DUA GERHANA DI BULAN RAMADAN DAN VISIBILITAS HILAL PENENTU AWAL SYAWAL 1445 H/2024 M

Dr. Judhistira Aria Utama, M.Si.

KBK Fisika Antariksa dan Energi Tinggi

Laboratorium Bumi dan Antariksa

Program Studi Fisika – FPMIPA

Universitas Pendidikan Indonesia

Sepanjang tahun 2024 ini, serupa dengan 2023 silam, hanya terdapat 4 peristiwa gerhana di dalamnya. Sebagai pembeda, bila pada tahun 2023 terdapat 1 Gerhana Matahari Total (GMT) pada akhir bulan Ramadan 1444 H yang dapat diamati dari sebagian wilayah Indonesia, pada tahun ini terdapat 2 peristiwa gerhana sekaligus, di pertengahan dan akhir bulan Ramadan 1445 H. Gerhana di pertengahan Ramadan tahun ini telah terjadi pada 25 Maret/14 Ramadan lalu dari jenis Gerhana Bulan Penumbra (GBP) yang hanya dapat diamati dari kawasan timur Indonesia. Sementara, peristiwa gerhana lainnya yang sudah terjadwal pada akhir Ramadan nanti adalah Gerhana Matahari Total (GMT) pada 8 April/28 Ramadan. Apakah hadirnya fenomena gerhana di bulan Ramadan merupakan peristiwa yang spesial? Adakah pola yang dapat dikenali untuk menghadirkan perulangan peristiwa ini?

Pada tahun 2024 ini, musim gerhana dimulai pada 25 Maret yang dibuka dengan atraksi GBP. Yang dimaksud dengan musim gerhana adalah kondisi saat kedudukan Matahari dan Bulan di langit berada tepat di atau dekat dengan garis potong bidang orbit Bulan dengan bidang orbit Bumi/ekliptika. Dicapainya kondisi di atas bertepatan dengan Bulan dalam fase purnama. Alhasil, gerhana Bulan menjadi atraksi langit yang membuka musim gerhana tahun ini. Mengingat durasi waktu sejak fase purnama menuju ke fase Bulan mati adalah 14/15 hari, maka 2 pekan berselang sejak gerhana Bulan (GBP) akan terjadi gerhana Matahari. Sayangnya, gerhana Matahari berjenis total (GMT) yang akan terjadi nanti hanya akan dapat diamati dari sebagian daratan Amerika Utara. Seluruh kawasan Indonesia tidak berkesempatan untuk mengamati tertutupnya piringan Matahari oleh piringan Bulan secara sempurna tersebut.

Berkumpulnya dua fenomena alam gerhana dalam 1 bulan Hijriyah, seperti pada Ramadan tahun ini, bukanlah suatu keistimewaan. Sepanjang sudah masuk musim gerhana, pasti akan ada 2 gerhana berturutan dalam selang waktu 2 pekan. Musim gerhana sendiri bisa dimulai di bulan apapun (Januari-Desember), hanya saja tahun ini bermula di bulan Maret (pada 2023 silam musim gerhana dimulai pada bulan April). Karena bulan-bulan dalam penanggalan Hijriyah bergeser 10/11 hari tiap tahunnya terhadap bulan-bulan dalam penanggalan Masehi/Syamsiyah, maka awal Ramadan tahun ini bertepatan dengan bulan Maret yang juga menjadi bulan bagi permulaan musim gerhana. Sebagai konsekuensinya, sepanjang Ramadan dapat dihiasi atraksi langit gerhana Bulan dan gerhana Matahari sekaligus dengan jeda waktu 2 pekan.

Apakah gerhana Matahari yang terjadi di penghujung bulan Ramadan sekaligus menjadi penanda berakhirnya bulan ini dan berganti menjadi bulan Syawal? Datangnya fase Bulan mati tepat di atau dekat dengan garis potong bidang orbit Bulan dan ekliptika, akan membuat Bulan yang tak terlihat kasat mata dalam kondisi biasa menjadi dapat diamati. Pada saat tersebut fase Bulan mati teramati sebagai piringan gelap yang menutupi permukaan Matahari dalam peristiwa gerhana Matahari yang terjadi. Penanggalan Hijriyah mendasarkan pergantian bulan pada nampaknya hilal/sabit Bulan setelah fase Bulan mati. Dengan demikian, teramatinya fase Bulan mati (melalui peristiwa gerhana Matahari) tidak serta-merta menandai akhir dari bulan Ramadan. Karena hilal yang merupakan bagian dari fase Bulan memerlukan beberapa waktu untuk menampakkan rupa sabitnya, menjadi tidak mungkin untuk terjadinya gerhana Matahari bertepatan dengan awal bulan Hijriyah yang baru. Dengan demikian, GMT pada akhir Ramadan nanti tidak akan menandai pergantian bulan dari Ramadan menuju ke bulan Syawal.

Analisis terhadap kejadian gerhana di dalam bulan Ramadan yang dilakukan oleh astronom David L. McNaughton mendapati fakta hadirnya date-clustering. Gerhana (Bulan maupun Matahari) di bulan Ramadan tersebut hanya terjadi pada tanggal-tanggal tertentu dalam penanggalan Masehi. McNaughton menjumpai bahwa Gerhana Bulan Total (GBT) yang pernah terjadi selama bulan Ramadan, tanggal kejadiannya berada dalam salah satu dari tiga interval pendek berikut ini: 22 Februari hingga 13 Maret, 20 Juni hingga 11 Juli, atau 16 Oktober hingga 7 November. Sementara, tanggal kejadian Gerhana Matahari Sentral (Total/Cincin) yang terjadi selama bulan Ramadan berkisar antara 12 November hingga 25 Desember, atau dari 20 Maret hingga 26 April, atau dari 16 Juli hingga 22 Agustus. Perbedaan 1-2 hari dari rentang di atas masih dimungkinkan. Sebagai contoh, peristiwa GMT yang akan terjadi pada 8 April nanti, terbukti tanggal kejadiannya berada dalam rentang 20 Maret – 26 April. Untuk Gerhana Bulan Total (GBT) 14 Maret 2025, sangat dekat waktunya dengan rentang 22 Februari – 13 Maret.        

Visibilitas Hilal Awal Syawal

Fase Bulan mati yang menandai akhir lunasi akan terjadi pada 9 April 2024/29 Ramadan 1445 pukul 01.20.47 WIB/02.20.47 WITA/03.20.47 WIT. Terhitung sejak waktu tersebut hingga Matahari terbenam di masing-masing kawasan, terdapat jeda waktu antara 14 jam 17 menit 48 detik (di kota Merauke) sampai 17 jam 26 menit 1 detik (di kota Sabang). Selama kurun waktu di atas, Bulan terus bergerak menjauhi Matahari. Nilai jarak sudut (elongasi geosentrik) Bulan dari Matahari pun terus bertambah besar. Pada saat Matahari terbenam di seluruh kawasan Indonesia, nilai ini berkisar antara 8,4° (di kota Merauke) hingga 10,2° (di kota Sabang). Nilai elongasi berpengaruh terhadap ketebalan sabit Bulan; semakin tebal sabit Bulan, semakin luas fraksi permukaan Bulan yang memantulkan cahaya Matahari yang akan membuat rupa sabit semakin mudah untuk diamati.

Ketinggian hilal/sabit Bulan (mengacu ke pusat piringan Bulan) dari ufuk setempat pada saat Matahari terbenam juga bernilai positif di seluruh kawasan Indonesia. Artinya, pada saat tersebut hilal masih berada di atas ufuk sehingga berpeluang untuk dapat diamati. Ketinggian hilal berada dalam rentang 4,9° (di kota Merauke) hingga 7,6° (di kota Sabang). Semakin tinggi posisi hilal dari ufuk, semakin gelap area langit yang dihuninya. Kompetisi kecerahan yang terjadi antara hilal dan langit senja, akan menentukan mudah-sulitnya mengamati hilal dan berdampak pada modus pengamatan yang digunakan; apakah pengamatan kasat mata ataukah berbantuan alat optik (semisal binokular ataupun teleskop). Perhitungan kontras hilal dan langit senja telah dilakukan untuk memprediksi visibilitas/kenampakan hilal di beberapa lokasi pada tanggal 9 April petang hari. Perhitungan tersebut memanfaatkan model kecerahan langit senja yang dibangun oleh Sidney O. Kastner, ilmuwan yang pernah bekerja di laboratorium Fisika Matahari dan Astrofisika milik NASA-Goddard Space Flight Center. Hasil perhitungan disajikan sebagai kurva visibilitas. Dalam hal visibilitas bernilai positif, dimaknai bahwa hilal berpeluang untuk dapat diamati dalam modus pengamatan yang digunakan. Sebaliknya, manakala visibilitas bernilai negatif, maka hilal tidak dapat diamati karena dikalahkan oleh kecerahan langit senja. Kurva visibilitas disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1Kurva visibilitas hilal awal Syawal dari tiga kota: Merauke, Bandung, dan Sabang. Hanya dari Bandung dan Sabang, hilal berpeluang dapat diamati secara kasat mata dengan asumsi kondisi cuaca setempat mendukung/cerah dan atmosfer lokal bersih (dalam perhitungan diwakili dengan penggunaan nilai koefisien ekstingsi k = 0,2).

Meskipun berdasarkan Gambar 1 hilal diprediksi dapat diamati dari kota Bandung, dengan nilai visibilitas maksimum kurang dari 1 (hanya 0,39), Pengamat yang terlatiih pun akan kesulitan dalam mengesani sosok hilal. Nilai visibilitas berhubungan dengan kontras kecerahan hilal dan langit senja. Nilai visibilitas untuk kota Bandung (demikian pula untuk kota Merauke) dapat ditingkatkan dengan menggunakan bantuan alat optik dalam pengamatannya (semisal binokular/teleskop). Dari simulasi perhitungan, melalui penggunaan teleskop dengan perbesaran sudut 10x, visibilitas hilal di kota Merauke dapat ditingkatkan sehingga membuat hilal dapat diamati meskipun Matahari belum terbenam. Penggunaan teleskop juga membantu mengatasi kondisi atmosfer yang tidak bersih (nilai k lebih besar daripada 0,2), sehingga hilal tetap berpeluang dapat diamati dalam perburuan yang akan dilaksanakan serentak pada Selasa 9 April 2024 tersebut.

Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1455 H. Semoga amaliah Ramadan kita diterima oleh Allah, Tuhan semesta alam. Dan melalui momentum ini pula bangsa Indonesia dapat bangkit dari problema multidimensi yang mendera dengan terbentuknya pribadi-pribadi Anak Bangsa yang bertakwa hasil pendidikan Ramadan yang mulia.