Mari Menularkan “Virus” Menulis!

Oleh MUHAMMAD IRFAN ILMY

(Mahasiswa Departemen Ilmu Pendidikan Agama Islam, FPIPS & Ketua Biro Media Bidang Syiar Dakwah BEM Hima IPAI 2014-2015)

 “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”  Pramoedya Ananta Toer

MENULIS memang aktivitas yang menyenangkan dan menjadi obat mujarab untuk menyalurkan ide yang memenuhi kepala. Eyang Habibi pernah mengatakan bahwa dia divonis menderita sebuah penyakit yang membahayakan. Psikosomatik malignant, nama penyakit yang dimaksud-sebuah penyakit yang jika tidak ditangani dengan cepat bisa berpotensi sangat fatal bagi nyawa seseorang. Ini diakibatkan karena kesedihan ditinggal isteri tercintanya -Ibu Ainun.

Dokter menyarankan untuk dilakukan pengobatan lebih lanjut. Ada empat opsi yang bisa diambil dan salah satunya curhat kepada diri sendiri. Namun, akhirnya Eyang Habibi mengeluarkan unek-uneknya tentang Ibu Ainun melalui sebuah buku yang belakangan menjadi buah bibir para pembaca buku di tanah air. Melalui kegiatan menulis itu beliau dinyatakan sembuh. Itu contoh benefit yang didapat dari kegiatan menulis.2

Menulis adalah alternatif mengabadikan karya hingga bisa dinikmati generasi setelah kita. Menulis membuat buah pikiran kita tetap hidup dan menjadi aliran pahala ketika kita sudah tiada. Aktivitas menulis bisa dilakukan siapa saja tanpa tersekat perbedaan status sosial dan semacamnya. Menulis itu murah dan mudah hanya bermodalkan kemauan dan kesungguhan saja. Dalam aktivitas sehari-hari sebenarnya menulis merupakan kegiatan yang dilakukan dalam porsi yang tinggi. Sms, chating, update status di media sosial, mengerjakan tugas (bagi pelajar atau mahasiswa) itu beberapa contoh aktifitas menulis. Jika cara menulisnya diarahakan maka kegiatan tersebut akan mendatangkan kemanfaatan bagi orang banyak. Pemikiran cemerlang kita bisa sampai kepada para pembaca yang tidak pernah saling bertatap muka.

Mengapa menulis?

Pertanyaan yang bukan datang dari pikiran pribadi saja. Ini pertanyaan yang sering ditemukan di berbagai acara kepenulisan, sosial media, dan forum lainnya. Kenapa harus menulis? Ini beberapa alasan tentang pentingnya menulis:

Pertama, menulis merupakan upaya untuk mengabadikan ekspresi diri.

Saya terinspirasi dari sebuah hadits yang menyatakan bahwa salah satu amal yang tidak akan ada putusnya meski sudah meninggal ialah ilmu yang bermanfaat. Saya menafsirkan itu tidak hanya ilmu yang diberikan melalui pengajaran di bangku sekolah atau kuliah, melainkan melalui tulisan pun bisa bahkan sangat bisa. Tulisan hanya akan ada jika kita atau orang lain menuliskannya. So, dengan alasan itu saya ingin terus menulis dan berharap ada yang terinspirasi, terhibur, tergerak hatinya untuk menjadi orang yang lebih baik selain tujuan awalnya mengamalkan ilmu yang dimiliki.

Kedua, saya lihat para penulis itu adalah para pembaca. Namun, saya juga kadang berpikir orang yang membaca tak mesti pandai menuangkannya lewat kata-kata. Saya pun berpikir bahwa untuk menulis maka membaca adalah sebuah keharusan.

Saya termasuk orang yang tidak terlalu gila baca. Pada titik tertentu saya kadang ngiri sama orang yang terlihat nyaman ketika membaca. Untuk itu, saya pun kerap bertanya kepada pemateri yang kebetulan sedang membahas trik sukses dalam menulis. Di kesempatan seperti itu saya bertanya atau meminta saran supaya suka membaca. Beberapa pemateri memang menyebutkan “wajibnya” aktivitas membaca dalam rangka mempersiapkan tulisan. Apabila ide menulis diibaratkan air, teh, kopi, susu, dalam sebuah teko, maka tidak akan ada yang keluar jika tidak pernah diisi. Namun, sebenarnya tidak harus muluk-muluk dalam membaca. Cukup baca apa yang disukai menurut kita. Novel, komik, artikel, esai, biografi, cerpen, buku ilmiah ataupun yang lainnya.

Ketiga, saya suka saja melihat penulis. Mereka terlihat begitu menikmati hidupnya.

Keempat, saya ingin mendapatkan uang dari proses menulis ini (apa ini salah)?

Saya masih mencari jawaban atas pertanyaan ini. Semoga tidak apa-apa. Sebab suatu saat nanti, saya ingin menjadikan menulis sebagai salah satu sumber income dalam kehidupan saya.

Kelima, saya ingin menikmati proses menulis yang saya jalani.

