PENETAPAN IDUL FITRI DI INDONESIA DAN PENGUJIAN ILMIAH ATAS KESAKSIAN HASIL RUKYAT: Studi Kasus Syawal 1445 H

PENETAPAN IDUL FITRI DI INDONESIA DAN PENGUJIAN ILMIAH ATAS KESAKSIAN HASIL RUKYAT: Studi Kasus Syawal 1445 H

Dr. Judhistira Aria Utama, M.Si.1, Dr. Andhy Setiawan, M.Si.1, Cahyo Puji Asmoro, S.Pd.2, Dr.

Mohammad Arifin, M.Sc.1, Drs. Agus Danawan, M.Si.3, Dr. Ika Mustika Sari, M.PFis.3, Dra.

Heni Rusnayati, M.Si.3, Akmal Rahman4, Drs. Dedi Sasmita, M.Si.3

1Dosen dan Peneliti di Program Studi Fisika

Tim Pengabdian kepada Masyarakat FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia

j.aria.utama@upi.edu, andhys@upi.edu, mohammad_arifin@upi.edu

2PLP di Program Studi Fisika

Tim Pengabdian kepada Masyarakat FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia

cp.asmoro@upi.edu

3Dosen dan Peneliti di Program Studi Pendidikan Fisika

Tim Pengabdian kepada Masyarakat FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia

ad@upi.edu, ikams@upi.edu, heni@upi.edu, desas@upi.edu

4Mahasiswa Program Studi Pendidikan Fisika

Tim Pengabdian kepada Masyarakat FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia

akmalrahman@upi.edu

====================================================================

Berdasarkan keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 380 tahun 2024, 1 Syawal

1445 H pada tahun ini jatuh pada hari Rabu, 10 April 2024. Keputusan ini bertolak dari hasil sidang isbat pada Selasa, 9 April 2024 (29 Ramadan 1445 H), yang menerima kesaksian dua puluh orang pengamat hilal awal Syawal. Lokasi para pengamat yang bersaksi di bawah sumpah tersebut tersebar, mulai dari yang paling timur di Manado, Sulawesi Utara, hingga yang paling barat di Cibadak (Sukabumi), Jawa Barat. Dengan keputusan ini, takwim standar Kementerian Agama RI untuk bulan Ramadan 1445 H hanya berumur 29 hari. Sementara, sebagian masyarakat Indonesia lainnya menjalani Ramadan tahun ini selama 30 hari, seperti warga Muhammadiyah yang memulai puasa satu hari lebih awal dari yang ditetapkan pemerintah melalui Kementerian Agama.

Harus diakui bahwa sampai dengan saat ini umat Islam dunia memang belum memiliki sistem penanggalan yang berlaku sebagai kalender ibadah dan sipil (digunakan dalam administrasi dan transaksi) sekaligus. Sejatinya, penanggalan hijriah dapat setara dengan kalender masehi yang digunakan luas saat ini. Sebagaimana halnya kalender masehi, maka terdapat tiga syarat bagi penanggalan hijriah untuk menjadi sistem penanggalan yang mapan, yaitu (i) adanya kriteria yang disepakati (ii) ada batas keberlakuan wilayah (regional/global), dan (iii) kehadiran otoritas tunggal yang menetapkannya. Dalam konteks Indonesia dan negara-negara tetangga di kawasan Asia

Tenggara, sejak tahun 1990-an telah terjalin kerja sama setingkat menteri dalam wadah MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Organisasi MABIMS telah menyepakati kriteria kenampakan anak Bulan (hilal) yang menjadi penanda pergantian bulan hijriah dengan klausul baru pada 8 Desember 2021 silam, yaitu (i) ketinggian hilal (toposentrik) 3 dan (ii) elongasi hilal (geosentrik) dari Matahari 6,4 . Kedua klausul tersebut merupakan nilai-nilai minimal pada saat Matahari terbenam di ufuk setempat yang memungkinkan hilal dapat diamati/dirukyat. Dengan kata lain, diterima ataukah ditolaknya kesaksian rukyat, didasarkan kepada kedua klausul ini. Indonesia berpedoman kepada prinsip wilayatul hukmi, yang berarti bahwa keberhasilan mengamati hilal di wilayah hukum Indonesia (setelah ditetapkan dalam sidang isbat), berlaku pula di wilayah Indonesia lainnya (dari Sabang sampai Merauke). Hal ini berarti bahwa kriteria NEO MABIMS (sebutan bagi kedua klausul baru di atas) memiliki wilayah keberlakuan. Dan Kementerian Agama merupakan representasi Pemerintah sebagai pemegang otoritas di tingkat negara dalam penentuan awal bulan hijriah ini. Hal ini sejalan dengan kaidah hukum Islam bahwa berkaitan dengan hal yang menyangkut kepentingan umat secara luas, diperlukan peran serta Pemerintah di dalamnya demi terwujudnya kemaslahatan umum, menjaga ukhuwah, dan ketenangan dalam beribadah.

