Waspadai Gerakan Memaksakan Perilaku yang Merupakan Elemen Peradaban Lain

01Bandung, UPI

Akhir-akhir ini masyarakat merasakan munculnya gerakan atau kegiatan ke arah negatif, termasuk di dalamnya upaya untuk memaksakan perilaku yang merupakan elemen peradaban lain. Derasnya arus globalisasi tidak hanya membawa dampak modernisasi yang melahirkan materialisme dan hedonisme. Tetapi juga infiltrasi paham keagamaan yang bertentangan dengan kepribadian bangsa.

“Untuk itulah kita tidak boleh lengah karena bersamaan dengan masuknya globalisasi, masuk pula piranti lunak yang berupa nilai budaya Barat yang tidak sejalan dengan nilai ke-Indonesiaan. Pada intinya kita harus mampu membangun filter untuk menyaring nilai negatif yang menyertai globalisasi tersebut,” kata Ketua Majelis Wali Amanat Universitas Pendidikan Indonesia K.H. As’ad Ali, yang dibacakan Sekretaris Prof. Dr. Ishak Abdulhak, M.Pd. saat memberikan sambutan pada Wisuda Gelombang II-2016, di Gedung Achmad Sanusi, Kampus UPI Jln. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung.

Prosesi wisuda kali ini dibagi dalam empat prosesi. Prosesi pertama dilaksanakan Rabu (24/8/2016) pukul 9.00 WIB meliputi wisudawan UPI Kampus Sumedang, Purwakarta, Tasikmalaya, dan Serang. Sesi kedua dilaksanakan di hari yang sama dimulai pukul 13.00 WIB meliputi wisudawan Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK), Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis (FPEB), dan Fakultas Pendidikan Seni dan Desain (FPSD).
04

Menurut Prof. Ishak Abdulhak, wisudawan UPI adalah alumnus universitas pelopor dan unggul dengan ciri khusus sebagai kampus yang melahirkan para guru dan pengajar. Sebagai kampus pengajar, UPI merupakan rahim dari para pelaksana pendidikan, sebab proses pendidikan tidak hanya terhenti pada sistem dan kurikulum, melainkan pula praktik pengajaran (pedagogi), menuju pembentukan sumber daya manusia Indonesia yang mumpuni.

“Dengan posisi vital ini, UPI berperan dalam membangun para pendidik yang menjadi katalisator bagi pembangunan sumber daya manusia bangsa, di mana pendidikan tidak hanya memuat proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) melainkan pembentukan karakter masyarakat, dan bangsa secara umum,” katanya.

Di sinilah pentingnya peran para wisudawan untuk terus menyebar-luaskan pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa di tengah-tengah masyarakat, kata Prof. Ishak. “Saya ingin menggarisbawahi bahwa UPI termasuk garda terdepan dalam mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.”

Dikemukakan, pendidikan karakter ini menjadi bagian integral dari pembangunan masyarakat bangsa yang beradab, sehingga dunia terhindar dari perusakan lingkungan alam dan terhindar pula dari degradasi moral. Masyarakat madani adalah masyarakat yang maju secara teknologi atau material dan juga maju secara budaya dan spiritual sehingga tercapai suatu perdamaian yang adil dan menyeluruh.07

Perkembangan yang tidak seimbang antara kemajuan material dan spiritual pada akhirnya menimbulkan kerusakan dan menjadi sumber keserakahan, kata Prof Ishak selanjutnya. Pemikir Muslim, IbnKhaldun al-Hadrami dalam kitab al-Muqaddimah menyatakan, “Hidup bermasyarakat merupakan sebuah keniscayaan (dlaruri).Tentang hal ini, para filsuf menyebut, manusia secara natural adalah madani (berkeadaban atau sosial). Artinya, ia harus menjadi bagian dari masyarakat (ijtima’), yang dalam istilah para filsuf dikenal dengan nama madinah (masyarakat/tempat yang berkeadaban).

Dengan demikian, kata Prof. Ishak, pembentukan manusia beradab menjadi syarat utama bagi pembangunan masyarakat madani yang dibutuhkan bagi negara dan bangsa bermartabat. Di titik inilah, UPI sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mencetak para pendidik berperan besar bagi akselerasi pembangunan bangsa menuju peradaban manusia yang beradab.

“Pada saat bersamaan, ukuran sebuah bangsa yang beradab juga ditentukan oleh kemampuannya dalam mengelola perbedaan di dalam masyarakat. Itulah mengapa kita memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang diambil dari Kitab Sotasoma karya cendekiawan Majapahit, Mpu Tantular. Baik di masa Majapahit atau Nusantara hingga di masa Indonesia modern, bangsa ini telah memuat berbagai keragaman suku, etnis dan agama,” kata Prof. Ishak menandaskan.

Nilai luhur bangsa Indonesia, katanya, telah mengamanatkan bahwa perbedaan pada hakikatnya satu, karena tidak ada kebenaran yang mendua (tanhana Dharma mangwra). Inilah yang menjadi perekat kehidupan bersama, sehingga Indonesia menjadi kiblat bagi bangsa yang majemuk, yang rukun dalam persatuan.

“Di dalam kerangka ini, Pancasila, yang merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa semestinya menjadi dasar bagi segenap penataan masyarakat, termasuk dunia pendidikan nasional. Ini berarti Pancasila tidak hanya menjadi satuan mata pelajaran, melainkan menjadi napas bagi seluruh batang tubuh pendidikan kita,” ujar Prof. Ishak.

Proses menjadikan Pancasila sebagai dasar pendidikan merujuk pada nilai Pancasila itu sendiri yang memuat keseimbangan di antara ketuhanan, kemanusiaan, persatuan dan tata kehidupan demokratis menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. “Untuk itulah UPI perlu memperkuat pendekatan ini, agar segenap sistem dan praktik pendidikan tidak tercerabut dari cita-cita pendirian bangsa.”

Apalagi saat di sebagian kecil masyarakat, tengah marak pandangan sempalan yang ingin merusak kerukunan bangsa, kata Prof. Ishak. Pandangan ini didorong oleh pemahaman keagamaan yang ekslusif, ideologis dan sektarian sehingga bertentangan dengan keragaman nilai di masyarakat. Maraknya sikap intoleransi dan radikalisme agama yang tumbuh bersamaan dengan kebebasan politik di alam Reformasi, semakin mengancam keharmonisan masyarakat yang selama ini terjaga dengan baik. (WAS/Deny/Dodi/Andri/Ija)