VCDLN dalam Membangun Digital University 2030

Sebuah obsesi bagaimana menyiapkan framework layanan Pendidikan dan pembelajaran tanpabatas ruang dan waktu. Tentunya sampai sekarangmimpi tersebut masih diselimuti oleh sejumlah aturan dan perundangan bahkan kebijakan, atau mungkin pengetahuan yang “belum hatam” dalam mempelajari dan memahami tentang apa yang disebut dengan “Open  Distance Learning”, Pembelajaran Jarak Jauh, Pembelajaran Online, dan sebutan lainnya di Indonesia. Bahkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan serta Dirjenkemendikbudristek -pun masih belum 100 persen untuk dapat memberikan ruang gerak mengenai layanan Pendidikan yang lebih Demokratis dan bukan sekedar “Merdeka”. Sebagaimana sampai sekarang diimplementasikan kebijakan “MBKM”, Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka. Namun disisi lain sebenarnya dapat dipandang dalam saalah satu perspektif sederhana yaitu tentang “Digital University”.

Beberapa negara dengan universitas Modern-nya telah mulai melirik peluang inovasi yang cukup menjanjikan dalam aspek Branding dan menunjukkan keunggulan serta kesiapan infrastruktur dan teknologi bahkan frame work pemikirna para pimpinanan universitasnya nuntuk tampil memberikan yang terbaik, terbesar, terluas dan terpercaya dengan standar kredibilitas internasionalnya untuk memberikan layanan Pendidikan dan pembelajaran tanda batas ruang, waktu, jarak tempuh dan keadaan.

Mungkin suatu saat proses layanan Pendidikan dan pembelajaran tidak lagi membutuhkan Gedung, ruang kelas dan mewah, dan system setting ruangan belajar secara fisik, namun cukup dengan ruang virtual, kelas virtual, semua instrumental educational technology yang serba virtual. Hal ini sudah jelas kiranya ciri-ciri kea rah sana sudah mulai dirasakan oleh sejumlah pembelajar di berbagai Lembaga universitas ternama, konsultan layanan Pendidikan, Lembaga-lembaga riset dunia yang sudah banyak mendukung untuk para periset dalam hal penciptaan instrumental tools-nya.

Jika memungkinkan sejumlah pendanaan riset di Indonesia mungkin saja ditawarkan kepada sekelompok periset kelas local, nasional dan dunia untuk Bersama-sama mengkonstruksi dalam riset besarnya secara optimal dan nkomprehensif untuk membangun protife system ‘Digital University”. Demikian pula halnya dengan usulan dan capaian standar akreditasi internasionalnya yang harus diakui dunia, sebut saja sesuai dengan standar dari European Quality Assurance Register for Higher Education (EQAR) bidang Umum dengan lembaganya terdiri atas : FIBAA, A3ES, ACQUIN, dan lain-lain.

Council for Higher Education Accreditation (CHEA) bidang umum dengan lembaganya ACEN, ATMAE, dan ACPE. United States Department of Education (USDE) bidang Kesehatan dengan lembaganya ACPE, ACAOM, dan AOTA. World Federation of Medical Education (WFME) bidang Kesehatan dengan lembaganya LCME, AMC, LAM-PTKes. Wasington Accord bidang Teknik dengan lembaganya ABET, JABEE, IABEE. Sydney Accord bidang Teknolgi Teknik dengan lembaganya ABET, dan ECUK. Dublin Accord bidang Praktisi Teknik dengan lembaganya ABET dan ECUK. Seoul Accord dalam bidang  Ilmu Komputer dengan lembaganya ABEEK dan ABET. Canberra Accord dalam Bidang Arsitektur dengan lembaganya KAAB dan NAA. Asia Pacific Quality Register (APQR) dalam bidang umum dengan lembaganya NCPA, FHEC, dan RR.

Sebagai contoh data sementara di Indonesia seperti ITB ada 10 Program studinya terakreditasi ABET (http://spm.itb.ac.id) , sangat membanggakan. UGM dengan jumlah prodi terakreditas internasionalnya untuk AACSB sebanyak 44; ASIIN 30; ABET 9, ICheme 3, IABEE 54, dan RSC 1 (sumber: https://www.ugm.ac.id ) di UPI telah banyak program studi yang meraih akreditas internasional (sumber: https://berita.upi.edu/) .

