The Last Train in Hokkaido

Ini terjadi di Provinsi kepulauan Hokkaido, Jepang tahun 2016. Layanan kereta api ke stasiun kampung kecil Kyu shirataki, akhirnya ditutup. Hal ini dilakukan karena sudah tak ada lagi penumpang. Selama tiga tahun terakhir, kereta api rute kyu shirataki  tersebut hanya melayani seorang penumpang. Yaitu seorang gadis kecil bernama  Kana Harada  siswa SMA yang menjadi penumpang rutin. Selama tiga tahun, ia menggunakan jasa kereta tersebut pergi ke sekolah setiap pagi dan pulang di sore hari. The commuter train serves only a single student. Luar biasa. Ketika sang gadis kecil tersebut lulus ujian SMA, praktis tak ada lagi calon penumpang. Akhirnya, pengelola jasa kereta api Hokkaido memutuskan untuk menutup rute kereta api tersebut.

Demikian juga contoh yang terjadi di daerah Mukoshima, pulau kecil di Perfectur Saga, Jepang. Tepatnya di  kota Karatsu, di SD Irino  Shogakko. Sekolah tersebut hanya memiliki satu siswa, satu guru dan satu tata usaha. Pulau Mukoshima merupakan salah satu dari ratusan  pulau kecil di Jepang. Saat ini penduduk pulau tersebut hanya dihuni penduduk lokal sebanyak  79 orang. Meski  siswa hanya  1 (satu) orang siswa tapi fasilitas sekolah tidak jauh berbeda dengan sekolah pada umumnya. Hanya dari ukurannya saja yg tidak terlalu besar. Akhirnya setelah siswa tersebut lulus. Tahun 2012 SD tersebut tutup. (Risda,2021).

Ilustrasi di atas, lebih merupakan penggalan informasi betapa masyarakat dan Pemerintah Jepang sangat memperhatikan pendidikan bagi generasi muda usia sekolah dasar dan menengah. Resiko dan konsekwensi apapun akan ditempuh untuk  keberlangsungan pendidikan warganya. Sebagai contoh, partisipasi perusahaan kereta, yang siap merugi, demi keberlangsungan pendidikan seorang gadis kecil, pengguna   jasa kereta api.  

Persoalan pendidikan di daerah terpencil, sampai saat ini, masih menjadi persoalan pelik di banyak negara, termasuk Indonesia. Persoalannya sangat kompleks. Menyangkut ragam aspek  yang solusinya  harus diurai dari berbagai bidang.  Pendidikan di daerah terpencil, bukan hanya persoalan keterbatasan guru dan sarana prasarana sekolah.  Namun juga, menyangkut persoalan sosial budaya, kultur masyarakat lokal, keamanan,  ketersediaan fasilitas kesehatan, termasuk penyediaan sarana  transportasi.

Teacher Drain

Cina misalnya, negara tirai bambu ini masih menyisakan persoalan keterbatasan guru di daerah terpencil. Pemerintah Cina  telah menetapkan  aksesibilitas dan pemerataan pendidikan  sebagai isu  penting dalam pelaksanaan wajib belajar 12 tahun. Pengadaan dan tunjangan khusus para guru telah diberikan. Namun masih banyak 

Guru yang tak  betah dan minta pindah. Ujungnya terjadi kekosongan guru di banyak sekolah. Teacher drain di Cina  terjadi dalam tiga dekade terakhir   ini. Walaupun pemerintah sudah mengeluarkan dana tambahan bagi para guru di daerah terpencil, melalui program Gudacil. ( China through a Lens,  2003).

Hal yang sama masih terjadi di Australia. Dalam seratus tahun terakhir ini, banyak negara bagian di Australia yang masih mengalami kendala dalam pengelolaan pendidikan di daerah terpencil. Yaitu bagaimana memberikan layanan pendidikan secara optimal bagi masyarakat di wilayah rural dan terpencil. Termasuk memberikan layanan bagi warga asli lokal suku Aborigin genuine  communities, yang tersebar di beberapa kantong wilayah hunian.

Willis (2020) merinci tugas mengajar di daerah rural Australia, sangat sulit. Selain perlu keterampilan mengajar di kelas rangkap. Juga perlu ketahanan mental, dan ketahanan fisik paripurna dari para guru. As teaher, living in remotes places  can be hard – physically, socially, economically, culturally.

Solusinya,  pemerintah  bukan hanya menyiapkan kurikulum yang tepat guna, sistem pembelajaran jarak jauh dan penguatan metolodogi pembelajaran yg sesuai untuk kelas kecil dan kelas rangkap. Tetapi juga perlu pembekalan bagi calon guru tentang budaya setempat. Termasuk kemampuan dalam interaksi menggunakan bahasa lokal (mother tongue). Pemahaman  genuine culture juga sangat penting. Hal lain daya ketahanan malangan atau survivalness dalam beradaptasi dengan budaya lokal dan kemampuan untuk bisa bertahan pada lingkungan fisik  yang ekstrim.

