Kabar dari Perancis (1) : Pemberontakan Massal Para Pemuda Perancis

Nenden Nurhayati Issartel (Koresponden, Perancis) & Tri Indri Hardini (Dosen, Universitas Pendidikan Indonesia)

Media massa di Perancis, bahkan di seluruh dunia, akhir-akhir ini banyak memberitakan tentang Nahel Merzouk, pemuda yang berasal dari keluarga imigran keturunan Aljazair yang berusia 17 tahun yang ditembak mati oleh seorang petugas polisi setelah dilakukan pemeriksaan di Nanterre (Hauts-de-Seine) pada hari Selasa 27 Juni 2023. Anak muda yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi ini mengendarai mobil Mercedes yang bukan miliknya dengan dua orang temannya yang melarikan diri dan keduanya kini sudah ditangkap dan diinterogasi kepolisian.

Pada saat kejadian, kemungkinan besar Nahel panik karena akhir pekan sebelumnya dia sudah ditangkap dan ditempatkan di tahanan polisi karena masalah yang lain, dan dia harus memenuhi panggilan baru untuk hadir di pengadilan remaja September mendatang.

Ternyata remaja tersebut memang sering bermasalah dengan polisi sejak tahun 2020 karena tindakan menyelundupkan barang curian dan pemberontakan terhadap polisi, bahkan pada bulan Februari 2022, dia terlibat dalam penggunaan pelat nomor palsu. 

Video mengenai penembakan ini tersebar dengan cepat di media sosial, dan Inspektorat Jenderal Polisi Nasional (IGPN : l’Inspection Générale de la Police Nationale, dinas dengan yurisdiksi nasional yang bertanggung jawab untuk memantau Direktorat dan Dinas Direktorat Jenderal Kepolisian Nasional) langsung bergerak juga atas aduan keluarga tentang tindakan polisi ini. Petugas polisi ini langsung ditahan dengan dakwaan pembunuhan yang disengaja. Alasan bahwa Nahel dalam keadaan mabuk dan atau terpengaruh oleh narkotika ternyata tidak terbukti karena Pengadilan Nanterre membuktikan bahwa hasil otopsi dan pemeriksaan terbukti  hasilnya negatif.

Polisi mengaku penembakan itu dilakukan tanpa sengaja karena Nahel menolak mematikan mobilnya dan menyerahkan diri dan bahkan Nahel malah menerobos dan menginjak pedal mobil untuk kabur. Kedua saksi yang merupakan dua penumpang mobil Nahel menyatakan bahwa polisi yang mencoba memberhentikan mereka meneriakkan kata-kata rasis. Hal ini yang membuat masyarakat dunia menjadi marah, terutama orang-orang di Aljazair dan di Turki. Mereka menuduh Perancis adalah negara yang rasis.

Atas kejadian ini, reaksi masyarakat Perancis terbagi dua : kelompok pertama adalah kelompok politik Sosialis dan Komunis yang mengecam polisi dan menganggap seluruh badan kepolisian rasis sedang kelompok liberal menganggap kemudahan di Imigrasi Perancis adalah salah satu penyebab ketidakamanan di negara ini. Kubu Presiden Macron yang berada di tengah (tidak sosialis, tidak pula liberal) tidak tegas menentukan sikapnya, namun Presiden Perancis Emanuel Macron menganggap  penembakan Nahel ini “tidak dapat dijelaskan” dan “tidak dapat dimaafkan”.

Nahel telah dimakamkan Sabtu 1 Juli 2023 ini di alun-alun Muslim pemakaman Mont Valérien. Doa pemakaman berlangsung pada pukul 13.30 di Masjid Ibn-Badis di Nanterre di hadapan Jemaah yang sangat banyak dan bahkan masjid ini tidak bisa menampung semua yang hadir. Rangkaian prosesi pemakaman berlangsung dengan tenang dan khidmat, diiringi mobil, sepeda motor dan orang-orang yang berjalan kaki, menemani almarhum ke tempat peristirahatan terakhirnya dalam ketenangan.

Kematian Nahel di tangan polisi ini menjadi titik yang meledakkan kemarahan pemuda dan juga bahkan anak-anak di bawah umur (antara usia 10-16 tahun) dengan menghancurkan infrastruktur yang ada di kota tempat tinggal mereka. Dua kota besar yang paling terdampak oleh huru-hara ini adalah Marseilles dan Lyon dan beberapa kota pinggiran Paris seperti Nanterre, Creteil, dan Saint-Denis.

Untuk menghadapi kerusuhan ini, lebih dari 2000 orang polisi dikerahkan. Masalahnya di Perancis hak asasi manusia sangat dijunjung tinggi lebih-lebih jika menyangkut anak-anak di bawah umur legal dewasa (18 tahun). Kebanyakan perusuh ini adalah anak-anak imigran yang situasi sosialnya rendah. Kekerasan anak-anak muda ini dianggap tidak ada hubungan dengan kematian Nahel karena kebanyakan dari mereka bukan hanya merusak tetapi juga merampok, dan Pemerintah Perancis lebih cenderung menganggap pemuda ini merusak untuk memberontak dan bermaksud menghukum orang tua anak-anak perusak itu dengan tidak memberi santunan sosial bulanan.

