Kabar dari Perancis (16) Adakah kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam bidangolahraga? (2)

Oleh : Nenden Nurhayati Issartel (Koresponden, Perancis)

Tri Indri Hardini (Dosen, Universitas Pendidikan Indonesia)

Artikel berikut ini adalah lanjutan dari pembahasan kita di minggu lalu tentang kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang olahraga.

Distribusi  kedua jenis kelamin dalam setiap olahraga yang tidak seimbang dan berkepanjangan pertama-tama dikaitkan dengan sejarah olahraga modern sejak pertengahan abad ke-19 yang pada saat itu olahraga dilakukan oleh laki-laki dan dibuat untuk laki-laki, padahal penerimaan perempuan di semua disiplin olahraga telah berlangsung sejak selama 150 tahun terakhir, seperti juga adanya hubungan antara perempuan dan laki-laki di dunia sosial, dalam pekerjaan, kemampuan bersosialisasi di ruang yang sama.

Secara sosiologis, penjelasan untuk memahami kesenjangan ini adalah ada kaitan dengan representasi / perwakilan dan norma “maskulin” dan “feminin”, karena olahraga merupakan bagian integral dari budaya yang ada dan hubungan sosial antarjenis kelamin. Maksudnya, penerimaan kaum perempuan dalam bidang olahraga seperti juga dalam bidang lainnya (pekerjaan, sosial) karena sekarang diwajibkan suatu badan memberi jumlah yang sama untuk menyetarakan keikutsertaan kaum perempuan. Misalnya di balai kota, jika walikota (le maire)  adalah seorang lelaki, perwakilan senat untuk kota ini harus seorang perempuan. Jika kepala sekolah di sekolah A adalah seorang lelaki, maka kepala sekolah B harus seorang perempuan. Jumlah kesetaraan antara perempuan dan lelaki masih sulit dipenuhi karena lebih banyak kaum lelaki yang aktif daripada kaum perempuan. Misalnya jumlah senator di Perancis  sekarang adalah 36, 2% sedang lelaki 63,8%. Jadi belum merata. Namun jumlah perempuan dan lelaki di pemerintahan Macron sudah terpenuhi 50%-50%.  Mungkin hal ini yang menjadi salah satu penyebab M. Macron mengangkat Mme Elisabeth Borne sebagai Perdana Menteri.

Kita bisa mengamati hubungan antara olahraga yang “maskulin” dan profesi yang “maskulin” ditinjau dari bentuk pekerjaan di profesional, rumah tangga, dan keterampilan apa yang dibutuhkan dan juga keterlibatan tubuh dan hubungannya dengan ruang, misalnya stereotip perempuan memasak di dapur dan lelaki membetulkan kerusakan rumah. Perempuan dapat memperoleh keterampilan dan pengetahuan tentang teknik olahraga namun keterampilan ini tidak mudah diterapkan, misalnya ketika mereka memasuki klub olahraga “istimewa” yang  sangat maskulin/jantan karena adanya pertarungan, adu kekuatan, atau bahkan untuk cabang olahraga/pekerjaan yang penuh dengan risiko. Jumlah keterlibatan perempuan terhitung masih sangat minim: 6% perempuan di Federasi Rugbi Prancis, 12,5% perempuan di kalangan profesional bangunan dan konstruksi, dan 1,6% di lokasi konstruksi.

Dalam olahraga fisik yang melibatkan kekerasan dan konfrontasi tubuh, seperti dalam permainan rugbi, angkat besi, atau tinju, walau dapat dilakukan oleh perempuan, namun olahraga ini, termasuk berisiko. Sama halnya seperti aktivitas bermotor. Lomba balap motor masih merupakan dunia yang tidak disukai perempuan sehingga untuk cabang olahraga ini masih belum sepenuhnya terwakili dalam pertandingan-pertandingan.

Apakah olahraga harus dikaitkan dengan kefemininan seorang perempuan?  Apalah olahraga harus selaras dengan feminisme ? Pertanyaan ini sering diajukan berulang-ulang selama 150 tahun olahraga modern. Di Perancis, lebih dari 50 tahun perempuan Perancis bermain sepak bola di Federasi Sepak Bola Perancis. Jumlah mereka tentu semakin meningkat walaupun mereka masih mewakili kurang dari 10% pemegang ijazah olahraga ini pada tahun 2023.

Feminisme merupakan konstruksi sosial yang mencakup ketentuan dan larangan, yang norma-normanya telah berkembang seiring berjalannya waktu. Pada akhir abad ke-19, Semua olahraga “tidak bersifat feminin”. Saat ini, masih ada olahraga tertentu yang masih dikategorikan sebagai “tradisi laki-laki” dan masih dianggap “tidak cocok untuk perempuan” seperti angkat besi, rugbi, dan lain-lain, walaupun kini sudah ada atlet angkat besi perempuan.

