Merah Putih di Atambua

Oleh Dinn Wahyudin

“Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI, sekolah kami melaksanakan pembelajaran khusus. Selain pembelajaran bertemakan sejarah kemerdekaan RI, dialog sederhana tentang makna kemerdekaan, dan upacara sekolah dengan penaikan Bendera Sang Merah Putih.” Demikian dituturkan bu Silvi. Nama lengkapnya Silvina Claudian Moniz. Ia seorang guru pada SD Inpres Manulor, desa Kewar kecamatan Lakmanen Kabuparen Belu Nusa Tenggara Timur (NTT). SD Inpres Manulor ini merupakan satu di antara sejumlah Sekolah Dasar di perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Profil sekolah sederhana dan fasilitas dan sarana yang terbatas, seperti sekolah lainnya di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste di kabupaten Belu.

Seperti dituturkan bu Silvi, di tengah keterbatasan yang menghimpit, kami para guru berkomitmen untuk terus berbakti guna mencerdaskan generasi muda NTT yang bermukim di wilayah perbatasan.
Saat ini sarana dan fasilitas sekolah sangat terbatas. Malahan ada sejumlah ruangan yang sudah rapuh karena digerogoti usia.

Jumlah siswa di sekolah ini sebanyak 46 siswa. Mereka tinggal di rumah orangtuanya yang tersebar di kampung penduduk di areal lahan kering dengan curah hujan yang sangat sedikit.
Latar belakang orang tua siswa di sekolah kami, umumnya petani pada lahan kering dengan penghasilan yang memprihatinkan. Perhatian pada anak untuk sekolahpun sangat kurang. Banyak anak yang bolos, sehingga guru sering datang ke rumah warga agar anaknya kembali bersekolah.

Hal yang senada juga dikemukakan bu Eti. Nama lengkapnya Maria Goreti Soi Tai. Ia seorang guru di SD Inpres Sabulmil, desa Lakmaras kecamatan Lakmanen Selatan Nusa Tenggara Timur. SD Inpres Sabulmil ini juga merupakan profil sekolah perbatasan yang hanya berjarak kurang dari 1 km dari wilayah RI dan Timor Leste. Orangtuanya banyak yang masih memiliki kekerabatan dan saudara dekat dengan masyarakat yang berkewarganwgraanan Timor Leste. Sering anak bolos beberapa bulan karena mengikuti orangtuanya berladang di wilayah Timor Leste.

Dalam keseharian, masyarakat di wilayah perbatasan NTT – Timor Leste menggunakan bahasa ibu (mother tongue). Bahasa lokal tersebut antara lain bahasa Bunag, Tetum, Fehan, dan Dawam. Bahasa lokal inilah yang masih sering digunakan guru sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran di kelas terutama di kelas rendah.

Seperti ditegaskan ibu Maria Goreti Soi, di tengah keterbatasan dan medan geografis yang tak selalu bersahabat (musim kemarau dengan kekeringan yang panjang dan ekstrim), tak menyurutkan pengabdian kami untuk membimbing siswa.
“Sekolah kami juga membuka kelas jauh. Hal ini dilakukan untuk mendekatkan layanan pendidikan ke lokasi pemukiman terpencil penduduk. Jarak sekolah induk dengan kelas jauh berjarak 4-5 km melalui jalan setapak yang terjal dan suhu udara yang menyengat. Kegiatan tsb kami lakukan rata rata sebulan sekali”.

Husar binan rai Belu
Suasana yang pembelajaran yang agak berbeda bisa diamati di SD Wirasakti kota Atambua- ibukota Kabupaten Belu. Sekolah ini berada di urban area, kota kabupaten yang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Salah seorang guru SDN tersebut ibu Oktaviana Astuti Wiratha, S.Pd. berujar
bahwa sekolahnya memiliki 20 rombel, dengan jumlah guru 27 orang. Jumlah siswa yang dilayani sebanyak 489 orang.