Dari fenomena dan prestasi ini, maka apakah system layanan Pendidikan kita dapat secara perlahan mulai memberikan yang terinovasikan dengan terstruktur dan terus-menerus dilakukan secara Bersama-sama agar mampu melahir sebagaimana yang dcitas-citakan oleh masyarakat Pendidikan tingkat dunia, yaitu adanya Global Community Digital Learning Services. Hal ini sebagaimana telah menjadi sebuah obsesi bagi kami yang mencoba membangun sebuah komunitas pembelajar, dengan nama VCDLN (Virtual Community Digital Learning Nusantara).

Mungkin filosofis VCDLN denga apa yang diberlakukan dalam system akreditasi internasional itu jauh berbeda, namun sebagai bukti empiric dan kredibilitas keberadaannya dapat dibuktikan satu sama lain sebagai warna dari sebuah inovasi yang dilakukan oleh stakeholder Pendidikan tinggi saat ini. Jika melihat inovasi-inovasi tingkat dunia seperti yang akan diselenggaran oleh The TIME Higher Education pada bulan mei tanggal 9 s.d 12 tahun 2022 ini bertempat di Boston Marriot Cambridge, Cambirdge, MA, US. Dimana dalam acara tersebut akan dibentangkan tema “AGILE EDUCATION FOR DIGITAL-FIRT FUTURE” (sumber: https://www.timeshighered-events.com ). Dimana dalam pembahasannya mungkin akan melahirkan salah satunya adalah layanan Pendidikan yang Tangguh dan kredibel dalam kondisi apapun secara Digital-Virtual-Oline (DVO) dengan para periset hebat dengan focus-fokus pembahasan mencakup Campus Transformations, Teaching and Learning Innovations, The Students Journey.

Dari acara tersebut yang paling mengagetkan ternyata sejumlah pembicaranya berasal dari universitas ternama dunia, seperti  Bridget Burns (CEOUniversity Innovation Alliance) ;Douglas Harrison (Vice-president and dean of the School of Cybersecurity and Information TechnologyUniversity of Maryland); Klara Jelinkova (Vice-president and chief information officer Harvard University);Vijay KumarExecutive director of the Abdul Latif Jameel World Education Lab Massachusetts Institute of Technology; Sharon Pitt (Vice-president of IT and chief information officer University of Delaware); Chris Rush (Director of educational technology US Department of Education);  Anant Agarwal Founder, edX Chief open education officer, 2U; Joseph Aoun (President Northeastern University); Sandrine Belloc (Co-founder and managing partner Emerging); Tom Cavanagh (Vice-provost of digital learning University of Central Florida); Laurent Dupasquier (Co-founder and managing partner Emerging); Jennifer Frederick (Executive director of the Poorvu Center for Teaching and Learning Yale University); Lev Gonick Chief information officer Arizona State University);  Douglas Harrison (Vice-president and dean of the School of Cybersecurity and Information Technology University of Maryland); Ericka Hollis (Assistant provost of academic innovation and faculty development Regis College); Paul Huckett (Assistant dean of learning design and innovation Johns Hopkins University); Klara Jelinkova (Vice-president and chief information officer Harvard University);  Sukhwant JhajVice-provost of academic innovation and student achievement Arizona State University);  John Jibilian Executive vice-president of digital transformation Southern New Hampshire University);  Megan Kennedy (Director of the Resilience Lab University of Washington); Vijay Kumar (Executive director of the Abdul Latif Jameel World Education Lab Massachusetts Institute of Technology); Caroline Levander (Vice-president of global and digital strategyRice University);  Lynn Pasquerella President Association of American Colleges and Universities); dan Sarah Peyre Interim provost University of Rochester).

Sebuah pertanyaan mungkinkan sebentar lagi akan lahir sebuah kekuatan komunitas baru secara digital yang mampu memberikan system layanan belajar jarak jauh yang mampu memenuhi semua indicator system standar akreditasi?. Jika melihat kondisi yang dialami sekarang ini, hal tersebut akan mungkin nterwujud, dan bagaimana dengan kita sudahkah kita mempersiapkan diri?. Semoga dengan inovasi yang walaupun secuil dapat saling menghargai dan menghormati serta saling mendukung dan membesarkan hati dalam memotivasi Bersama. Seperti halnya yang sedang dirintis oleh tim kompak VCDLN melalui support dari pendanaan Universitas dan Kemendikbudristekdikti, semoga Indonesia dapat hadir kelak di sana dan vcdln menjadi salah satu platform yang digunakan dalam layanan system ‘Digital University Dunia”. (1 Maret, 2022, DD).