Para ulama telah bersepakat, bahwa hasil hisab ataupun rukyat seseorang hanya berlaku bagi dirinya sendiri dan kelompok orang yang mempercayainya. Dengan kata lain, hasil hisab/rukyat seseorang tidak berlaku bagi masyarakat luas. Perbedaan dalam mengawali Ramadan di kalangan umat Islam pada tahun ini merupakan contoh yang kesekian kalinya, implikasi dari belum diterimanya kriteria yang dianut otoritas tertinggi (Pemerintah melalui Kementerian Agama) dalam mengawali bulan hijriah oleh seluruh ormas Islam besar yang ada. Indonesia adalah contoh yang unik, mengingat bahwa metode hisab dan rukyat dalam penentuan awal bulan hijriah memiliki basis pendukungnya masing-masing. Bagaimanakah persisnya prosedur penentuan hari raya di Indonesia selama ini?

Sebagai potret ke-Indonesia-an kita, terdapat dua kelompok besar pengamal metode yang berbeda: hisab dan rukyat. Karenanya, Pemerintah mengakomodasi kedua metode ini dalam penentuan awal bulan hijriah, terutama bagi tiga bulan istimewa yang di dalamnya terdapat ritual kolosal puasa (Ramadan), berhari raya (Syawal), dan haji (Zulhijah). Diawali dari data hisab/perhitungan matematis terhadap fenomena astronomisnya yang tersedia di Tim Hisab Rukyat (THR) tingkat pusat dan daerah, unsur Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia melaksanakan kegiatan mengamati hilal. Pada tahun 2024 M/1445 H ini, untuk keperluan merukyat hilal penentu awal Ramadan dan Syawal, Kementerian Agama menurunkan tim masing-masing di 134 dan 127 titik lokasi di seluruh Indonesia. Data hisab yang tersedia berperan sebagai pedoman dan pemandu bagi pelaku rukyat untuk berkonsentrasi pada waktu dan di arah pandang yang tepat, sekaligus meminimalkan kesalahan dalam mengesani objek. Selama ini peran hasil hisab (dengan beragam metode komputasi yang dapat dijumpai di masyarakat) diketahui berdampak besar terhadap hasil rukyat. Manakala seluruh sistem hisab bersepakat bahwa saat Matahari terbenam di hari ke-29 bulan hijriah posisi hilal berada di atas ufuk, hampir selalu ada kesaksian mengamati hilal. Demikian pula sebaliknya, ketika seluruh sistem hisab bersepakat bahwa hilal berada di bawah ufuk, hilal dilaporkan tidak terlihat.

Pada saat terdapat perukyat yang berhasil mengamati hilal (baik dengan modus kasat mata maupun berbantuan alat, semisal binokuler/teodolit/teleskop), perukyat akan diambil sumpah oleh hakim

tunggal Pengadilan Agama dan dicatat oleh panitera di lokasi rukyat. Hasil rukyat di bawah sumpah selanjutnya akan dilaporkan untuk menjadi pertimbangan dalam sidang isbat yang dipimpin oleh Menteri Agama. Sidang isbat tersebut dihadiri para undangan yang terdiri atas utusan/perwakilan ormas Islam di Indonesia, duta besar negara-negara sahabat (yang mayoritas penduduknya muslim), Majelis Ulama Indonesia, kementerian/lembaga (BMKG, BRIN, BIG, dan pejabat eselon I/II Kementerian Agama), akademisi dari perguruan tinggi, dan planetarium/observatorium. Selanjutnya, menjadi kewenangan Menteri Agama untuk menetapkan bilakah awal Ramadan, awal Syawal, dan awal Zulhijah berdasarkan hasil hisab dan laporan rukyat di lapangan dan mengumumkannya kepada masyarakat luas. Karena Pemerintah mengakomodasi metode hisab dan rukyat sekaligus, sidang isbat ini menjadi mekanisme yang untuk menentu-sahkan hasil rukyat yang bersesuaian dengan prediksi hisab akurat. Dengan demikian merupaan suatu kewajaran, bila pelaksanaan sidang ini bersamaan dengan dilakukannya upaya rukyat di sejumlah titik lokasi. Apakah hasil hisab yang dihasilkan Tim Hisab Rukyat juga memiliki sidang isbatnya sendiri? Ya, hasil hisab pun perlu disahkan namun bukan dalam bentuk sidang isbat, melainkan dalam Temu Kerja Hisab Rukyat untuk hasil perhitungan hingga 2 tahun ke depan sekaligus, selain tahun berjalan.

