Komunikasi Vaksin

Akhirnya, vaksinasi covid-19 untuk masyarakat luas telah dimulai. Presiden Joko Widodo serius mengaktualisasikan apa yang oleh Kouzes & Posner (2011) sebut dengan istilah “exemplary leadership”, yakni menjadi pemimpin yang patut diteladani. Tentu, keputusannya menjadi orang pertama yang divaksin bukan tanpa alasan. Ini juga dilakukan oleh banyak kepala negara lain. Tujuan utamanya jelas, yakni untuk membangun kepercayaan (trust) masyarakat terhadap keandalan dan keamanan vaksin. Khusus Indonesia, variabelnya ditambah satu, yakni kehalalan. Tidak heran backdrop yang digunakan saat vaksinasi Presiden bertuliskan “aman dan halal”.

Ketidakpercayaan sebagian warga negara terhadap vaksin bukanlah isapan jempol belaka. Ini merupakan pekerjaan rumah dunia, bukan hanya Indonesia. Survey yang pernah dilakukan oleh Nature Medicine (2020) menunjukkan masih banyaknya masyarakat global yang ragu terhadap vaksin. Istilah populer yang digunakan adalah vaccine hesitancy. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memaknai keraguan terhadap vaksin ini sebagai “penundaan dalam penerimaan atau penolakan” (delay in acceptance or refusal) terhadap vaksinasi meskipun layanan vaksinasi sudah tersedia.

Skeptisisme tertinggi dimiliki oleh masyarakat Rusia, yakni hanya 55% warganya yang percaya vaksin covid-19, diikuti oleh Prancis, Swedia, dan Jerman. Untuk Indonesia, angkanya hanya sedikit lebih baik. Menurut survey yang pernah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, WHO dan Unicef (2020), hanya 65% warga Indonesia yang bersedia menerima vaksin covid-19 jika disediakan oleh pemerintah.

Data ini tampaknya meresahkan Presiden, hingga dirinya rela menjadi penerima vaksin pertama untuk membangun kepercayaan publik. Namun, apakah metode komunikasi yang ditampilkannya akan berdampak efektif terhadap penurunan skeptisisme publik terhadap vaksin? Apakah exposure vaksinasi perdana yang juga diikuti oleh perwakilan masyarakat, dari mulai agamawan hingga buruh, sukses mengubah persepsi masyarakat luas? Untuk menjawab secara pasti, harus dilakukan survey terbaru pasca vaksinasi perdana tanggal 13 Januari 2021.

Yang menarik dari survey Nature Medicine (2020) adalah bahwa skeptisisme terhadap vaksin rupanya memiliki hubungan dengan rendahnya kepercayaan warga terhadap pemerintah. Jika ini berlaku pula untuk kasus Indonesia, maka kemungkinan exposure vaksinasi perdana kepada Presiden tempo hari belumlah cukup “mengungkit” (leveraging) rasa percaya publik. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah serius, mengingat vaksinasi merupakan salah satu program terkrusial dalam ikhtiar

Untuk itu, pemerintah perlu memiliki strategi komunikasi yang lebih efektif, sehingga menghasilkan perubahan sikap di kalangan masyarakat yang masih ragu. Aristoteles sejak puluhan abad lampau telah menyebutkan pentingnya ethos, logos dan pathos dalam membangun komunikasi yang efektif. Ethos adalah kredibilitas seorang komunikator, sementara logos adalah kemampuan memberikan rasionalisasi, dan pathos adalah daya tarik yang bersifat emosional. Ketiga variabel ini merupakan faktor-faktor dasar yang harus dipenuhi oleh setiap komunikator untuk mempengaruhi perubahan sikap audiensnya.memangkas usia pandemi.

Memang, menciptakan kepercayaan seratus persen adalah hal yang nyaris mustahil. Sejauh ini China menempati peringkat pertama, dimana 90% warganya percaya dengan vaksin covid-19. Apakah Indonesia bisa setinggi itu? Tampaknya tipikal negara-negara demokratis sulit memperoleh angka kepercayaan publik setinggi itu. Namun, dengan komunikasi yang lebih efektif, diharapkan tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia naik setidaknya menjadi 75-80% di tahun 2021 ini.

Komunikasi Empatik

Membangun kepercayaan publik terhadap vaksin baru memang tidak mudah. Apalagi vaksinasi ini banyak dianggap sebagai “hajat” pemerintah. Bahkan ada pihak-pihak yang mencurigai terdapat motivasi bisnis dibalik vaksinasi, yang dimainkan oleh kaum oligarkis dan plutokratis. Problemnya, mayoritas stakeholders yang mengurus vaksin ini dikendalikan oleh pemerintah secara top-down, baik dari kegiatan hulu hingga hilirnya.

Sebetulnya Presiden telah memberikan contoh baik. Namun, tampaknya apa yang ditunjukkannya belum cukup. Bangsa ini memiliki latar alasan dan pertimbangan yang terlalu kompleks dalam soal penerimaan dan penolakan vaksin. Mungkin ada diantara mereka yang menolak secara “ideologis” dan politis, adapula yang “rasional” dan ilmiah, tapi ada pula yang berlatar metafisis hingga akibat rendahnya literasi.

Menurut saya, upaya pengungkitan rasa percaya publik terhadap vaksin tidak boleh hanya dilakukan oleh pemerintah. Kampanye vaksinasi harus dilakukan secara masif-integratif, dan juga empatik. Kampanye masif ini dapat mengadaptasi konsep integrated marketing communication (IMC), dimana semua saluran dan influencer yang dominan diberdayakan secara maksimal, untuk menyasar semua segmen. Pendekatan rasional, emosional hingga sosiologis perlu dijalankan seiring.

Yang tidak kalah penting, komunikasi yang dilakukan harus empatik. Sebaiknya tidak ada narasi yang bertendensi untuk menyudutkan atau menyalahkan kelompok-kelompok tertentu yang kritis terhadap vaksin. Bahkan terhadap mereka yang antipati, karena tidak semua penolakan berlatar politik. Bagi tipikal masyarakat Indonesia, komunikasi empatik kemungkinan akan lebih efektif dalam menciptakan perubahan sikap. Kalaupun tidak, setidaknya akan berefek positif terhadap penguatan harmoni sosial, baik di “darat” maupun di “udara”. Itu juga yang bangsa ini butuhkan. (Prof. Dr. Suwatno, M.Si, Guru Besar Komunikasi Organisasi FPEB UPI)