tahun 2019, pernah ada kendala psikologis akademik dan antarbudaya. Berkat keuletan Wakil Rektor bidang akademik UPI (Dr.M.Solehuddin) dan Dr. Yusi Rika- konselor antarbudaya, yang bersangkutan terus dibina melalui bimbingan dan konseling antarbudaya, akhirnya Joni Kredo bisa menuntaskan studinya di PPG DPs UPI.
Spirit Nawi Arigi
Bagi masyarakat Tolikara, terpelihara moto yang dianut masyarakat setempat yaitu spirit Nawi Arigi. Artinya Permata di tengah Bumi Papua. Oleh sebab itu, bagi warga setempat terdapat kecintaan yang mendalam atas tanah kelahiran yang indah ditengah pegunungan Papua.
Heterogenitas penduduk di kabupaten Tolikara relatif sangat terbatas. Suku asli yang mendiami mayoritas wilayah pegunungan Tolikara yaitu suku Lani. Sebagian kecil suku lainnya yaitu Kwiyon, Kwabaki, dan suku Gem. Sedangkan warga pendatang masih terkonsentrasi di daerah ibu kota kabupaten Tolikara dan pemukiman distrik lainnya.
Orang Asli Papua (OAP)
Topografi di Papua sangat unik. Dari mulai wilayah pantai dataran rendah yang subur, rawa, dataran tinggi, sampai hingga puncak gunung yang diselimuti salju abadi. Penduduk lokal atau sering disebut Orang Asli Papua (OAP) umumnya bermukim di kawasan Pegunungan tengah. Mereka tersebar di 14 kabupaten wilayah pengunungan tengah. Ke 14 kabupaten yaitu Jayawijaya, Mamberamo Tengah, Yahukimo, Yalimo, Nduga, Tolikara, Lany Jaya, Pegunungan Bintang, Paniai, Dogiyai, Intan Jaya, Puncak Jaya, dan Puncak.
Ke 14 Kabupaten terletak di kawasan pegunungan dengan alam yang cukup ekstrim. Sarana dan prasarana jalan sangat terbatas. Wilayah tersebut nyaris merupakan kabupaten terisolasi, yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat kecil atau melalui jalan darat yang terjal.
Jumlah OAP mencapai 49,28% dari total penduduk Papua. Mereka bermata pencaharian sebagai petani tradisional yang miskin dan hidup seadanya. Sebagian warga OAP masih kategori masyarakat pemburu dan peramu (pengumpul ubi ubian yang tumbuh liar di hutan). Mereka hidup di alam terbuka dan berpindah tempat. Dhimaswij (2020) menulis many indigeneous live on rural area, getting close with the nature and working by hunting and fishing.
Diamati dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di 14 Kabupaten Papua di atas, juga masih rendah. Rata rata IPM di 14 kabupaten yaitu 48,33. (BPS Papua, 2019, diolah). Artinya derajat kesehatan, pendidikan, dan standar hidup layak di wilayah tersebut perlu penanganan serius.
Kondisi kesehatan dan pendidikan yang rendah ini juga diperparah oleh sistem manajemen pendidikan yang tak berjalan dengan baik, jumlah guru yang terbatas dengan tingkat ketidakhadiran guru yang tinggi di daerah rural. Ketidakhadiran guru sangat tinggi dan menjadi masalah yang rumit. Lama ketidakhadiran guru bisa mencapai satu semester. Anderson (2020) melaporkan bahwa In highlands, most of teachers do not show up for working. To say that teacher absenteeism is a problem. A teacher may skip a semester for absenteeism.
Means Years School
Rata rata lama sekolah (RLS) di 14 kabupaten tsb sangat rendah. Misalnya : Nduga 0,97; Puncak 1,96; Mamberamo Tengah 2,90; Intan Jaya 2, 64, Tolikara 3,63 tahun. Bandingkan dengan RLS Nasional 8,34). ( Sumule, 2020). Kondisi Kabupaten Nduga dan beberapa kabupaten lainnya di wilayah pegunungan sungguh sangat mengkhawatirkan. Ditambah dengan suasana keamanan yang belum reda, me njadikan program pendidikan dasar saja sangat jauh tertinggal. Raihan RLS 0,97 di kabupaten Nduga sungguh sangat menyedihkan. Rata rata warga Nduga baru berkesempatan belajar kurang dari setahun atau hanya 9 bulan saja. Extremely illiterate people.
Capaian RLS di Kabupaten Nduga merupakan capaian terendah antar Kabupaten di Indonesia. Sungguh merupakan potret pendidikan yang memilukan. Dalam perspektif Internasional, seperti dilaporkan Nation Master (2020) capaian ini setara dengan RLS di negara Guinea Bissau 0,8; Mali 0,9; dan Niger 1,0 yang merupakan negara paling buncit dalam capaian rata rata lama sekolah (Means Years School).
Itulah potret pendidikan di wilayah pegunungan tengah di Propinsi Papua. Masyarakat lokal terhampar di kantong kantong pemukiman kecil di 14 kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah. Mereka memerlukan perhatian agar diraih kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang memadai. Mereka bisa hidup aman tentram, dengan standar hidup layak. Di tengah hembusan pesimisme, semangat optimisme untuk membangun Papua banyak terkuak. Seperti diutarakan Joni Kredo – pemuda asli Papua, seusai mengikuti program PPG dan pemuda pemudi Papua lainnya, mereka siap mendarmabaktikan pikiran dan tenaganya untuk masa depan generasi muda Papua yang lebih baik.
Pelan pelan tapi pasti, semangat Nawi Arigi berhembus semakin kencang : kami siap berbakti untuk mengabdi bagi permata Papua. Nawi Arigi !! (Dinn Wahyudin)