Gelora Pulau Weh

Pulau Weh 18 Mei 2017. Setelah melakukan perjalanan laut lebih dari 2 jam dengan menggunakan kapal muatan penumpang (KMP) Express Bahari dari Pelabuhan Ulee Lheue kota Banda Aceh, tibalah kami di pelabuhan Balohan kota Sabang. Perjalanan lanjutan ke sekolah yang dituju masih jauh. Ku putuskan menggunakan jasa sepeda motor ojeg yang mangkal di sekitar Pelabuhan. Ada beberapa pertimbangan mengapa memilih angkutan ojeg. Pertama, supaya bisa berhemat biaya. Maklum ini perjalanan tak resmi, usai tugas pokok di Banda Aceh. Kedua, agar saya masih bisa leluasa untuk berhenti sejenak dan menghirup udara segar atau memanjakan mata dengan menikmati suguhan pemandangan alam bukit asri, hutan tropis lebat yang masih perawan, dan pantai asri alami, dengan aneka ragam hayati bahari yang memesona. Perjalanan darat yang menyenangkan dengan panorama yang fantastik, perbukitan dan hamparan hutan hijau menawan pulau Weh. Perjalanan bisa ditempuh selama 2 jam, setelah tiga kali minta izin pada ojeg driver berhenti sejenak untuk mengambil foto.

Sekolah yang akan dituju yaitu SDN 25 Sabang yang terletak di desa Iboih, kecamatan Sukakarya, Sabang Pulau Weh. SDN ini merupakan satu satunya SDN di desa Iboih, terletak di Jalan utama menuju KM-0 Pulau Weh. Kondisi SDN ini cukup baik. Guru kelas sudah lengkap. Sarana prasarana yang tersedia cukup memadai, untuk ukuran sekolah di daerah paling barat Indonesia. Jumlah guru kelas juga memenuhi persyaratan. Proses belajar mengajar sangat memadai.

Sekolah menyediakan fasilitas belajar yang cukup, dilengkapi dengan layanan belajar melalui berbagai sumber. Termasuk layanan belajar via internet dengan sinyal yang bagus sepanjang hari.
Disdik Kota Sabang memberikan perhatian khusus dalam pembekalan Muatan lokal kurikulum kemaritiman dan ocean tourism. Disdik beserta pemangku kepentingan setempat telah merintis kemaritiman ini di sejumlah sekolah di pulau Weh. Geliat generasi muda di bidang pariwisata maritim atau ocean tourism terus ditumbuhkan.

Km 0 Indonesia

Monumen Km – 0 Indonesia ini sebenarnya terdapat di empat titik. Dua lokasi yang melintang dari barat dan timur, yaitu Km 0 Barat yang terletak di ujung pulau Weh kota Sabang Provinsi Aceh dan Km 0 Timur yang terletak di Kota Merauke provinsi Papua. Jarak rentang dua titik Km 0 mencapai jarak 5.428 km dari Sabang sampai Merauke.
Sedangkan Km 0 yang membujur yaitu Km 0 wilayah Utara terletak di desa Miangas, Kecamatan Miangas Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Dan Km 0 wilayah Selatan Indonesia terletak di Pulau Rote. Atau tepatnya di Tanjung Pole, Kecamatan Rote Selatan, Kabupaten Rote Ndao Nusa Tenggara Timur.
Tugu Km 0 paling Barat Indonesia dibangun sangat monumental dan sarat makna. Tugu monumen Km 0 memiliki empat pilar penyangga sebagai simbol batas negara. Yaitu dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas hingga Rote.

Jejak Cornelis De Houtman

Monumen Km 0 pulau Weh tampak perkasa menghadap ke Lautan lepas Samudra Hindia.
Pikiran pengunjung yang datang pun bisa dibawa menerawang merenung mundur ke masa lampau. Lima abad ke belakang. Yaitu ketika seorang pelaut Belanda, Cornelis de Houtman mendarat pertama kali di pantai Banten tahun 1596, sebenarnya rombongan Cornelis de Houtman tersebut singgah dulu di pulau terujung barat Nusantara ini.
Itulah Pulau Weh (the golden island) yang menjadi perlintasan perairan lintas dua benua sejak lima abad lampau. Pulau Weh dan wilayah Nusantara lainnya memiliki kekayaan alam yang indah, flora dan fauna yang beragam, sering menjadi inspirasi dan incaran masa depan bangsa bangsa Eropah ketika itu. Mereka berbondong bondong melakukan ekspedisi perjalanan ke Nusantara untuk mengeksploitasi kekayaan yang melimpah dan menjajah Kepulauan Nusantara. Sejarah kelam Nusantara pun dimulai. Melalui lintasan laut ini lah, antara lain kongsi dagang Belanda Vereenigde Oost-Indiche Companie (VOC) menancapkan ambisi perniagaan dan kolonialismenya di Nusantara lebih dari 350 tahun.