Keputusan yang diambil oleh Menteri Agama dalam sidang isbat dapat saja menolak kesaksian di bawah sumpah telah melihat hilal, manakala menurut hasil hisab yang akurat pada saat tersebut Bulan berada di bawah ufuk. Contohnya, seperti yang pernah terjadi dalam penetapan Idul Fitri 1 Syawal 1413 H (Kamis, 25 Maret 1993). Pada saat itu laporan menyaksikan hilal yang muncul dari Jawa Timur dan Jakarta ditolak, karena menurut hasil hisab pada saat Matahari terbenam di masing-masing lokasi, posisi Bulan di bawah ufuk sehingga hilal belum terbentuk. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama saat itu, bulan Ramadan digenapkan 30 hari. Kemungkinan lainnya, sidang isbat menolak kesaksian di bawah sumpah, bila kondisi hilal masih di bawah kriteria yang diacu. Hal ini pernah terjadi dalam penetapan 1 Ramadan 1434 H (Rabu, 10 Juli 2013). Ketika itu, sidang isbat tidak menerima kesaksian mengamati hilal dari Jakarta karena ketinggian hilal yag diklaim berhasil diamati tersebut bahkan masih di bawah 1 . Dengan demikian, bulan Syakban 1434 H pun digenapkan 30 hari. Lalu, bagaimanakah dengan kasus penetapan awal Syawal tahun ini? Kondisi hilal telah memenuhi kriteria di seluruh wilayah Indonesia. Apakah dengan sendirinya hal ini menjamin bahwa hilal akan dapat dirukyat? Faktor-faktor apa sajakah yang terlibat dalam menentukan keberhasilan mengamati hilal? Apakah 20 kesaksian yang melandasi keputusan Menteri Agama dalam sidang isbat yang lalu dan sah secara syariat akan lulus verifikasi ilmiah pula?

ooOOOoo

Informasi yang Penulis peroleh dari Sdr. Muh. Marufin Sudibyo (Lembaga Falakiyah Nahdlatul

Ulama/LFNU dan pendiri The Ekliptika Institute), bahwa kesaksian di bawah sumpah selain dari lokasi di Jawa Timur (Tuban, Lamongan, dan Pasuruan) yang diteruskan ke sidang isbat dan tercatat dalam keputusan Menteri Agama, seluruhnya merupakan hasil pengamatan kasat mata. Karenanya, Penulis tergerak untuk menguji salah satu kesaksian yang bersumber dari lokasi paling barat (Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat) dalam keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 380 tahun 2024 tersebut. Simpulan terkait dapat-tidaknya hilal diamati, kami peroleh dengan mengimplementasikan model kecerahan langit senja yang dibangun oleh Sidney O. Kastner, ilmuwan yang pernah bekerja di laboratorium Fisika Matahari dan Astrofisika milik

NASA-Goddard Space Flight Center. Jadi, visibilitas/kenampakan tidak semata didasarkan pada hasil hisab astronomis, melainkan turut menyertakan faktor pengaruh atmosfer dan kondisi cuaca setempat dalam menjustifikasi kesaksian tersebut. Grafik visibilitas yang dihasilkan dalam modus pengamatan mata telanjang disajikan dalam Gambar 1 berikut.