Kementerian Dalam Negeri Perancis menghitung akibat dari kerusuhan setelah seminggu kekerasan, tercatat lebih dari 2.508 bangunan rusak dan 60% dari mereka yang ditangkap ternyata tidak memiliki catatan kriminal. Di Paris, ternyata kerusakannya cukup banyak dan bahkan terjadi pembakaran dan penghancuran mobil polisi maupun sipil.  Selama sidang di hadapan Komisi Hukum Senat, Gérald Darmanin, Menteri Dalam Negeri Perancis ini mengatakan bahwa di antara bangunan yang terkena dampak ada 105 balai kota dan 168 sekolah di seluruh Perancis. Dari hasil perhitungan kehancuran bangunan ini, Darmanin menyatakan bahwa situasi saat ini lebih tenang walaupun tetap ada dalam pemantauan.

Sejak awal kerusuhan di Prancis, menurut Kementerian Kehakiman, tercatat 3.625 tahanan polisi, termasuk 1.124 anak di bawah umur dan sudah 990 kasus dibawa ke hadapan pengadilan, termasuk 480 kasus yang diadili langsung,  dan sejauh ini, 380 penahanan telah dijatuhkan. Sementara Polisi yang menembak Nahel masih dirahasiakan identitasnya dan ditahan untuk diajukan ke pengadilan dan didengar versi kesaksiannya.

Beberapa saat sebelumnya, Kepala Kepolisian Paris, Laurent Nuñez mengatakan bahwa “jelas kematian ini tidak normal jika terjadi saat pemeriksaan lalu lintas”. Penyelidikan untuk pembunuhan ini direncanakan akan dilakukan terbuka. Tuntutan kejujuran dalam penyelidikan digulirkan oleh semua kalangan, termasuk Menteri Dalam Negeri. “Kami ingin, di lingkungan kementerian dan polisi nasional, menjunjung tinggi kebenaran dan menghormati proses pengadilan,” jelas Gérald Darmanin. “Kami akan mengambil keputusan administratif untuk memecat polisi tersebut jika tuduhan terhadapnya ternyata benar. Keadilan harus diterapkan, kebenaran harus ditegakkan untuk semua orang, keluarga, polisi, tidak ada perkecualian,” kata Darmanin.

Bagaimana sejumlah besar anak muda ini bisa termobilisasi secara massal dalam menghancurkan kota?

“Orang-orang muda ini menggunakan jaringan sosial seperti Snapchat dengan alasan pengguna Snapchat sulit untuk terlihat oleh orang dewasa: Akunnya bisa anonim, dan isinya hanya dapat diakses di antara teman-teman, dengan sirkuit tertutup”.

Mereka meninggalkan rumah di jam-jam tidur, di tengah malam sampai pukul 4 subuh, dan mereka menggunakan segala alat yang bisa dipakai untuk memecahkan dan menghancurkan segala yang menghalanginya termasuk melukai polisi yang mencoba mencegahnya.  

Setelah investigasi  yang mendalam, di bawah naungan Kantor Pusat untuk Memerangi Kejahatan, di badan Teknologi Informasi dan Komunikasi, polisi Haute-Savoie menangkap seorang pedagang kembang api yang tinggal di kota Cluses pada hari Selasa, 4 Juli di rumahnya. 

Pedagang ini terlibat dalam penjualan kembang api dan mercon secara tidak resmi dengan menggunakan media sosial, termasuk TikTok dan Snapchat, dengan nama “mortir”74 dan diduga pembelinya adalah anak-anak muda yang menghancurkan kota.

Kerusuhan ini telah meninggalkan kehancuran dan kerugian ekonomi yang cukup besar. Menurut perkiraan awal dari MEDEF (Mouvement des Entreprises de France, Movement of the Enterprises of France) biaya kerusakan mencapai lebih dari satu miliar Euro di seluruh Perancis dan 20 juta Euro hanya untuk memperbaiki daerah Kota Paris. Namun Menteri Ekonomi dan Bendahara Negara Perancis, Bruno Lemaire berkomitmen untuk memperbaiki kehancuran ini, bahkan pemerintah memberikan bantuan bagi para pedagang yang tokonya hancur karena peristiwa ini.

Kerusakan yang terjadi tidak terbatas pada barang-barang material. Tentu saja citra Perancis juga ternodai oleh video kerusuhan yang telah beredar di seluruh dunia. Hal ini tentu berdampak negatif pada sektor pariwisata, yang merupakan salah satu sektor terpenting dalam perekonomian Perancis.