Di otak saya inginnya ada sebuah motivasi yang meskipun saya sedang lesu saya berupaya tetap semangat menulis. Sebagaimana yang dikatakan Tere Liye dalam seminarnya bahwa “Kita harus memiliki banyak alasan atau motivasi dalam menulis ketika 1 hilang, masih tersisa 99 motivasi lain. Begitupun seterusnya”

Keenam, saya ingin memiliki pendamping hidup yang suka dan pandai menulis.

Harapannya saya ingin menulis sebuah buku dengan dua penulis, yaitu saya dan dia. Saya membayangkan hal tersebut merupakan pembeda saya dan orang lain.

Ketujuh, saya ingin ketika nanti saya sudah tiada orang dengan mudahnya bisa mengingat saya melalui tulisan saya.

Semoga saja mereka tergerak untuk mendoakan saya yang telah tiada di dunia.

Selain beberapa alasan diatas masih banyak lagi alasan yang mengakibatkan saya suka terhadap dunia tulis menulis. Untuk saat ini yang terpikirkan hanya segini saja, namun suatu saat alasan itu akan bertambah semakin banyak. Alasan-alasan ini diharapkan mampu menjadi cambuk bagi saya untuk menekuni dan menyukai proses menulis, baik ada atau tidak orang yang membaca karya saya. Saya ingin memiliki rasa biasa saja atas hal tersebut.

Menulislah sedari muda!

Mencari ilmu diwaktu kecil bagai mengukir diatas batu, mencari ilmu diwaktu tua bagai mengukir di atas air. Pepatah Arab ini menjadi semacam pengingat bagi kita bahwa proses mencari ilmu ketika usia masih muda akan mudah dan melekat lebih lama. Pepatah ini pun relevan bila dihubungkan dengan proses menulis. Menulis merupakan keterampilan yang bisa diasah untuk semakin menajamkan kemampuannya. Ketika proses mengasah itu dimulai dari waktu kecil (masa keemasan), maka hasil yang akan diperoleh pun akan maksimal.

Di era teknologi yang sangat gencar saat ini, proses menulis menjadi sangat mudah. Siapa saja bisa menuangkan idenya dengan media teknologi yang canggih. Gadget, laptop, notebook dijual dengan harga yang terjangkau. Apabila kita sebagai pengguna mampu memaksimalkan fungsinya maka karya akan dengan mudah tercipta.

Saya termasuk orang yang terlambat belajar menulis. Saya mulai menulis dengan intensitas yang tinggi pada tahun 2012 ketika semester 1 kuliah di UPI Bandung—sebelumnya kuliah setahun di Unsoed. Tapi, sejujurnya kesukaan pada aktivitas menulis itu mulai tumbuh ketika berada di tingkat SLTP.

Menyoal pentingnya membudayakan menulis sejak dini seharusnya menjadi kesadaran yang tumbuh dari orang tua terhadap anaknya. Bakat yang tersemai ke permukaan tentang hal ini harusnya mampu ditangkap orang tua lalu selanjutnya dipupuk dan dijaga hingga saatnya berbuah. Terkadang, orang tua tidak menyadari kalau anaknya berpotensi menjadi penulis. Pada intinya, orang tua harus peka.

Di sekolah, guru sebagai wakil orang tua pun sejatinya memberikan stimulus kepada siswa untuk menyukai proses menulis. Guru harus pandai menyampaikan dan menginternalisasi manfaat yang bisa diperoleh dengan menulis kepada siswanya. Tentu hal ini harus didukung oleh contoh yang diperlihatkan sang guru. Biasanya siswa akan lebih tertarik dengan apa yang dia saksikan sendiri lalu timbul rasa penasaran hingga akhirnya mulai mencoba. Dari sinilah awal mekarnya rasa suka pada aktifitas menulis. Terkait pentingnya menulis sejak dini, Pramoedya Ananta Toer pernah berujar “Menulislah sedari SD, apa pun yang ditulis sedari SD pasti jadi.”

Dewasa ini banyak sekali anak berusia muda yang produktif menghasilkan karya berupa tulisan. Komunitas rumah dunia yang didirikan Gol A Gong salah satunya. Di sana dibudayakan menulis yang salah satunya diperuntukan untuk anak.

Contoh lain, Harian Umum Pikiran Rakyat selalu membuka rubrik PR kecil yang diperuntukan bagi anak SD bahkan TK untuk menuangkan kreativitasnya dalam bentuk cerpen, puisi atau komik. Ini patut diapreasiasi dan terus dikawal hingga rubrik ini terus eksis dalam rangka memfasilitasi minat dan bakat anak dalam menulis. Pun untuk media cetak lainnya semoga bisa mengikuti langkah positif yang dilakukan Koran Regional Jawa Barat ini. Betapa menulis sejak dini akan membuat kualitas dan kuantitasnya dalam menulis akan terus terasah dan berkembang lebih baik. Akhirnya, mari menjadi agen yang menginfeksi anak-anak untuk mulai menulis!

 Sumber Bacaan: