Dekatkan Informasi Pendidikan kepada Masyarakat, Bukan Sekolahnya yang Didekatkan

Bandung, UPI

Hendaknya, kita sebagai calon pendidik dan para pendidik, dapat mendekatkan informasi pendidikan kepada masyarakat, bukan sekolahnya yang didekatkan. Sementara itu dikarenakan keterbatasan jumlah sekolah, dan teknologi sudah semakin maju, maka bahan-bahan belajar dibuat beragam dan harus didekatkan kepada anak-anak yang ada di daerah tertinggal.

Demikian ulasan Pakar Pendidikan Masyarakat Dr. Sardin, S.Pd., M.Si., usai menyaksikan tayangan film Salawaku yang diselenggarakan oleh Ruang Sumber Psikologi hasil kerjasama dengan Museum Pendidikan Nasional Universitas Pendidikan Indonesia (Mupenas UPI) dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional 2018 di Auditorium Mupenas UPI Kampus UPI Jl. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung, Jumat (13/7/2018).

Dr. Sardin yang juga Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan FIP UPI menjelaskan,”Tokoh Salawaku adalah gambaran salah satu anak yang kurang beruntung dalam pendidikan. Oleh karena itu, diharapkan kepada para mahasiswa yang ikut mengapresiasi film ini hendaknya dapat mendekatkan informasi pendidikan kepada mereka, bukan sekolahnya yang didekatkan.”

Lebih lanjut dijelaskan, ketika pemerintah memunculkan program Wajib Belajar 9 Tahun atau Wajib Belajar 12 Tahun, itu salah kaprah. Menurut hematnya, Islam mengajarkan bahwa wajib belajar itu sejak dalam buaian hingga ke liang lahat, begitupun ketika ada iklan Ayo Sekolah, seharusnya Ayo Belajar.

Diharapkan, ujarnya, usai mengapresiasi film ini, para mahasiswa UPI tergerak untuk membuat film sendiri, diinisiasi oleh BEM, lalu dikaji, syukur-syukur bisa membuat film pendek, kemudian dilombakan antar BEM.

Mengakhiri ulasannya, dikatakannya,”Film tersebut dengan latar alam Ambon, hampir sama dengan daerah-daerah Indonesia bagian timur lainnya. Berdasarkan pengalaman saya ke berbagai daerah di timur Indonesia, yang tampak selalu hijau, kuning, dan biru. Hijau terlihat dari dedaunan pohon dan rerumputan yang terhampar di desa-desa. Kuning tampak dari padi di pesawahan yang siap dipanen, dan biru, tampak pada pantai yang indah atau langit yang teduh.”

Hadir dalam kesempatan tersebut Ketua Prodi Psikologi Drs. HM. Engkos Kosasih, M.Pd., dan 2 orang dosen Prodi Pendidikan Khusus Dr. Oom Siti Homdijah, M.Pd., dan Dr. Tjutju Soendari, M.Pd. Kaprodi mengapresiasi film tersebut, dikatakannya,”Filmnya sederhana, namun bagus. Pemain Salawaku bermain dengan natural sekali. Film Salawaku mengisahkan perjalanan Salawaku yang hendak mencari kakaknya. Ia tanpa sengaja bertemu Saras, remaja Jakarta, yang berlibur di pantai, dan mau menolong untuk menemani perjalanannya. Menariknya, karena keduanya berbeda usia, berbeda tabiat, dan berbeda kepentingan. Saat ada Kawanua, hati Saras menjadi lupa atas patah hatinya.”

Sementara itu dalam kesempatan yang sama, menurut penggagas kegiatan KALeM, yang juga Dosen Departemen Psikologi FIP UPI Drs. MIF. Baihaqi, M.Si., mengatakan bahwa terkait dengan harapan Dr. Sardin, UPI sebenarnya sudah memiliki komunitas yang menggeluti dunia perfilman, dibentuk sejak 2015, namanya UKM Satu Layar, yang  telah membuat film pendek lebih dari 20 judul.

“Sementara itu, kegiatan KALeM atau kajian filem berikutnya ada di bulan Agustus 2018, akan mengapresiasi film Soekarno, hasil karya Hanung Bramantyo,” pungkasnya. (dodiangga)