Ketika Matahari terbenam pada Selasa 9 April di seluruh wilayah Indonesia, ketinggian hilal berada dalam rentang 4,9° (di kota Merauke) hingga 7,6° (di kota Sabang). Berdasarkan Gambar 1, hilal penentu awal Syawal 1445 H memiliki kebolehjadian dapat diamati dengan moduspengamatan mata telanjang dari wilayah Sukabumi. Hal ini diindikasikan dengan positifnya nilai visibilitas selama 10 menit jendela waktu pengamatan. Hingga 12 menit pascaterbenamnya Matahari di kota Sukabumi (ketinggian hilal 3 ), kecerahan langit senja masih lebih dominan daripada kecerahan hilal yang menghasilkan konsekuensi visibilitas bernilai negatif. Menurut model Kastner yang digunakan, visibilitas positif hanya dimungkinkan bila kondisi atmosfer di atas Kab. Sukabumi saat itu relatif bersih (nilai k = 0,20 – 0,21; kurva biru dan hijau) dan cuaca mendukung (tidak terdapat tutupan awan di arah pandang hilal berada, apalagi turun hujan). Bila saja atmosfer setempat “agak kotor” (k = 0,23), hilal akan tidak dapat diamati (kurva merah). Berdasarkan prakiraan cuaca BMKG untuk wilayah Sukabumi pada 8 April 2024 lalu, sepanjang hari didominasi dengan kondisi cerah berawan dan berawan, dengan potensi hujan ringan hingga sedang. Kondisi yang relatif sama dijumpai untuk tanggal 9 April 2024, dengan potensi hujan sedang terjadi pada siang dan sore hari. Dalam kondisi cuaca yang kurang bersahabat seperti di atas, bisa saja terdapat area langit yang terbuka dari tutupan awan di arah pandang hilal berada. Hujan berintensitas sedang yang terjadi sebelum hari pengamatan juga dapat membantu membersihkan atmosfer setempat dari aerosol dan polutan. Namun, dengan nilai visibilitas maksimum hanya bernilai 0,5, Pengamat yang terlatih pun akan kesulitan dalam mengesani sosok hilal dengan modus pengamatan kasat mata. Eksperimen yang pernah Penulis lakukan berupa pengamatan planet Jupiter pada saat hari terang dengan kasat mata, nilai visibilitas 0,8 sudah membuat kami tidak mampu lagi mengesani Jupiter meskipun posisi planet ini berada di jarak yang relatif jauh dari Matahari (elongasi > 100 ). Faktanya, tidak terdapat bukti otentik berupa potret hilal yang mendukung kesaksian dari Cibadak tersebut, yang sekaligus dapat menjadi data ilmiah yang berharga. Ketiadaan informasi pendukung waktu hilal terlihat pertama dan terakhir kali juga menjadi kendala dilakukannya analisis lebih jauh terhadap kesaksian tersebut. Dalam kasus di atas, prosedur operasional baku pengambilan sumpah terhadap perukyat nampaknya lebih menekankan kejujuran dan keberanian untuk disumpah daripada argumentasi ilmiah.

Gambar 1.    Prediksi visibilitas hilal kasat mata telanjang (naked eye) penentu awal bulan Syawal 1445 H untuk lokasi pengamat di wilayah Sukabumi, Jawa Barat pada Selasa petang, 9 April 2024.

Salah satu unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah pengabdian kepada masyarakat (PkM).

Di semester genap 2023/2024 ini, sejumlah dosen bersama Pranata Laboratorium Pendidikan/PLP dan mahasiwa di Program Studi Fisika dan Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia melaksanakan kegiatan PkM bidang ilmu secara berkelompok. Tema PkM yang diusung adalah “Ilmu Menentukan Hari Raya” berlokasi di Masjid Wahdatul Ummah Kec. Paseh Kab. Bandung. Kegiatan dilakukan bertepatan dengan malam ke-27 Ramadan 1445 H (6 – 7 April 2024) pada saat iktikaf bersama pengurus dan jemaah masjid. Melalui kegiatan ini disosialisasikan kepada warga masyarakat jemaah masjid tentang landasan penentuan awal bulan dalam penanggalan hijriah yang termaktub dalam al Quran dan hadis, metode penentuan awal bulan, kriteria kenampakan hilal, dan mekanisme penentuan hari raya keagamaan melalui sidang isbat di Kementerian Agama. Pada akhir paparan, kegiatan berlanjut dengan tanya jawab dan diskusi bersama para jemaah. Diskusi melebar hingga isu penanggalan hijriah global yang menurut berita akan mulai diberlakukan secara internal oleh ormas Muhammadiyah pada tahun 1446 H yang akan datang. Akibatnya, kegiatan yang diikuti dengan antusias oleh jemaah bapak-bapak dan ibu-ibu yang dimulai pada pukul 23:15 WIB ini baru berakhir pada 02:15 WIB dinihari. Beberapa dokumentasi kegiatan ditunjukkan dalam Gambar 2. Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1455 H. Semoga segala hal baik yang tumbuh melalui tempaan Ramadan dapat kita lanjutkan dan tingkatkan di bulan-bulan selanjutnya sebagai bekal bagi Indonesia untuk kembali bangkit menuju kejayaan yang dicitakan bersama.

Gambar 2.     Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat pada Sabtu-Minggu, 6 – 7 April 2024. (Atas dan Tengah) Pemaparan tentang penanggalan Hijriah kepada jamaah masjid Wahdatul Ummah. (Bawah) Sesi foto bersama pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) dan sebagian jemaah pria.