Hubungan antara olahragawati dan keperempuanan berlangsung sejak abad ke-20 dan terus berlanjut hingga awal abad ke-21. Para dokter, yang merupakan “pemberi moral”, telah memberikan kontribusi besar dalam mewujudkan tuntutan ini. Hingga saat ini, sejak tahun 1960, ketika olahragawan perempuan dianggap terlalu berotot dan terlihat kuat, hal ini menyebabkan wasit/juri meragukan jenis kelaminya (misalnya karena perempuan itu memiliki kromosom XY), dan kemudian atlet perempuan tersebut harus melakukan wajib tes kadar androgen. Jika kadar testoteronnya tinggi, maka kadar testoteron dalam tubuhnya ini harus dikurangi dengan suntikan hormone.

Masalah tentang berpakaian juga dibahas (kewajiban memakai pakaian tertentu, rok, dll). Liputan media terhadap olahragawan perempuan sangat timpang tergantung pada penampilan mereka. Hanya sedikit pelempar palu atau angkat besi perempuan yang tampil di layar. Media lebih menyukai menampilkan olahraga yang “feminin” untuk menunjukkan “perempuan sejati”.

Selain itu, menjadi atlet tingkat tinggi pun ada risikonya. Ia harus menerima penglihatan sensual sebagai seorang perempuan agar bisa diperhatikan dan diliput media. Jadi olahragawati harus cantik dan hal ini menjadi syarat penting. Ada kasus luar biasa pada tahun 2009 yaitu pada saat empat pemain dari tim sepak bola perempuan Perancis berpose telanjang (tangan disilangkan di dada) untuk kampanye iklan yang “berani” dengan tulisan : “Faut-il en arriver là pour que vous veniez nous voir jouer ?” (Apakah kita harus sampai pada titik ini agar supaya Anda datang untuk melihat kami bermain?)

Kejadian yang luar biasa lainnya terjadi pada bulan Juni 2013 saat Marion Bartoli, pemain tenis perempuan Perancis (10 besar tingkat WTA) melawan pada seorang wartawan BBC yang berkomentar dan mengritiknya dengan mengatakan bahwa dia bukan ”perempuan yang cantik jelita”: “Ya,  Saya tidak berambut pirang. Itu fakta. Apakah saya bercita-cita menjadi model? Tidak, maaf ya!. Tapi apakah saya bercita-cita memenangkan Wimbledon? Ya, tentu saja.” Juara tenis ini ingin menyampaikan bahwa dia sendiri, seperti semua pesaing, datang ke lapangan tenis bukan untuk tampil cantik, tetapi untuk tampil tangguh bertanding dan untuk menang; seperti juga para pesaingnya.

Dalam dunia olahraga, penolakan terhadap kesetaraan jenis kelamin sama kuatnya dengan proses alami keterampilan dan kualitas atlet. Padahal, kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam olahraga tidak datang dari “alam” atau dari biologi atau anatomi olahragawan dan olahragawati, melainkan datangnya dari otak. Skema penjelasan utama yang berkaitan dengan perendahan jenis kelamin perempuan dalam masyarakat ini terjadi dimulai dari masa kanak-kanak dan remaja. Padahal masa ini merupakan dasar bagi pilihan-pilihan lain di masa depan. Asumsi seorang lelaki lebih kuat dari perempuan tertancap sejak kecil di kepala semua orang  khususnya di dalam keluarga.

Hal ini terlihat dalam hubungannya dengan ruang di mana dia berada, misalnya: anak laki-laki didorong untuk menjelajahi dunia luar rumah dan didorong untuk berlari, memanjat, bermain bola, sedangkan anak perempuan didekatkan dengan ibu atau ayah agar tidak terluka atau kotor. Mainan yang ditawarkan kepada anak laki-laki dan anak perempuan (lihat katalog kado untuk Natal) menunjukkan ciri-ciri perbedaan dalam masyarakat. Misalnya bagi perempuan ruang lingkupnya ada di dalam ruangan dengan boneka, peralatan rumah tangga dan alat kecantikan, sedangkan bagi laki-laki,  mereka berada di luar dengan mobil, truk, peralatan konstruksi, roket, dll. Padahal hubungan antara ruang dan tubuh sama sekali tidak sama. Pada mainan perempuan, hampir tidak ada aktivitas yang membutuhkan keterampilan bergerak, yang sekaligus kondisi ini akhirnya menjanjikan masa depan mereka sebagai ibu, ibu rumah tangga, dan perempuan yang menarik. 

Sebaliknya, keterampilan motorik/ bergerak terdapat di mana-mana dalam aktivitas yang ditawarkan kepada anak laki-laki, yang dijanjikan untuk mengeksplorasi dan membangun dunia serta melindungi orang lain. 

Sikap identifikasi dari masa kecil ini yang didasarkan persepsi jenis kelamin menghasilkan dampaknya, yang dimulai dari mainan/permainan masa kanak-kanak, kemudian beranjak ke orientasi pendidikan, pilihan profesi, dan pilihan olahraga dan semua bidang ini saling terkait. Pembeda jenis kelamin ini yang membedakan sikap seseorang berhadapan dengan benda, dengan dunia, dengan ruang, dengan orang lain dan hal ini menjadi patokan yang dilekatkan pada dirinya dan pada tubuh setiap orangnya. Menurut Gustave Jung, seorang psychoanalis menyatakan bahwa seorang anak memutuskan apakah dia perempuan atau laki-laki mulai pada usia 4 tahun. Dalam semua kegiatan olahraga, tubuh adalah sentral karena tubuhlah yang sejak lahir membawa identitas jenis kelamin yang berat untuk ditanggung.

