Kontribusi Perguruan Tinggi dan Pemuda Dalam Menciptakan Pencegahan Korupsi dan Budaya Anti Korupsi

oleh

Prof. Dr. H. Suwatno, M.Si.
(Direktur Dir. Kemahasiswaan UPI)

Korupsi adalah salah satu pekerjaan rumah terbesar bagi setiap negara hari ini. “Penyakit terburuk di dunia saat ini adalah korupsi”, ujar Bono, seorang penyanyi Irlandia populer. Hampir tidak ada satupun negara yang bersih seratus persen dari perilaku korupsi para penyelenggaranya. Namun, korupsi yang terjadi pada negara kita tercinta, Indonesia, masih menjadi budaya yang semakin akut dari hari ke hari.

Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), setidaknya ada 1.146 perkara korupsi yang terjadi sejak tahun 2004 sampai 2021. Itu berarti rata-rata ada ratusan tindakan korupsi yang diperkarakan tiap tahunnya oleh KPK. Namun angka tersebut tentu diluar dari jumlah tindakan atau perilaku korupsi yang sebenarnya.

Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) ternyata lebih mengerikan. ICW menyebutkan di tahun 2020 saja ada 1.218 perkara korupsi yang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Total terdakwa kasus korupsi di tahun tersebut mencapai 1.298 orang. Praktek korupsi yang paling besar dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) sebanyak 321 kasus, kelompok swasta sebanyak 286 kasus, dan perangkat desa sebanyak 330 kasus.

Adapun total kerugian negara akibat tindak pidana korupsi pada tahun 2020 mencapai Rp. 56,7 triliun, dan uang yang kembali ke negara atas kerugian kasus korupsi pada 2020 hanya sejumlah Rp 8,9 triliun (sekitar 12%). Adapun di semester 1 tahun 2021, kerugian negara akibat korupsi sudah mencapai Rp 26,83 triliun. Jumlah ini meningkat 47,63% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp. 18,17 triliun.

Fenomena budaya korupsi yang terjadi hari ini, boleh jadi merupakan “warisan” dari budaya korupsi yang sudah ada sejak dahulu. Menurut Suhartono (2008), praktik korupsi di Indonesia sejatinya telah terangkai sejak era feodalisme, dimana birokrasi tradisional yang terbentuk pada era feodalisme merupakan benih awal terbentuknya mental korupsi. Budaya feodalistik yang dibarengi dengan sikap permisif masyarakat terhadap perilaku koruptif telah menjadi bencana bagi bangsa Indonesia.

Sementara itu, Wertheim berpandangan bahwa hubungan patrimonial dalam budaya masyarakat kerapkali menjadi potensi terjadinya korupsi. Menurutnya, sikap loyalitas terhadap kerabat/famili seringkali jauh lebih menonjol dibandingkan loyalitas kepada masyarakat. Sehingga seringkali terjadi praktik nepotisme dimana seseorang yang menduduki jabatan strategis lebih mengutamakan kerabatnya dan melakukan penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan kerabatnya tersebut (Widhiyaastuti & Ariawan, 2018).

Selengkapnya di tautan berikut.