Absenteeism

Bagi Indonesia, dengan kondisi geografis yang beragam, fenomena pendidikan di daerah terpencil, terdepan, terluar (3T) telah menjadi perhatian semua pihak. Banyak upaya telah dilakukan. Walaupun demikian, aksesibilitas pendidikan di daerah terpencil masih tetap menyisakan banyak persoalan.

Di Papua misalnya, terutama di kawasan Pegunungan Tengah, kesempatan generasi muda untuk mempeoleh pendidikan dasar saja masih sulit. Di pedalaman Papua, layanan pendidikan dasar yang memadai masih merupakan barang langka. Sejumlah anggaran telah banyak digelontorkan. Untuk pembangunan fisik, sarana dan fasilitas pembelajaran telah banyak diinvestasikan. Pengadaan guru baru juga telah dilakukan walaupun diakui masih banyak sekolah di pedalaman yang kekurangan guru.

Laporan menarik dikemukakan Anderson (2020) bahwa selain kualitas dan kuantitas guru di pedalaman Papua masih belum memadai. Juga angka ketidakhadiran guru sangat tinggi. In highland, most of these teachers do not  up for work. Teacher absenteeism is a problem. In Papua, a teacher may skip a semester for absenteeism. Bayangkan masih banyak  guru yang alpa mengajar. Banyak guru yang tidak hadir  ke sekolah selama berbulan bulan atau nyaris absen selama satu semester.

Tingginya ketidakhadiran guru ini patut dikaji secara lebih serius. Apakah hal ini karena komitmen guru yang rendah, kurang motivasi para guru untuk bekerja. Atau lebih pada lingkungan kerja dan lingkungan alam yang tak mendukung. Atau adanya faktor mismanagement yang menggerogoti sistem pendidikan. Intinya pengelolaan pendidikan yang jelek dan nyaris lumpuh. (Anderson,2020). Wallahu alam.

Itulah sisi lain, dari fenomena pendidikan di daerah terpencil di berbagai negara. Termasuk di Indonesia. Generasi muda pedesaan dan wilayah terpencil adalah aset bangsa. Jangan biarkan mereka hidup dalam kegelapan. Jangan biarkan mereka hidup dalam ketunaan.Tuna pengetahuan tuna keterampilan. Di tengah generasi muda lain, khususnya di daerah urban, telah menikmati sarana, prasarana dan sumber belajar  yang relatif memadai. Di wilayah terpencil, masih banyak sekolah yang gurunya masih kurang, dengan fasilitas belajar yang terbatas. Di wilayah terpencil, tak ada jaringan telekomunikasi.   Jadi internet of things dan big data, lebih merupakan wacana. Mereka belum bisa menikmati fasilitas belajar seperti itu. Malahan, ada  kesan, jauh panggang dari api.

Apa yang sebaiknya dilakukan oleh LPTK termasuk UPI.

Pertama, aksesibilitas pendidikan di daerah terpencil, perlu penanganan khusus. Kebijakan yang perlu melibatkan multi sektor. Termasuk pembangunan fasilitas kesehatan, infra struktur sarana transportasi. Selain jaminan keselamatan dan keamanan lingkungan.

Kedua, persoalan pendidikan di daerah terpencil bukan hanya ditilik dari aspek metodologi, strategi pembelajaran dan manajemen pengelolaan sekolah kecil atau kelas rangkap. Tetapi juga patut dikaji dari aspek sosial ekonomi, budaya lokal masyarakat termasuk kajian ethnopedagogy dan genuine culture warga setempat.

Ketiga, saatnya semua  ikhtiar yang dilakukan perlu memberi keberpihakan pada wilayah kantong pemukiman masyarakat daerah terpencil. Penanganan daerah terpencil di pedalaman akan jauh berbeda dengan daerah pesisir atau pulau terpencil. Perbanyak kajian riset dan pengabdian masyarakat yang orientasinya tertuju pada masyarakat terpencil tersebut. Program guru mengajar di daerah terpencil ataupun sejenis    SM3T masih perlu untuk diteruskan.

Yuk kita dorong para guru dan calon guru untuk siap mengabdi di wilayah pegunungan terpencil atau wilayah pulau terpencil sekalipun.    Tanggungjawab inipun bukan hanya dialamatkan kepada para insan pendidikan saja. Uluran perhatian lintas sektor perlu dilakukan, termasuk dunia usaha dan dunia industri (DUDI) ataupun LSM Pendidikan.

Seperti  ilustrasikan di awal tulisan ini.    Betapa perusahaan jasa kereta api di Jepang, yang tak hanya mengejar aspek bisnis untuk meraup keuntungan semata. Namun perusahaan tersebut memberi perhatian penuh dan tanggungjawab sosial dengan mengusung peran community service yang patut dicontoh. Perusahaan kereta tersebut rela merugi demi perjuangan  seorang gadis kecil yang masih ingin sekolah. The last train that serve a single student. Sungguh luar biasa! (Dinn Wahyudin)