Menyatukan Kementerian Pendidikan
|
Oleh IDRUS AFFANDI
(Guru Besar Pendidikan Politik UPI)
KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) perlu disatukan kembali dengan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti). Memisahkan dua kementerian tersebut tidak serta merta meningkatkan kinerja maupun kualitas pendidikan, sebaliknya antara kebijakan Kemdikbud dengan kebijakan Kemristekdikti kerap tidak sinkron. Padahal, pendidikan merupakan masalah integral dan berkesinambungan.
Memisahkan kementerian pendidikan dalam dua lembaga tidak serta merta meningkatkan kualitas pendidikan. Kalaupun mau memecah menjadi dua kementerian, maka sebaiknya menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (di dalamnya terdiri atas pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi) dengan Kementerian Riset dan Teknologi. Dengan demikian, pendidikan di seluruh tingkatan terintegrasi dan berkesinambungan.
Kementerian Riset dan Teknologi juga sangat layak berdiri sendiri, tanpa harus digabungkan dengan kementerian lainnya. Sebab, riset dan teknologi merupakan “kunci” memenangi persaingan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) maupun persaingan global. Dengan membentuk Kementerian Riset dan Teknologi, Indonesia dapat mempertajam riset guna membangun masa depan yang lebih baik. Demikian pula teknologi, tidak ada negara maju yang tidak menguasai teknologi. Menguasai teknologi berarti menang. Kalau demikian, mengapa tidak membentuk Kementerian Riset dan Teknologi tersendiri? Bahkan menggenjot riset secara sungguh-sungguh dapat menutup kekurangan pelaksanaan program Presiden yang masih kurang sekitar dua tahun lagi.
Memecah masalah pendidikan dalam Kemdikbud dengan Kemristekdikti justru semakin memboroskan anggaran. Sebab, pemerintah harus membiayai dua kementerian dengan seluruh aktivitas dan sumber daya manusianya. Mengembangkan masing-masing lembaga, keduanya harus memenuhi sarana dan prasarana yang diperlukan. Padahal jika hanya satu kementerian, maka sarana dan prasarana tersebut cukup untuk satu lembaga.
Karena dua lembaga, maka kebijakannya pun berjalan sendiri-sendiri. Beda menteri beda kebijakan, meskipun masalahnya satu yaitu soal pendidikan. Akibatnya, kepentingan peserta didik yang dikorbankan. Dua kementerian kerap menerbitkan kebijakan yang tidak selaras dalam mengembangkan SDM. Padahal, Kemdikbud dengan Menristekdikti mestinya saling berkoordinasi.
Karena dua kementerian, kebijakan Kemristekdikti bisa saja tidak mengacu kepada kebijakan Kemdikbud. Kebijakan tentang penerimaan mahasiswa baru (PMB) pada Perguruan Tinggi Negeri PTN), baik melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), maupun Seleksi Mandiri Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) bisa berjalan sendiri-sendiri. Kalaupun terjadi sinkronitas, itu karena kerja tim di lapangan yang bersifat rutin. Namun jika terjadi perubahan, dua lembaga tersebut tidak mustahil memilih mementingkan ego masing-masing.
Yang sangat terlihat, dua kementerian bidang pendidikan ini cenderung samar kahayang (segala macam mau), sehingga banyak kebijakan yang membuat gaduh dunia pendidikan. Dikatakan, dosen semakin tidak produktif, sehingga tunjangan fungsionalnya akan dicabut. Dosen juga berusaha mengejar tunjangan fungsional. Jika dosen tidak produktif, bagaimana mungkin setiap tahun perguruan tinggi meluluskan puluhan ribu sarjana? Kalau dosen tidak berkualitas, bagaimana mungkin banyak mahasiswa yang berprestasi di kancah internasional? Presiden sendiri mengakui dalam pidato kenegaraan bahwa, banyak anak bangsa yang berprestasi di kancah internasional. Pertanyaannya, lalu siapa yang tidak produktif, dosenkah atau kementerian yang samar kayang?
Kebijakan menyelenggarakan Program Profesi Guru (PPG) bagi sarjana yang akan menjadi guru juga sangat ambigu. Memberlakukan kebijakan ini berarti menafikan keberadaan Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK). Jika semua sarjana bisa menjadi guru hanya dengan PPG, lalu untuk apa LPTK? Kalau begitu, tidak berguna lagi LPTK itu. Kalau tidak diperlukan, untuk apa dipertahankan? Kalau begitu, Indonesia cukup mengembangkan keilmuan murni, sementara sarjana S1 yang akan menjadi guru cukup mengikuti PPG.
Sejumlah negara di kawasan ASEAN, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand selama ini justru belajar dari Indonesia yang mengintegrasikan penanganan masalah pendidikan dalam satu kementerian. Saat mereka sukses belajar dari Indonesia, justru kita yang memecah kementerian pendidikan dalam dua lembaga. Mereka menyadari, mengelola pendidikan dalam satu atap lebih efektif dan produktif.
Perlu ada kesamaan visi dari dua kementerian itu yang menekankan pada revolusi mental dalam mengembangkan sumber daya manusia. Pada praktiknya, dua kementerian tersebut tidak berkoordinasi dalam mengembangkan visi. Maka kita dapat menyaksikan, SDM di perguruan tinggai diarahkan pada mental kapitalisme. Contohnya, keluarnya Permendikti No. 20 Tahun 2017 tentang Tunjangan Profesi bagi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor. Sementara Kemdikbud mengembangkan sekolah lima hari atau (full day school) yang tidak jelas arah kebijakannya. Program ini bisa menjadi sangat baik, namun pada kenyataannya tidak terkontrol arah pengembangan kurikulumnya. Makanya, Mendikbud mengalami kegamangan.
Baik Kemdikbud maupun Kemristekdikti mengalami kegamangan mencari bentuk pengembangan dunia pendidikan, apakah mau mengarah kepada madzhab Eropa Kontinental ataukah Anglo Saxon. Kegamangan madzhab berakibat kepada sikap generasi muda yang tidak mempunyai pola. Apa pun madzhabnya, kita harus menentukan satu, baik Eropa Kontinental, Anglo Saxon, atau madzhab Asia yang masih satu rumpun. Dengan bermadzhabkan Eropa Kontinental, maka arah pendidikan kita bersifat konservatif. Ketika mengacu kepada madzhab Anglo Saxon, pendidikan kita mengarah kepada liberal. Tapi kalau mengacu kepada madzhab Asia yang satu rumpun, maka memungkinkan pendidikan di Asia mengalami satu budaya.***
#Artikel ini dimuat di HU Pikiran Rakyat, Kamis, 24 Agustus 2017, Hal 26