Terorisme Musuh Bersama Umat Manusia

Bandung, UPI

Aksi teror kembali terjadi di negeri tercinta ini, kali ini aksi teror bom bunuh diri yang dilakukan oleh teroris terjadi di Sibolga, Sumatera Utara pada Rabu (13/3/2019) dini hari.  Bom bunuh diri yang dilakukan istri terduga teroris itu mengakibatkan jatuhnya korban yang berada disekitarnya.

Terorisme telah menjadi hal yang menakutkan, karena terorisme sebagai suatu gerakan yang senantiasa menyebabkan banyak korban jiwa dari masyarakat sipil yang tidak terkait secara langsung. Maraknya aksi teror yang terjadi dengan jatuhnya banyak korban telah membuktikan bahwa terorisme adalah sebuah kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. aksi-aksi terorisme yang selama ini terjadi telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, warga sipil hingga aparat keamanan, bahkan dalam beberapa peristiwa peledakan bom, korban harus mengalami cacat seumur hidup serta gangguan psikis lainnya yang sifatnya menahun.

Guru Besar Ilmu Politik UPI, Prof. Dr. Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., M.Si., M.H. mengatakan terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang universal dan mengancam nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian, keamanan, persatuan bahkan peradaban. Terorisme adalah musuh terbesar kemanusiaan sepanjang masa.

“Terorisme telah menjadi musuh bersama umat manusia dan menjadi kejahatan serius, yang  bertentangan dengan nurani nilai-nilai kemanusiaan, Terorisme merupakan suatu perbuatan seseorang atau kelompok terorgaanisir yang terprogram, sistimatik, dan memiliki tujuan tertentu  dengan cara kekerasan yang menimbulkan rasa takut atau kecemasan dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat,” demikian dikatakan Prof. Dr. Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., M.Si., M.H pada saat acara Seminar Nasional yang bertema “Belajar dari Rekonsiliasi Korban dan Mantan Pelaku Terorisme”, Rabu (13/3) di Auditorium FPEB UPI, Jln. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung.

Menurut Prof. Cecep Darmawan, akar permasalahan dari terjadi teror tersebut diakibatkan karena rendahnya pemahaman seseorang tentang nasionalisme dan wawasan kebangsaan, dangkalnya pengetahuan dan pemahaman agama dan bahkan pemahamannya egosentris, rendahnya pemenuhan kebutuhan dasar rakyat (kesejahteraan) dan ketimpangan sosial ekonomi, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang dikelola oleh pihak asing yang tidak adil dan tidak berimbas kepada kesejahteraan masyarakat, dikriminasi dalam kehidupan social, ekonomi, dan politik. terbatasnya peluang kerja dan lapangan usaha, serta tidak berhasilnya pembangunan karakter berwarganegara.

Dalam upaya untuk mencegah aksi teror, diakatakan Prof. Cecep, pemerintah perlu melakukan upaya recovery dan penanggulangan pasca kasus-kasus kekerasan, radikalisme dan terotisme. meratifikasi segenap konvensi internasional tentang terorisme, dan mengadakan perjanjian keamanan regional dan internasional, perlu adanya upaya menyempurnakan berbagai instrumen hukum yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan antiterorisme, untuk aparat intelijen, diperlukan peningkatan ketersediaan perangkat teknologi baik perangkat keras dan lunak, termasuk peningkatan kemampuan teknis keintelijenan.

“Pemerintah pusat dan pemerintah daerah meningkatkan kewaspadaan dini sekaligus mengajak peran serta masyarakat untuk berpartisipasi aktif mengawasi berbagai hal yang berpotensi membahayakan keamanan lingkungan, masyarakat mesti peduli terhadap kondisi lingkungan sekitarnya dan berupaya membangun kewaspadaan dini sebagai bagian penting bagi keamanan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara”, tambahnya.

Sementara itu, Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Hasibullah Satrawi mengatakan kegiatan seminar nasional ini merupakan kegiatan kerjasama yang dilakukan oleh Aliansi Indonesia Damai dengan Pusat Kajian Kebijakan Publik, Inovasi Pendidikan dan Pendidikan Kedamaian LPPM UPI. “Kegiatan ini merupakan upaya yang dilakukan oleh AIDA dalam rangka menyerukan perdamaian kepada generasi muda agar senantiasa menjaga perdamaian di negara ini melalui belajar dari pengalaman korban dan mantan pelaku terorisme” kata Hasibullah.

Lebih lanjut dikatakan Hasibullah, faktor kepala keluarga dan kepala negara adi kuasa merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang terjerumus untuk melakukan aksi teorisme. Karena banyak hal yang membuat orang berfikir dan memahami bahwa perjuangan dengan kekerasan itu diperbolehkan, tentunya hal tersebut dipertimbangkannya secara matang. Hal tersebut seperti yang dilakukan oleh pelaku penyerangan bom Marriot II pada tahun 2009, dimana riwayat pelaku penyerangan bom tersebut berasal dari keluarga tidak harmonis sehingga pada akhirnya si pelaku bergabung dengan kelompok radikal.

Salah satu faktor yang menyebabkan seseorang bisa melakukan aksi teror disinyalir karena ketidakharmonisan keluarga, namun tidak semua pelaku teroris yang terjadi di tanah air tidak berangkat dari kegelisan faktor keluarga, tetapi ada pula seseorang yang berasal dari keluarga yang bahagia tapi karena persoalan lain masuk dalam kelompok teroris”, tegas Hasibullah.

Selain itu, dijelaskan Hasibullah faktor lain diantaranya masalah sosial politik, dengan tidak diterimanya seseorang dalam kelompok politik bisa pula menimbulkan teror, tentunya seseorang itu yang memiliki ideologi yang tinggi tentang politik bernegara.

Ia berharap melalui kegiatan ini yang menghadirkan para korban dan matan pelaku terorisme bisa menggugah dan mengajak masyarakat khususnya generasi muda untuk menjaga perdamaian seerta tidak terjerumus begitu saja dalam kelompok terorisme. (DN)