Sempat Berniat Jadi Buruh, Lisa Listiyani Malah Menjadi Lulusan Terbaik FPEB

1LISA Listiyani adalah anak pertama dari empat bersaudara yang lahir di Kebumen, Jawa Tengah 17 Februari 1993. Ia dan keluarganya hidup disebuah desa yang jauh dari hiruk pikuk dan gemerlapnya kehidupan kota. Mereka hidup dalam kebersamaan, kehangatan dan ketentraman sebuah keluarga yang saling menyayangi dan mendukung dalam kondisi apa pun. Ayah dan ibunya bukanlah profesor dan doktor. Mereka hanya bersekolah sampai Sekolah Dasar, meski demikian Lisa menjadi lulusan terbaik Pendidikan Akuntansi yang mewakili Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis, Universitas Pendidikan Indonesia yang dikukuhkan pada Wisuda Gelombang III di Gedung Gymnasium UPI Jln. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung, Selasa dan Rabu (14-15/12/2015).

Meskipun tidak berpendidikan tinggi, orang tua Lisa sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Mereka sering mengatakan, “Bapak dan ibu sudah tidak sekolah, kalian harus sekolah dan rajin belajar”. Tentu saja mereka mengucapkan dalam bahasa Jawa Kebumen yang “medhok”. Sejak kecil orang tua Lisa selalu menuruti segala hal yang dibutuhkan apabila berkaitan dengan keperluan sekolah. Mulai dari buku paket sekolah, LKS, dan kebutuhan lainnya.

“Saya tidak pernah merasa kurang suatu apa pun. Bapak yang berpenghasilan pas-pasan dari hasil jualan di Pasar Wadaslintang, selalu membelikan buku yang saya mau. Walaupun saya tidak pernah bisa langsung membeli atau memiliki buku yang saya inginkan saat itu juga, Bapak pasti mengatakan, ‘besok ya, Bapak kasih uangnya untuk beli buku minggu depan saat bapak pulang lagi’,” kata gadis kelahiran Kebumen, 17 Februari 1993 ini.

Dengan sabar dan setia, putrid pasangan Jumadi-Nuriyah ini akan menagih uang beli buku minggu depannya ketika ayahnya pulang. Begitulah setiap kali Lisa meminta sesuatu. Sungguh pelajaran bersabar yang senantiasa orang tua ajarkan kepadanya, dan tentunya adik-adik Lisa juga merasakan hal yang sama sampai saat ini. Lisa tidak pernah berpikir instan, untuk mendapatkan sesuatu, harus ada usaha. Dan yang diperoleh adalah sebesar usaha yang dikorbankan.1-2

“Itulah yang menjadi pegangan saya dalam melakukan sesuatu. Allah selalu melihat, mendengar dan mengerti kebutuhan hamba-Nya, jadi jangan pernah khawatir atas takdir-Nya yang kadang terasa berat, berbeda dengan teman-teman lain yang sepertinya hidupnya enak sekali. Tidak, mereka masing-masing memiliki masalah yang berbeda-beda,” kata lulusan SMK Negeri 1 Kebumen 2011 ini.

Lisa hidup di lingkungan yang guyub-rukun, tenteram dan saling membantu. Sejak kecil dan bersekolah di sekolah dasar, ibu Lisa selalu melakukan ritual berpuasa untuk mendoakan anak-anaknya selama sedang ujian, baik saat UAS, UTS dan sebagainya. Maka, keberhasilan yang diperoleh Lisa dianggap tidak pernah luput dari doa kedua orang tuanya. “Mereka sangat perhatian, sepulang dari sekolah selalu menanyakan pelajaran di sekolah dan nilai yang diperoleh hsri itu.

“Ada PR atau tidak?” itu kata-kata yang selalu menjadi pertanyaan wajib ketika Lisa masih di bangku SD. Dengan pertanyaan itulah yang secara tidak sadar Lisa belajar di sekolah dengan sungguh-sungguh dan menceritakan bahwa tadi di sekolah mendapatkan nilai yang bagus. Itulah yang awalnya memotivasi di.

Hasil doa dan berpuasa ibunya, ditambah semangat dan kesungguhan dalam belajar ternyata membuahkan hasil yang membuat orang tuanya sangat bahagia dan bersyukur.

“Selama di Sekolah Dasar saya selalu mendapatkan ranking satu di kelas. Pernah sekali selama enam tahun yaitu ketika kelas 6 semester 1 saya tidak ranking satu.1-1

Saat memasuki SMP, saya selalu naik sepeda ke sekolah. Waktu itu dengan hati-hati ayah saya menawarkan SMP N 6 Kebumen yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah untuk saya masuki. Karena menurut orang tua saya akan lebih berhemat jika bersekolah di sana, karena bisa naik sepeda tidak perlu naik angkot ke sekolahnya. Akhirnya saya bersekolah di SMP tersebut dan setiap hari kesekolah dengan naik sepeda bersama teman-teman,” kata Lisa mengenang masa lalu.

