Budaya Literasi Sekolah Di Tengah Kemajuan Teknologi Informasi Dan Komunikasi

Pada April 2016, Central Connecticut State University merilis data tentang negara paling literat sedunia dan menempatkan Indonesia pada peringkat 60 dari 61 negara yang diteliti. Indonesia berada satu peringkat di atas Bostwana. Memang miris dan ironis bila data ini benar-benar menggambarkan kondisi literasi di Indonesia saat ini karena hal ini menunjukkan betapa jauh jarak antara manusia Indonesia dan buku. Sebelumnya pada 2014 UNESCO menyatakan bahwa anak-anak Indonesia membaca hanya 27 halaman buku dalam satu tahun dan mereka hanya menyediakan waktu selama 2 – 4 jam membaca sehari sedangkan standar UNESCO adalah 4 – 6 jam per hari, sedangkan anak-anak di negara maju membaca selama 6 – 8 jam per hari (Kompas, 12 Mei 2016). Hasil dari berbagai survei tersebut menunjukkan bahwa literasi merupakan masalah yang serius dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Kepedulian publik terhadap perkembangan kemampuan anak-anak membaca dan menulis merupakan satu fakta sosial yang penting, namun fakta ini seringkali tidak didukung oleh respons politik yang serius dan komprehensif. Tentunya kondisi ini tidak mudah diperbaiki, terutama di tengah-tengah budaya yang mengarusutamakan kecakapan lisan dalam bertutur dan bernalar. Namun demikian, budaya ini harus diubah dan diperbaiki agar bangsa dan negara Indonesia tidak selalu dipermalukan di muka dunia setiap kali data tentang indeks literasi dipublikasikan oleh lembaga-lembaga internasional tertentu. Mungkin kita bertanya mengapa membaca buku masih menjadi tolok ukur kegiatan literasi padahal bahan bacaan daring (online) begitu melimpah seolah-olah tidak terbatas. Ternyata hasil peneliti membuktikan bahwa kegiatan membaca online tidak menghasilkan pemahaman dan kemampuan berpikir ktirik yang tinggi di antara para pembaca.

Tetapi kita patut bersyukur karena pemerintah segera memberikan respons dalam bentuk Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang gencar disosialisasikan dan diimplementasikan di banyak sekolah di Indonesia. Dalam konteks kebahasaan di Indonesia, memang banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengukur tingkat literasi individu atau masyarakat, baik faktor sosial, budaya, ekonomi dan akademik. Faktor-faktor ini tampaknya juga saling terkait. Salah satunya adalah ketersediaan bahan bacaan di lingkungan rumah, sekolah dan tempat-tempat lain yang memungkinkan individu-individu melakukan berbagai kegiatan literasi. Faktor ini yang memungkinkan terbentuknya sebuah “print-rich environment”, yakni lingkungan yang dapat merangsang anak-anak atau orang dewasa untuk tetap dengan bahan bacaan. Faktor kedua adalah praktek literasi di lingkungan rumah. Data menunjukkan bahwa apabila anak-anak sudah dipersiapkan sejak dini dalam kegiatan literasi di lingkungan rumah, maka mereka siap secara akademik dan mental pada saat memasuki usia sekolah (Dean, 2000). Dua faktor terakhir adalah pengajaran dan kondisi ekonomi. Sekolah dan guru seringkali menjadi faktor yang menentukan keberhasilan anak-anak dalam mempraktekkan kegiatan literasi sehari-hari untuk berbagai tujuan dan kebutuhan. Meskipun sekolah merupakan tempat yang mendorong setiap anak untuk membaca dan menulis, namun mereka akan gagal menjadi manusia literat apabila guru, kepala sekolah dan orang dewasa di lingkungan sekolah tidak menjadi model bagi mereka dalam kegiatan literasi. Faktor terakhir adalah kondisi ekonomi yang sering dikaitkan dengan daya beli dan akses masyarakat ke sumber-sumber bacaan.

Namun demikian, kita tidak dapat memungkiri bahwa kehadiran teknologi informasi dan komunikasi beserta sistem dan perangkat canggihnya telah mengalihkan perhatian manyarakat dari bahan bacaan ke layar-layar plastik magis yang lebih menarik, baik sebagai komputer, laptop, handphone, dan lain-lain. Sebagian besar masyarakat yang semula tidak terbiasa dengan kegiatan literasi kini sudah mengalihkan perhatian ke sarana untuk mencari informasi sesuai dengan kebutuhan mereka. Praktik literasi tetap berjalan dengan teknologi ini, tetapi tetap saja mereka jauh dari bahan bacaan cetak. Di banyak negara maju dan literat seperti Finlandia, Amerika Serikat, dan Jepang, kehadiran teknologi informasi dan komunikasi ini tidak menyurutkan individu-invididu untuk tetap membaca dan menulis secara tradisional. Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah bahwa anak-anak sudah menjauh dari layar televisi tetapi dekat dari layar gawai yang ada di tangan mereka. Teknologi digital menjadikan mereka sebagai warga global dan dunia ada di dalam genggaman mereka. Dengan kata lain, literasi tidak lagi menjadi sebuah kegiatan tetapi merangkum berbagai peristiwa sosial, kultural dan kognitif. Dalam konteks kekinian, terutama setelah perkembangan multimedia yang pesat, kita menyaksikan bahwa literasi sangat penting “untuk berpartispasi secara penuh dalam urusan publik dan ekonomi sehingga individu-individu dituntut untuk memiliki kemampuan analisis simbolik, berpikir kritis, kesadaran antar-budaya dan kesadaran meta-linguistik.

Hal menarik lain yang berkaitan dengan masalah rendahnya kebiasaan literasi di dalam masyarakat Indonesia adalah ketidakpadanan atau “mismatch” antara budaya sekolah dan budaya rumah, yaitu kesenjangan dalam praktek literasi di sekolah dan lingkungan rumah. Sekolah mendorong anak-anak untuk terbiasa dalam kegiatan literasi, tetapi lingkungan rumah tidak mendukung budaya sekolah ini karena berbagai alasan. Masalah kronis ini belum dipecahkan secara tuntas sejak lama karena tidak ada intervensi yang komprehensif. Oleh karena itu, diperlukan sebuah model intervensi interdisipliner dan sosial-budaya untuk memberdayakan semua pemangku kepentingan untuk memecahkan masalah ini (Prof. H. Riswanda Setiadi, M.A., Ph.D yang merupakan Guru Besar dalam Bidang Pendidikan Bahasa dan Literasi, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS), Universitas Pendidikan Indonesia)