Pulau seribu Benteng

Sebelum Perang Dunia II, kota Sabang sudah menjadi pelabuhan penting di Selat Malaka, melebihi Tematek atau Singapura sekarang. Pelabuhan Sabang telah dikenal sejak tahun 1895 dengan nama pelabuhan bebas (Vrij Haven) Sabang yang dikelola Maatsvhaappij Zeehaven en Kolen Station. Kondisi Perang Dunia II sangat mempengaruhi perkembangan kota Sabang dan pulau Weh secara keseluruhan. Tahun 1942, Sabang diduduki pasukan Jepang.
Oleh pendudukan Jepang, pulau Weh dijadikan benteng strategis pertahanan maritim wilayah barat. Sebagai benteng maritim terbesar dan paling strategis, banyak benteng dan bunker dibangun.

Wikipedia (2019) menjelaskan the Japanese occupied the island and installed numerous bunkers, fortifications and gun emplacements. Sejumlah benteng dan bunker dibangun angkatan laut Jepang, untuk memperkuat armada lautnya. Sepanjang garis pantai dan perbukitan Sabang seperti di Ujung Kareung, Anek Laot, dan Bukit Sabang, jejak bunker dan benteng Jepang masih terlihat kokoh sampai sekarang. Pada pasca kemerdekaan, beberapa lokasi bekas pertahanan Jepang, telah direnovasi pihak TNI dengan dilengkapi oleh alutsista (alat utama sistem persenjataan). Sistem radar canggihpun telah dipasang di pulau Weh dan pulao Rondo, pulau terpencil di paling barat yang berbatasan langsung dengan laut lepas kepulauan Andaman dan Nikobar, wilayah teritorial India

Karantina haji

Sejak zaman kolonial Belanda, niat kaum muslimin muslimat kaum pribumi Nusantara, tak sempat surut untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah Almukarramah.
Walaupun pelaksanaan rukun islam kelima ini sangat berat, lama, dan berresiko.
Oleh karena belum ada bandara sebagai embarkasi, maka Pemerintah kolonial Belanda menetapkan beberapa pelabuhan embarkasi laut. Beberapa embarkasi laut antara lain pelabuhan Makasar, Surabaya, Batavia, Padang, Sabang.
Prabowo (2018) menjelaskan Pemerintah Kolonial Belada cukup serius dalam mengurusi penyelenggaraan ibadah haji bagi warga pribumi ini.

Payung hukum tentang haji yaitu Pilgrim Ordontie Staatsblad 1922 Nomor 698 menggantikan ordonansi serupa yang dikeluarkan tahun 1898. Salah satu poin pengaturan ibadah haji ini adalah ditetapkannya Karantina haji di pulau Rubiah di gugusan pulau Weh Sabang sebagai karantina haji. Karantina haji ini sebagai gerbang terakhir (the last port) sebelum kapal laut pembawa calon jemaah haji berlayar ke laut lepas Samudra Hindia menuju Jazirah Arab. Perjalanan ibadah haji pada waktu itu, merupakan ibadah paling sulit, berresiko, dengan durasi waktu berbulan bulan bahkan tahunan. Demikian juga jemaah haji yang baru pulang, harus transit dulu dan diperiksa secara teliti di Karantina haji pulau Rubiah pulau Weh.

Dalam kaitan dengan kewajiban ibadah haji bagi muslimin muslimat yang mampu ini, Allah SWT berfirman dalam surah Al Hajj ayat 27, Wa azzin finnaasi bil hajji ya ‘tuka rijaalaw wa ‘alaa kulli daamiriy ya ‘tiina ming kulli fajjin ‘amiq. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segala penjuru yang jauh.

Ada dzikir yang paling indah didambakan oleh banyak kaum muslimin muslimah dari berbagai penjuru Alam semesta dan tidaklah disyariatkan untuk mengucapkan nya, kecuali yang berihram ketika umroh ataupun haji. Itulah dzikir, Labbaik Allahuma Labbaik. Aku datang memenuhi panggilanMu ya Allah. Demikian juga tekad kaum muslimin muslimah sejak zaman dulu sampai sekarang, terpatri kuat untuk mendapat kesempatan berhaji. Aku datang memenuhi panggilanMu ya Allah. Labbaik Allahuma Labbaik ! (Diin Wahyudin)