Entitas Budaya Dan Kearifan Lokal, Sumber Rujukan Dalam Mentransformasikan Perdamaian

Bandung, UPI

“Sesungguhnya radikalisme tidak hanya terjadi dikalangan Islam, tetapi juga di semua agama dan dikelompok-kelompok politik sekuler, adapun faktor pemicunya adalah banyak negara muslim yang belum berhasil merumuskan sistem politik dan pemerintah pada era modern, kedua pasca perang dingin ada kecurigaan bahwa pihak barat berusaha secara sistematik memaksakan sistem liberal atau sekuler setelah merasa menang terhadap komunisme,” ujar Ketua Majelis Wali Amanat Universitas Pendidikan Indonesia (MWA UPI) Dr. KH. As’ad Said Ali saat memberikan materinya pada Seminar Nasional Pendidikan Perdamaian dan Upaya Pencegahan Radikalisasi Agama, di Gedung JICA FPMIPA UPI, Senin (16/5/2016). Seminar ini dibuka oleh Rektor UPI Prof. H. Furqon, Ph.D., dan dihadiri oleh ratusan civitas akademika UPI, diantaranya para wakil rektor, dekan, dan unsur pimpinan universitas, serta para mahasiswa.

Dijelaskannya, radikalisme adalah paham yang menentang kemapanan, muncul karena politik. Bentuknya seperti sekarang ini merupakan masalah yang rumit melibatkan berbagai kepentingan strategi, politik, ekonomi, ideologis yang pada mulanya digerakan oleh gerakan Islam radikal untuk melawan kekuatan AS/barat dan seluruh rezim di dunia Islam. Oleh karena itu diperlukan suatu kerjasama internasional untuk meredakannya.4

“Diperlukan peranan kaum intelektual dan agama untuk mencegah kecenderungan tersebut (conflict of civilization) dan sebaliknya mendorong berlangsungnya dialog antar peradaban atau agama. Dalam hal ini, UPI memiliki potensi untuk berperan serta dengan mendorong kesadaran berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila untuk menangkal pengaruh paham dari luar, baik yang terkait terorisme maupun ultra liberalisme,” ungkapnya.

Sementara itu, Rektor UPI periode 2005-2015 Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd., mengatakan,”Dalam upaya pencegahan radikalisasi agama diperlukan pendidikan yang berbasis kedamaian. Pendidikan untuk kedamaian sepatutnya mengangkat nilai-nilai lokal kedamaian sebagai landasan dan muatan isi pendidikan.”

Entitas budaya dan kearifan lokal merupakan sumber rujukan aspek-aspek moral, sosial, dan spiritual dari perilaku dan disposisi yang diperlukan dalam mentransformasikan perdamaian ke dalam kehidupan pribadi dan sosial, lanjutnya.3

Dijelaskannya,”Dalam konteks aplikasi ilmu mendidik, pendidikan kedamaian tidak berbentuk mata pelajaran khusus. Kedamaian bukan hanya menjadi tujuan, tetapi harus sebagai climate, sebagai iklim yang menyelimuti interaksi belajar-mengajar. Konsep damai, sikap, nilai-nilai, dan keterampilan sosial telah diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah pada banyak negara. Terjadi kolaborasi antara keluarga dan sekolah, keluarga adalah lembaga pendidikan yang utama dan pertama.”

Dalam kesempatan yang sama, pengasuh Pondok Pesantren Amanat Umah Mojokerto Dr. KH. Asep Saepudin Chalim, MA., mengatakan bahwa dalam upaya kita untuk mencegah radikalisasi agama diantaranya selalu berbuat baik terhadap sesama, jangan menyakiti orang lain, hargai yang lebih sepuh, hargai juga orang lain, serta selalu membaca subhanallah walhamdulillah wala ila ha ilallah wallahu akbar.

Ketua pelaksana seminar nasional Dr. H. Mupid Hidayat, M.Ag., dalam laporannya mengatakan seminar ini diselenggarakan terkait keprihatinan kita akibat adanya beberapa kejadian yang memilukan serta mengenaskan. Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas segala persoalan pendidikan di masa depan, karena menurut rasulullah didiklah anak-anakmu karena mereka akan hidup di lain zamannya saat ini.2

“Sumber nilai yang membentuk kepribadian seseorang salah satunya adalah agama. Nilai tersebut ditanamkan kepada individu melalui proses pendidikan untuk membangun suatu kebaikan. Kita harus sadar bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan keberagaman dan ini harus dipahami bukan untuk dipertentangkan. Hakekat pendidikan pada dasarnya akan membentuk peradaban umat manusia yaitu memanusiakan manusia agar tercipta perdamaian,” paparnya. (dodiangga)1