Profesi Bimbingan Konseling dan Supervisi Klinis

Bimbingan dan konseling (BK) adalah bagian integral dari teori dan pratik pendidikan. Dalam konteks pendidikan, bimbingan dan konseling di sekolah berada dalam wilayah ilmu normatif, dengan fokus kajian utama bagaimana memfasilitasi dan membawa manusia berkembang dari kondisi apa adanya kepada bagaimana seharusnya. BK adalah layanan psikopedagogis, dalam seting persekolahan maupun luar sekolah, dalam konteks kultur, nilai, dan religi yang diyakini klien dan konselor. Karena sifat normatif pedagogis ini maka fokus orientasi bimbingan dan konseling adalah pengembangan perilaku yang seharusnya dikuasai oleh individu untuk jangka panjang, menyangkut ragam proses perilaku pendidikan, karir, pribadi, keluarga, dan proses pengambilan keputusan.

Karena posisi keilmuan dan filosofi itulah konselor diposisikan sebagai salah satu komponen pendidik, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1 ayat (6) Undang-undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun, karena nomen klatur konselor tidak ada dalam sistem aturan kepegawaian, maka sebutan konselor disesuaikan dengan sistem yang ada dan hingga kini disebut guru BK/konselor. Perlu digarisbawahi, walaupun masih diberi label guru, namun, tugas konselor bukan mengajar BK seperti halnya guru Matematika, guru Sejarah dsb., karena bimbingan dan konseling bukan sebuah mata pelajaran, melainkan suatu layanan pemberian bantauan psikopedagogis kepada semua peserta didik untuk mencapai perkembangan yang optimal dalam aspek-aspek belajar, karir, sosial dan pribadi sesuai dengan ptotensi yang dimiliki. Dengan landasan legal itu, sudah tegas bahwa konselor adalah pendidik, dan layanan profesional yang dilakukan oleh konselor adalah bimbingan dan konseling. Kini saatnya untuk meletakan prinsip kebijaksanaan itu secara benar!

Bimbingan Konseling sebagai profesi

Sebagai suatu profesi, bimbingan dan konseling di sekolah, sebagaimana kelajiman profesi secara universal, memiliki empat ciri utamanya, yaitu: (1) adanya bidang layanan keahlian yang unik, yang diakui oleh masyakat dan pemerintah, (2) adanya standar pendidikan yang secara sistematis disiapkan untuk menguasai bidang keilmuan (the Scientific Basis of the Arts) untuk praktik profesi yang unik itu, (3) adanya latihan praktik profesional yang sistematis dan tersupervisi secara efektif untuk menjamin penguasaan dan pemeliharaan kompetensi dan integritas pribadi sehingga menjadi praktisi yang aman, dan (4) imbalan yang layak, yang diikuti dengan tanggung jawabk meningkatkan profesionalitas secara berkelanjutan.

Dengan berlandaskan pada pasal 1 ayat (6), UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kemdikbud RI telah melahirkan dua regulasi penting, yaitu (1) Permendiknas no 27 tahun 2008 tentang Kualifikasi Pendidikan dan Kompetensi Konselor di Indonesia sebagai landasan legal tentang standar kompetensi dan pendidikan akademik dan pendidikan profesi konselor di Indonesia, dan (2) Permendikbud no 111 tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Menengah yang dilengkapai dengan Pedoman Operasional Bimbingan dan Konseling di Pendidikan dasar dan Menengah (SMA dan SMK). Sesugguhnya, walaupun regulasi ini belum secara komprehensif melandasi penyelenggaraan pendidikan dan layanan profesional bimbingan dan konseling, namun jika diimplementasikan secara konsisten dan

berkeadilan sudah dapat diandalkan menjadi payung hukum bagi kebijakan dan praktik bimbingan dan konseling di sekolah.

Dalam implementasi, kebijakan dan praktik bimbingan dan konseling di sekolah dari periode ke periode pergantian aparat terkait, selalu mengalami pasang surut karena pemahaman yang tidak tepat, kebijakan dan pengaturan yang tidak konsisten bahkan tidak berkeadilan baik di tingkat kementrian maupun di tingkat pemerintah daerah. Sebagai contoh, inkonsistensi dan kontradiksi kebijakan Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) tentang rekrutmen dan pengangkatan guru BK/konselor dari lulusan prodi non-BK bahkan lulusan prodi yang sangat tidak relevan. Situasi ini memperhadapkan para konselor dan pendidik konselor pada situasi konflik vertikal dan kemunduran.