Apakah upaya yang dapat dilakukan untuk perubahan persepsi ini?

Seringkali kesenjangan terjadi dan terus terjadi atas nama perbedaan antara perempuan dan laki-laki karena terdapat standar sikap perilaku, praktik, dll. Namun tetap yang menjadi referensi adalah pemuda dan laki-laki dewasa didorong untuk membangun kejantanan mereka melalui olahraga, sementara perempuan harus “secara alami” memilih aktivitas untuk membentuk dan mempercantik tubuh mereka… 

Kekuatan dan keahlian didapat oleh kaum laki-laki, sedangkan bagi kaum perempuan mereka dituntut untuk anggun, bertubuh langsing dan tidak terlalu berotot. Begitu banyak persyaratan budaya yang menyiratkan bahwa olahraga dianggap tidak cocok untuk semua orang… seperti contohnya seorang laki-laki yang ingin berlatih renang tersinkronisasi (la natation synchronisée) di level atas, seperti juga seorang perempuan yang main olahraga rugbi, hal ini masih sering dianggap sebagai olahraga yang “tidak cocok untuk mereka”. Banyak asumsi yang salah ini tertanam lama menjadi hambatan untuk bertindak demi menghapus kesenjangan antara perempuan dan laki-laki. 

Oleh karena itu keyakinan bahwa “olahraga itu keikutsertaan” perlu ditanamkan berulang kali. Olahraga tidak diberkahi kekuatan karena prinsip. Keyakinan lain yang belakangan menjadi “semboyan” yaitu olahraga harus dipadukan. Perempuan dan laki-laki bergandengan tangan bersama-sama menjadi semacam slogan yang mengagung-agungkan olahraga. Namun ada juga yang menyatakan bahwa keberagaman adalah sebuah kepalsuan bagi kesetaraan: sejumlah penelitian mengenai perilaku di kelas menunjukkan bahwa keberagaman tidak menghasilkan kesetaraan (Nicole Mosconi, “Effects and limit of school diversity”, Work, Gender and Societies, 11, 2004/1, p.165 hingga 174; Annie Lechenet, Mireille Baurens dan Isabelle Collet, Pelatihan untuk kesetaraan: Tantangan untuk keberagaman sejati, L’Harmattan, 2016).

Lebih-lebih lagi olahraga yang organisasinya secara struktural memisahkan perempuan dan laki-laki. Tingkat kesenjangan yang diamati merupakan kondisi yang perlu dan memungkinkan untuk dilakukan tindakan: representasi gender terutama mengacu pada pendidikan sejak anak usia dini, dalam keluarga, di sekolah, di taman bermain, dan semua dukungan yang ditujukan untuk anak-anak, termasuk mainan. Laki-laki dan perempuan tidaklah sama, tetapi mereka mempunyai kemampuan untuk melakukan aktivitas yang sama, seperti anak perempuan bisa bermain rugbi dan anak laki-laki bisa menari.

Dalam hal struktur dan organisasi, kita harus mendukung penerapan undang-undang “untuk kesetaraan nyata antara perempuan dan laki-laki dalam olahraga” mengenai tata kelola federasi. Sejak tahun 2014, undang-undang mulai mencanangkan aturan mengenai komposisi komite pemimpin/ pengarah/ ketua.  Pemilu tahun 2016 menunjukkan peningkatan proporsi perempuan di lembaga-lembaga (yang sebelumnya  25%,  menjadi lebih dari 36%). Undang-undang ini berlaku juga dalam bidang politik atau susunan direksi perusahaan. Hukum ini berguna, walau faktanya dalam hal kesetaraan jenis kelamin di dunia politik, di dunia kerja, dan olahraga masih tertinggal. 

Untuk memperbaiki situasi demi meningkatkan kesetaraan antarjenis kelamin, ada tiga hal yang dapat dilakukan 3.

  • Melatih para ketua dan pemimpin dunia olahraga mengenai norma-norma gender yang disebutkan di atas (gendering olahraga, memasyarakatkan olahraga, membesarkan liputan media olahragawati, dll.) Pemasyarakatan kesetaraan Perempuan dan lelaki di semua kegiatan sosial termasuk olahraga.
  • Mencari jalan untuk supaya masyarakat luas menyebarkan dan memberitahukan keragaman praktik fisik dan olahraga, karena saat ini anak perempuan dan perempuan lebih jarang melakukan aktivitas fisik atau olahraga di klub dan lebih memilih suasana lain untuk aktivitas rekreasi fisik/olahraga mereka (seperti latihan pribadi atau sendirian, di rumah atau bersama teman).
  • Berhenti berpikir secara umum/generalis seolah-olah perempuan tidak ada untuk bidang olahraga.  Kesenjangan sosial dalam praktik olahraga ada sejak masa kanak-kanak: generasi muda yang paling sedikit berolahraga adalah anak perempuan, dan khususnya mereka yang berlatar belakang keluarga buruh.