Lisa lulus SMP dengan nilai yang cukup baik, teman-teman dan gurunya menyarankan agar dia masuk SMA favorit di kota Kebumen. Tapi memikirkan kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan, dan adik-adik juga segera masuk sekolah, maka Lisa memutuskan untuk masuk sekolah kejuruan. Yaitu SMKN 1 Kebumen.

“Kenapa saya tidak masuk SMA? Karena pada waktu itu ayah saya bilang, ‘Nak, bapak hanya sanggup menyekolahkan kamu sampai SMEA”. Saya saat itu masih berpikiran bahwa yang masuk SMA biasanya dipersiapkan untuk kuliah, dan saya tidak akan kuliah tapi langsung bekerja, pasti akan lebih mudah nantinya jika saya bersekolah di SMK. Itulah yang saya pikirkan. Saya ketika SMK mengambil jurusan Akuntansi. Sampai saat kelas 9 pun saya masih bercita-cita setelah lulus SMK mau langsung bekerja, menjadi buruh pabrik, menjadi staf akuntansi atau bekerja apa saja yang penting halal,” ujar Lisa.

Dia akan menabung agar nantinya bisa membantu orang tua, syukur-syukur bisa membiayai kuliah sendiri. Karena keinginan menempuh pendidikan yang lebih tinggi tentu saja milik semua orang seperti teman-teman yang lain.

Sementara Lisa mengaku bukan orang yang suka hitung-hitungan. Dan nilai Matematikanya termasuk yang sering rendah selama bersekolah.

“Masuk jurusan Akuntansi di SMK menjadi tantangan tersendiri juga bagi saya. Bahkan saya masih selalu remedial ketika UAS Akuntansi sampai kelas 8. Baru setelah berusaha belajar sendiri lebih giat dan rajin saya tidak di remedial lagi ketika kelas 9,” kata dia.

Lisa adalah mahasiswi Bidikmisi. Itulah kenapa dia bisa kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia. Ia masuk jurusan Pendidikan Akuntansi, sebagaimana mahasiswa biasa seperti yang lainnya. Untuk menambah pemasukan sehari-hari selain dari beasiswa, dia juga melakukan kerja paruh waktu. Pada hari Sabtu dan Minggu dia sering menjadi penjaga stand/boot bazar hijab yang sering diselenggarakan di Bandung.

“Saya dengan teman membuat aksesoris handmade seperti bros untuk dijual. Saya juga menawarkan jasa pembuatan gantungan kunci pada kakak tingkat yang sedang PPL barangkali mau memberi kenang-kenangan kepada siswa PPL-nya. Itulah yang saya lakukan. Saya tidak pernah merasa malu melakukan pekerjaan seperti itu,” kata Lisa.

Bahkan ketika tingkat satu kuliah, Lisa sambil berjualan gorengan di kelas ketika kuliah. Ketika sudah selesai jadwal belajar dan gorengan bikinan ibu kosnya belum habis, Lia menawarkan kepada dosen yang ada di Prodi.

“Saya selalu berusaha memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Banyak aktivitas yang saya lakukan, tidak pernah membuat saya lupa pada tugas utama. Terkadang saya merasa lelah. Ketika teman-teman yang lain di hari libur bermain-main, saya harus membuat bros atau menjadi penjaga stand/boot di bazar. Tapi itu semua saya lakukan dengan senang dan tidak pernah menganggap sebagai beban. Dengan uang tambahan yang diperoleh akan meringankan orang tua agar tidak perlu mengirim uang kepada saya,” ujar dia.

IPK tinggi tentu diperoleh tidak dengan mudah. Kesungguhan, semangat dan doa mengalir mengiringi setiap usaha yang dilakukan. Saat teman yang lain bersantai belum mengerjakan tugas kuliah karena masih banyak waktu, dia selalu sesegera mungkin mengerjakan tugas kuliah agar setelah itu Lisa bisa mengerjakan pekerjaan yang lainnya.

“Saya hanya mahasiswi yang biasa-biasa saja. Saya mengikuti organisasi dan himpunan seperti teman yang lain juga. Saya juga memiliki waktu bermain dengan teman. Hanya saja mungkin saya memiliki waktu tidur yang lebih sedikit dibandingkan teman yang lain,” ujar Lisa.

Keinginan Lisa adalah membahagiakan kedua orang tuanya. Dan kunci suksesnya adalah bahagiakan kedua orang tua dan dapatkan doa dari mereka sebanyak-banyaknya. “Apa pun yang mereka doakan pasti terkabul. Termasuk cita-cita kecil saya ketika kelas satu Sekolah Dasar ingin menjadi guru telah terkabul. Karena saat ini saya telah mengajar di Lembaga Bimbingan Belajar di Kota Bandung. Semoga orang tua saya bangga dengan persembahan ini. Terima kasih bapak, terima kasih ibu.” (WAS/Dodi)