KALeM #83: Bumi Manusia

Redaksi JIP UPI | 26 Juni 2024

Sumber: @JIP.UPI

Pada Selasa, 25 Juni 2024, program KALeM atau Kajian Filem Psikologi kembali hadir menyapa penunggu setianya. KALeM merupakan program yang dicetuskan oleh salah satu dosen Psikologi yaitu Drs. MIF Baihaqi, M.Si, dengan tujuan untuk meningkatkan minat dan apresiasi mahasiswa mengenai seni perfilman. KALeM diadakan setiap bulan di Ruang AV Museum Pendidikan Nasional Universitas Pendidikan Indonesia dengan mengusung film yang relevan terkait hari penting di setiap bulannya. KALeM bisa diikuti oleh mahasiswa dari berbagai program studi, dengan harapan agar diskusi pasca pementasan menjadi lebih seru. Untuk mengikuti KALeM, penonton tidak perlu mengeluarkan biaya. Cukup mengisi tautan pendaftaran di poster yang dibagikan di media sosial KALeM, lalu datang ke tempat sesuai waktu yang telah ditetapkan. Untuk pemutaran film kali ini, waktu pelaksanaannya yaitu di pukul 13.00-16.00 WIB.

Sumber: @JIP.UPI

Di KALeM ke-83 ini, film yang ditayangkan adalah Bumi Manusia yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Film ini digubah dari novel karya Pramoedya Ananta Toer dengan judul yang sama. Drama sejarah keluaran tahun 2019 ini dibintangi oleh Iqbaal Ramadhan, Mawar de Jongh, dan Sha Ine Febriyanti. Film ini mengangkat kisah dilema seorang pemuda pribumi bernama Minke yang bimbang dalam pilihan antara bergabung dengan Eropa yang maju, membela bangsanya, atau mempertahankan cintanya yaitu Annelies, seorang keturunan Belanda.

Sumber: @JIP.UPI

Dari jendela psikologi, film ini dapat diresapi sebagai gambaran gejolak identitas dalam diri seseorang. Tokoh utama, Minke, mengalami pergolakan identitas yang kompleks. Sebagai pribumi cerdas dan berbakat, dia terjebak dalam dualitas budaya: ingin melepaskan diri dari belenggu kolonialisme, namun terikat dengan tradisi dan nilai-nilai Jawa. Hal ini terlihat dalam keraguannya saat memilih antara pendidikan Belanda dan pesantren, serta perdebatannya dengan Annelies tentang emansipasi wanita. Annelies, kekasih Minke, juga mengalami krisis identitas. Terlahir dari ibu pribumi dan ayah Belanda, dia tidak diterima sepenuhnya oleh kedua komunitas tersebut. Dia mendambakan kasih sayang dan pengakuan, namun terhalang oleh stigma sosial dan prasangka rasial. Perjalanan kedua sejoli ini mengajarkan kita untuk membebaskan diri dari belenggu ketidakadilan dengan bangga menjadi diri sendiri apa adanya.

Writer: Shabrina Rahma

Editor: Fasya Dhiya