Pendidikan Kejuruan adalah “Pendidikan Afektif”

Bandung, UPI03

Pendidikan kejuruan adalah “pendidikan afektif.” Sebab, pendidikan kejuruan hakikatnya adalah “pendidikan kejujuran.” Melihat persoalan pendidikan di lapangan, maka masalah vokasional memang harus ditangani dengan kejujuran. Oleh karena itu, soal pendidikan vokasional harus di-manage sejak di Lembaga Perguruan Tinggi dan Keguruan sebagai hulunya.

“Pendidikan vokasional merupakan pendidikan kehidupan itu sendiri. Kita mendidik siswa agar mereka survive, berwirausaha, mandiri, memiliki daya juang dan etos kerja, serta berbagai keterampilan hidup. Maka, mendidik mereka 90% merupakan pendidikan afektif,” kata Ketua Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia Jawa Barat, Dr. Dadang Hidayat, M.Pd., di Bandung, Ahad (12/6/2016).

Menurut dosen Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia ini, menyelenggarakan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang lebih baik, pada saat ini merupakan pilihan tepat di saat Indonesia sedang mengejar ketertinggalan di berbagai bidang. Akan tetapi, selain ranah kognitif dan psikomotorik, siswa SMK harus mendapatkan pendidikan afektif dalam porsi yang lebih besar.

“Siswa SMK harus mendapatkan pendidikan bagaimana mereka bersikap dan memiliki karakter. Mereka harus memiliki watak dan perilaku yang kuat, sehingga sensitif dengan mengolah perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai yang dimilikinya,” kata Dr. Dadang Hidayat.01

Menurut dia, proses pendidikan kejuruan tidak memiliki arti apa pun kalau peserta didik tidak terbentuk sikap yang baik. Bahkan dapat dikatakan, pendidikan kejuruan kalau hanya menyangkut afektif dan psikomotor tidaklah jadi. Maka, pendidikan kejuruan praktis merupakan ekspresi pendidikan nilai.

“Saya pastikan, kalau pendidikan kejuruan berhasil, maka tidak akan terjadi tawuran. Sebab, anak SMK merupakan anak yang taat aturan, taat asas, berpikir rasional, kritis memperhatikan kemanusian, hidup bersih, menjada kesehatan. Tawuran adalah gambaran ketidakberhasilan pendidikan. Sama juga dengan ‘bimbingan belajar – Bimbel’ adalah lambang ‘ketidakberhasilan pendidikan,” ujat pria yang sehari-hari dipanggil Pak Dadong ini.

Dadang Hidayat menyebutkan contoh bagus tentang dua kampus yang mengajarkan vokasional dengan menitikberatkan pada ranah afektif dan ranah kognitif. Dua kampus tersebut saling berdekatan tempatnya. Pada kampus satu yang tidak menitikberatkan ranah afektif memperlihatkan, mahasiswanya biar berpapasan dan beradu hidung, mereka tidak saling bertegur sapa. Raut muka tetap dingin dan acuh tak acuh. Sementara kampus yang mengajarkan afektif dengan lebih baik selalu menyapa, “selamat pagi”, “selamat siang”, atau “selamat sore” kepada siapa pun, baik yang dikenal ataupun tidak.02

Padahal, kebiasaan bertegur sapa bukan hanya milik dunia internasional. Tradisi lokal di tanah air sejak dulu kala telah mengajarkan siapa pun untuk menegur orang lain dengan ramah sembari mengatakan, “Bade ka mana?” Meskipun pertanyaannya “bade ka mana?” bukan berarti orang tersebut ikut campur urusan orang lain, melainkan sebagai ekspresi kepedulian dan kesantunan. Namun seiring perkembangan zaman, local wisdom tersebut semakin tergeser.

Pak Dadong mengatakan, mengajarkan ranah afektif di SMK harus dimulai mengajarkan para gurunya saat berada di LPTK. Agar siswanya memiliki kebiasaan baik, maka harus dimulai dari gurunya yang tidak boleh bosan mengajarkan siswanya berbuat baik itu. Selain itu, pendidikan afektif tidak bisa dididikkan hanya secara kognitif, melainkan harus diteladankan. Inilah yang harus dibiasakan bagi mahasiswa FPTK agar pada gilirannya, siswa SMK juga melakukan hal yang sama. (WAS)