Inkonsistensi lainnya; di sejumlah daerah konselor diberi jam masuk kelas 1-2 jam pelajaran, sementara di daerah lain tidak. Di daerah tertentu rekrutmen konselor dengan tegas mensyaratkan pemilikan ijazah kesarjaan pendidikan bidang bimbinga dan konseling, sementara di daerah lain tidak. Di daerah tertentu Dinas Pendidikan provinsi mengangkat pengawas atau supervisor BK, sementara di daerah lainnya tidak. Hasil penelitian Agus Taufiq (2020a) menunjukkan bahwa penyelenggaraan layanan BK masih belum sesuai aturan yang ditetapkan dan supervisi kinerja konselor di sekolah dilakukan oleh orang yang tidak kompeten, sehingga supervisi salah kaprah karena hanya berorientasi pada bukti administratif yang terbatas, tidak ada dialog serta pemberian umpan balik yang substansial, akibatnya supervisi terhadap konselor tidak memberi efek yang semestinya, bahkan cenderung merendahkan profesi BK.

Fakta empirik

Inkonsistensi antara kebijakan dan implementasinya di sekolah sangat tidak berkeadilan dan cenderung merendahkan profesi konselor di sekolah. Kenyataan ini diperparah oleh ketidakefektifan supervisi klinis, baik dalam proses penyiapan calon konselor maupun ketidakefektifan supervisi konselor yang sudah bekerja di lapangan. Keduanya sama-sama membahayakan. Ketidakefektifan supervisi calon akan berdampak tidak menguntungkan terhadap mutu lulusan prodi S1 BK. Sementara, ketidakefektifan supervisi konselor yang sudah bekerja akan memberi dampak yang sangat tidak diharapkan terhadap mutu layanan BK yang seharusnya diterima oleh para siswa dan stakeholders lainnya. Supervisi yang pertama tergantung pada kerja sama antara dosen pendidik dan konselor pamong di sekolah mitra, sementara supervisi yang kedua (supervisi kinerja konselor) seharusnya merupakan kewenangan Dinas Pendidikan daerah dan Propinsi.

Ada fakta empirik yang sangat mengkhawatirkan tentang ketidakefektifan supervisi klinis dalam proses pendidikan dan supervisi konselor yang sudah bekerja di lapangan, yaitu dilakukan oleh orang yang tidak kompeten, sehingga supervisi klinis bukan saja menjadi salah kaprah dan sangat tidak efektif, melainkan merusak citra konselor yang ada dan cenderung merendahkan marwah profesi bimbingan dan konseling (Agus Taufiq, 2020a).

Supervisi klinis yang tidak efektif ini berdasarkan atas hasil penelitian Agus Taufiq, dkk. (2009-2017) menimbulka dampak negatif terhadap konselor; pertama konselor tidak yakin lagi tentang kebenaran prakteknya sendiri, karena menjadi suatu rutinitas sehingga rentan dengan pengulangan kesalahan tertentu. Kedua mengalami kejenuhan profesional (bornout), dan yang parah adalah yang ketiga; lambat tapi pasti akan kehilangan identitas profesionalnya. Lebih lanjut para pakar menyatakan bahwa supervisi yang tidak efektif bukan hanya mengakibatkan keusangan, stagnasi, dan penurunan kompetensi konselor, tetapi juga berpotensi melanggar

kode etik dan aturan hukum, dan pada akhirnya meningkatnya risiko yang berbahaya bagi siswa yang dilayani.

Akhirnya, dalam upaya peningkatan mutu pendidikan pada umumnya dan mutu layanan bimbingan dan konseling pada khususnya untuk keberhasilan para siswa di sekolah, saya menyampaikan dua rekomendasi, pertama perlunya konsistensi antara regulasi dan kebijakan tentang bimbingan dan konseling di sekolah dengan aturan implementasinya, baik di tingkat Kemendikbud dan Ristek maupun di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, kedua peningkatan kompetensi supervisi klinis bagi para dosen pendidik konselor di LPTK, konselor pamong di sekolah mitra, dan bagi para pengawas atau supervisor guru BK/konselor di lapangan (Prof. Dr. Drs. Agus Taufiq, M. Pd, Guru Besar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia)