Masyarakat dan Undang-undang
|Bandung, UPI
Banyaknya undang-undang (UU) yang mubazir karena tidak terlalu dibutuhkan masyarakat, tidak berjalan efektif karena tidak memenuhi unsur sosiologis dan sudah digantikan oleh yang baru, banyak yang dibatalkan oleh MK, serta yang bersifat elitis, terjadi inflasi aturan, bahkan kerap tumpang tindih dan insinkronisasi, dan disharmoni antar UU, merupakan dampak negatif dari kurangnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan Undang-undang.
Demikian ungkap Guru Besar Ilmu Politik UPI Prof. Dr. Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., M.Si., M.H., saat memaparkan pandangannya tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang dalam Seminar Nasional Kerjasama Badan Keahlian DPR RI dengan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), di Gedung Achmad Sanusi Kampus UPI, Senin (16/4/2018).
Dikatakannya,”Menurut UU No. 12 Tahun 2011 terdapat 5 tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, diantaranya perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Tujuannya sebagai wujud negara hukum dalam rangka pembangunan hukum melalui proses demokratis yang bottom up sesuai kehendak rakyat. Peran serta atau partisipasi masyarakat secara aktif dalam proses pembentukan undang-undang merupakan wujud kedaulatan rakyat dan sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi. Partisipatif masyarakat dalam prosesnya dapat dilaksanakan dalam hal proses-proses administratif dan politis maupun memberikan sumbang pikir secara substantifnya.”
Lebih lanjut dikatakan, menurut UUD NRI tahun 1945 Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar dan ayat (3) Negara Indonesia adalah negara Hukum. Kedaulatan ada di tangan rakyat, sedangkan hukum menjadi pedoman yang mendasari, mengarahkan, dan memandu seluruh tindakan dan kebijakan institusi negara. Begitu pula, hukum menjadi landasan bagi sikap, perbuatan, dan tindakan masyarakat.
”Partisipasi masyarakat bertujuan untuk turut serta menegakkan negara hukum yang demokratis, meningkatkan kontrol sosial dan rasa memiliki atas UU yang dibuat DPR, melahirkan UU yang menjadi kebutuhan masyarakat dengan prinsip transparansi, akuntabel, berkeadilan, cermat, efisien, dan visioner, serta meningkatkan kesadaran kewarganegaraan,” ungkapnya.
Dikatakannya lagi,“Masyarakat akan mendapatkan keterampilan untuk kewarganegaraan aktivis, mendapatkan kontrol atas proses kebijakan. Bagi pemerintah hal ini untuk membangun kepercayaan dan menghilangkan kecemasan atau permusuhan, membangun aliansi strategis, mendapatkan legitimasi dari keputusan, hindari biaya litigasi.”
Adapun cara meningkatkan partisipasi publik, diantaranya dengan cara meningkatkan wawasan dan pengetahuan hukum masyarakat melalui pendidikan formal/nonformal atau penyuluhan Kadarkum, meningkatkan kesadaran politik masyarakat melalui pendiidkan politik agar meningkat pula civic engagement warga negara, meningkatkan budaya politik masyarakat yang partisipatif dan deliberative, melakukan desiminasi dan sosialisasi tentang, proses dan mekanisme partisipasi publik dalam pembentukan UU, penguatan fungsi partai politik dan kelompok strategis lainnya untuk melakukan agregasi dan artikulasi kepentingan publik, meningkatkan kolaborasi antara masyarakat, media, pemerintah dan DPR, meningkatkan dan memperluas kegiatan public hearing secara massif, serta meningkatkan publisitas tentang informasi prosedur partisipasi publik dalam membentukan UU.
Hadir sebagai pembicara/panelist Ketua Badan Keahlian DPR RI K. Johnson Rajagukguk, S.H., M.Hum., Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang BK DPR RI Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.Hum., Guru Besar UNPAR Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, S.H., M.H., Guru Besar UPI Prof. Dr. Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., M.Si., M.H., dan Dosen Fakultas Hukum UNPAD Dr. Indra Perwira, S.H., M.H., dengan moderator Syaifullah, S.Pd., M.Si., dan Notulensi oleh Diana Anggraeni, M.Pd. (dodiangga)