Saat ini fasitas ruang kelas banyak yang sudah rusak, sehingga anak anak tidak nyaman di kelas, mereka lebih memilih belajar di luar kelas. Fasilitas WC juga tidak memenuhi standar, sebab sekolah kami hanya memiliki wc 2 ruang saja. Kegiatan pembelajaran di kelas jauh dilakukan setiap hari bukan sebulan sekali. Kami menggunakan gedung darurat yang di bangun sendiri oleh orang tua siswa yang berada di dusun itu.

Kondisi gedung sekolah cukup memadai. Tetapi karena jumlah siswa yang sangat banyak 489 orang.
Sekolah kami menjadi melting pot nya NTT. “Siswa di sekolah kami berasal dari berbagai etnis NTT. Seperti suku Bunag, Fehan, Dawan, dan etnis lain di NTT dan luar NTT. Sekolah kami sering disebut FlobaMora mini sebagai akronim dari gugusan kepulauan di NTT dari Flores, Sumba, Timor, dan Alor. Dengan latar belakang siswa yang heterogen, menjadikan sekolah ini menjadi sekolah multi etnis walaupun berada di kabupaten perbatasan.

Latar belakang orangtua cukup beragam walau rata rata kategori ekonomi lemah (buruh kasar, petani, tukang ojeg) dengan perhatian terhadap pendidikan anak sangat lemah. Di tengah keterbatasan dan kendala yang merintangi, kami berjuang secara bersama untuk mendidik generasi Belu. Komitmen sekolah kami tradisi leluhur yaitu husar binan rai belu. Dengan semangat persaudaraan, mari membangun masyakat Belu. Kearifan lokal ini tradisi masyarakat Belu yang sudah turun menurun. Belu artinya teman atau persaudaraan. Masyarakat dan Pemerintah daerah Belu berupaya membangkitkan lagi spirit ini, lengkapnya: Husar Binan Rai Belu Tetuk No Nesan Diak No Kmanek. Artinya Dengan semangat persaudaraan kita membangun masyarakat Belu menuju tercapainya kesejahteraan lahir bathin yang serasi dan seimbang.

Fulan Fehan

Kabupaten Belu memang unik. Kawasan saban luas yang curah hujannya relatif sedikit. Di tengah kegersangan geografis yg kering dengan suhu panas, di beberapa titik terdapat suasana indah nan eksoktik.

Sebut saja kawasan Fulan Fehan. Areal ini merupakan kawasan pegunungan dengan ciri sabana yang luas. Di lembah Fulan Fehan ini terbentang rerumputan hijau seperti lazimnya sabana. Di tengah hamparan rerumputan hijau, tampak kuda dan sapi berkeliaran secara bebas. Di beberapa titik terdapat tumbuhan kaktus yang tumbuh subur dengan buahnya yang ranum dan lezat untuk dinikmati. Paduan sabana indah alami dan satwa yang berkeliaran bebas ini menjadikan dataran tinggi Fula n Fehan dinobatkan sebagai peraih award destinasi terindah untuk kategori Destinasi Dataran Tinggi (Anugrah Pesona Indonesia, 2020).

Bila teman teman berkesempatan ke NusaTenggara Timur, sisihkan melancong di destinasi unik sabana hijau yang gemersik. Amati kehidupan Kuda dan sapi liar yang bebas lari berkerumun. Suasana pegunungan sejuk seolah pengunjung berada di kawasan lapangan rumput hijau di Eropah.
Bila masih punya waktu bermanja ria di kawasan padang sabana Fulan Fehan, teman teman masih bisa melihat objek wisata menakjubkan dan situs bersejarah yang menakjub warisan leluhur etnis setempat yaitu suku Melus. Tak jauh dari situs sejarah, pengunjung masih bisa menikmati wisata unik benteng peninggalan kerajaan Dirun. Itulah benteng Ranu hitu yang oleh warga lokal disebut Benteng Lapus tujuh.

Benteng berlapis untuk berlindung dari tragedi perang antar suku di masa lampau.
Itulah kabupaten Belu dan kota Atambua sebagai kota kabupaten. Pada saat ini, seluruh komponen masyarakat sedang berikhtiar, berjuang untuk maju.

Asa di Atambua adalah refleksi untuk bangkit termasuk mendidik generasi muda masyarakat kabupaten Belu dengan semangat kebersamaan dan persahabatan. Husar Binan Rai Belu!