Tata Ulang UUGD dan Berbagai Kebijakan Profesi Guru

Bandung, UPI

Intinya bahwa, guru adalah sebuah profesi, dan bagi yang belum tersertifikasi belum bisa disebut sebagai guru, mereka adalah sarjana mengajar, dan untuk menjadi guru professional mereka wajib mengikuti PPG sebagai pendidikan profesi sebagaimana amanat dari Undang-undang  No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD). Aturan tersebut dianggap kontroversial karena pascaberlakunya UUGD, profesi guru menjadi profesi terbuka, dapat diisi oleh siapa saja yang memiliki latar  belakang  pendidikan akademik S1/D-IV, tidak terbatas pada sarjana pendidikan (S.Pd).

Demikian ungkap Guru Besar dan Kepala Pusat Kebijakan Publik, Inovasi Pendidikan dan Pendidikan Kedamaian LPPM Universitas Pendidikan Indonesia Prof. Dr. Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., M.Si., M.H., dalam Focus Group Discussion (FGD) tentang mengkritisi undang-undang guru dan dosen di Auditorium lantai 3 LPPM UPI, Jumat (9/11/2018).

UUGD menjadi masalah tersendiri bagi lulusan dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), ujarnya. Contohnya Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), selama ini UPI sudah melaksanakan kurikulum pendidikannya melalui model terintegrasi dan terpadu antara bidang ilmu murni (sains) dengan ilmu kependidikan. Tradisi ini lebih dikenal dengan model konkuren. Sejak awal masuk perkulihan, para mahasiswa sudah dibentuk watak, karakter, sikap, dan perilakunya sebagai calon pendidik sehingga suasana psikologis dan pedagogik telah terpatri pada diri setiap calon pendidik. Oleh karena itu, sudah selayaknya agar Sarjana Pendidikan UPI dapat otomatis ikut PPG, karena UPI merupakan PTN BH yang dapat menyusun kurikulum yang memadukan pendidikan akademik dengan pendidikan profesi.

“Pada kenyataannya Pemerintah tidak konsisten terhadap apa yang tersurat dalam UUGD. Ada 3 hal yang menjadi sorotan utaman, pertama, pemerintah seharusnya sudah mulai melaksanakan PPG sejak Desember 2006.  Kenyataan  PPG dengan model protofolio dan PLPG bagi guru dalam jabatan dilaksanakan setelah Desermber 2006. Kedua, guru yang belum memilik ijasah S1 dan belum sertifikasi seharusnya sudah selesai pada Desember 2015. Namun kenyataannya sampai hari ini masih banyak guru yang belum mengikuti sertifikasi dalam jabatan. Ketiga, berkaitan dengan amanat pasal 83 UUGD bahwa semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan UUGD seharusnya diselesaikan selambat-lambatnya 18 (delapan belas) bulan sejak berlakunya UUGD ini. Artinya akhir Juni 2007 pemerintah seharusnya sudah mengeluarkan aturan-aturan pelaksaaan dari UUGD ini. Namun kenyataannya, peraturan pelaksanaan UUGD keluar setelah Juni 2007, misalnya PP tentang Guru baru keluar pada 2008,” ungkapnya.

Pemerintah harus segera menata ulang UUGD dan berbagai kebijakan profesi guru, agar prinsip keadilan bagi guru dapat terwujud, harapnya. Ada puluhan ribu sarjana pendidikan yang dihasilkan oleh perguruan tinggi LPTK berpotensi menganggur karena jatah PPG prajabatan masih sangat terbatas. Sesuai amanat UUGD, selayaknya penyelenggara pendidikan baik pemerintah maupun masyarakat, hanya mengangkat guru-guru yang telah tersertifikasi melalui PPG.

Namun, katanya, pemerintah sendiri mengalami keterlambatan menyelenggarakan PPG Prajabatan. PPG Prajabatan itu pun awalnya hanya bagi mereka sarjana pendidikan yang baru lulus, lalu mengikuti program Sarjana Mendidik di daerah Terluar, Terdepan dan Tertinggal (SM3T). Selain keterbatatasan kuota, program ini juga tidak bisa diikuti oleh mereka yang sudah lama menjadi guru di sekolah. Mereka yang telah mengajar di sekolah dan belum memiliki sertifikat pendidikan, mereka harus mengikuti PPG Dalam Jabatan yang masih sangat terbatas.

Hadir dalam kesempatan tersebut diantaranya Prof. Dr. H. Djam’an Satori,MA., Prof. Udin Syaefudin Sa’ud, M.Ed, Ph.D., Prof. Dr. Dinn Wahyudin, M.A., Prof. Dr. H. Oong Komar, M. Pd., Prof. Dr. Kokom Komalasari, M.Pd., Prof. Dr. Didi Suryadi, M.Ed., dan para pimpinan prodi dan fakultas, serta mahasiswa. (dodiangga)