Kabar dari Perancis (15)Adakah kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam bidangolahraga?

Oleh : Nenden Nurhayati Issartel (Koresponden, Perancis)

Tri Indri Hardini (Dosen, Universitas Pendidikan Indonesia)

Tahukah Anda bahwa struktur DNA pertama-tama ditemukan oleh Roslind Franklin, seorang ahli biofisika dan saintis perempuan asal Inggris. Namun pada tahun 1962 yang diberi penghargaan hadiah Nobel adalah Francis Crick, James Watson dan Maurice Wilkins. Ketiga saintis laki-laki inilah yang mengakui sebagai penemu struktur DNA, dan akhirnya Roslind Franklin dilupakan… 

Tahukah Anda bahwa pembuat mesin cuci piring (Perancis : lave vaisselle) yang modern dan praktis adalah seorang perempuan?  Pada tahun 1886, Josephine Cochrane, seorang perempuan Amerika yang berasal dari kelas sosial yang tinggi di l’Illinois, telah menciptakan mesin cuci yang praktis dan efisien.

Dari dulu sampai sekarang di belahan dunia mana pun juga, banyak perempuan yang menderita karena tidak adanya pengakuan akan keterampilan dan kepandaian mereka dalam segala bidang di segala lapisan masyarakat yang berbeda.

Bagaimana dengan dunia olahraga?

Di Arab Saudi kaum perempuan diperbolehkan menyaksikan pertandingan olahraga baru sejak tahun 2018. Bagaimanakah keadaan di belahan dunia yang lain berkaitan dengan kesetaraan gender dalam berolahraga? 

Stereotip yang muncul di masyarakat adalah menari dan senam hanya untuk anak perempuan dan sepak bola dan judo hanya untuk anak laki-laki. Perbedaan jenis kelamin dalam olahraga ini ternyata tidak terbatas pada anak usia dini saja. Apakah alasannya mengapa perbedaan-perbedaan ini masih ada dan bagaimana kita bertindak untuk bisa menyetarakan secara nyata antara perempuan dan laki-laki dalam berolahraga? Padahal olahraga adalah dunia yang dianggap diberkahi karena menebarkan kebaikan  dan nilai-nilai tinggi kemanusiaan dan olahraga digambarkan sebagai pemersatu, memasyarakat, universal,  yang membuat semua orang memiliki derajat yang sama (metafora yang menyatakan bahwa kita lahir setara). Kesamaan ini tentu saja bukan hanya menyangkut jenis kelamin, namun juga kesamaan atau paritas keterwakilan dua pihak dalam suatu kelompok, suatu organisasi, atau suatu badan sosial. Jika Olimpiade 2024 sekarang dikatakan setara, hal itu karena atlet perempuan dan laki-laki akan terwakili secara seimbang. Jumlah atlet lelaki sama jumlahnya dengan atlet perempuan.

Kesetaraan, istilah yang muncul di artikel ini, adalah fakta bahwa mereka diperlakukan sama karena hukum menyatakan bahwa syarat-syarat kesetaraan dan juga hal itu harus dipertimbangkan. Perbedaan dan kesetaraan tidak bertentangan sebagaimana seorang pemikiran seorang pelatih: “kaum perempuan tidak bisa bermain rugbi karena kita tidak sama!”. Hasil yang baik dari tim nasional perempuan, dan  keunggulan atlet-atlet tingkat tinggi dalam beberapa tahun terakhir ini membuat kita yakin bahwa kaum perempuan/anak gadis sepenuhnya terintegrasi di dalam bidang olahraga. Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki saat ini tampaknya telah tercapai. Secara teoretis, saat ini mereka dapat melakukan segalanya. Namun apa kenyataannya? Dunia olahraga nampak seperti “laboratorium khusus” untuk menganalisis kesenjangan yang tak henti terdapat antara perempuan dan laki-laki.

Bagaimana dengan kondisi di Perancis?

Di Perancis, selama lebih dari 50 tahun, semakin banyak perempuan  yang melakukan aktivitas fisik atau olahraga (APS :  activité physique et sportive), walaupun tidak seluruh kaum perempuan melakukan aktivitas ini. Olahraga, secara budaya, hanya dianggap  sebagai aktivitas yang wajar bagi laki-laki tetapi tidak untuk perempuan.

Kesenjangan antara kaum perempuan yang tidak membudayakan olahraga dan tidak memiliki cukup uang untuk beraktivitas olahraga masih tetap ada. Jarak penghasilan antara kaum manajer perempuan, profesi liberal (seperti dokter, pengacara, dan lain-lain) dengan pekerja buruh perempuan serta petani masih sangat jauh pada awal abad ke-21. Tiga perempat dari kaum perempuan di Perancis yang tidak melakukan aktivitas fisik apa pun adalah pegawai atau pekerja buruh.

Keberadaan para ‘olahragawati’  ini pun tidak merata dalam melakukan semua cabang olahraga. Secara teoretis, kaum perempuan dapat masuk ke semua cabang olahraga di Perancis hingga saat ini. Namun kenyataannya, mereka lebih memilih aktivitas olahraga untuk menjaga stamina, kebugaran, dan rekreasi; masih sedikit peminat untuk olahraga yang kompetitif atau bertanding. Berdasarkan data yang diambil dari Institut national de la statistique et des études économiques (INSEE : Institut Statistik Nasional dan studi ekonomi) hanya ada 38% perempuan di antara pemegang ijazah di semua federasi olahraga. Di antara perempuan berusia 16-24 tahun yang terdaftar di sebuah klub, 35% berkompetisi. Bandingkan dengan 69% laki-laki yang berlatih olahraga di sebuah klub.

Perbedaan lainnya menyangkut disiplin olahraga yang dipilih. Olahraga tetap dikategorikan menurut jenis kelamin : ada yang disebut olahraga “feminin”, dan ada pula yang disebut “maskulin”. Saat ini, di antara sekitar 85 federasi Olimpiade dan non-Olimpiade, sekitar empat puluh federasi tersebut memiliki kurang dari 20% perempuan. Beberapa cabang olahraga Olimpiade yang diikuti oleh 80% atau lebih perempuan adalah olahraga es, berkuda, dan senam.

Di samping itu, olahraga menembak, rugbi atau bahkan sepak bola adalah salah satu jenis olahraga yang paling kurang diminati perempuan dan kegiatan olahraga ini didominasi oleh kaum lelaki yang secara historis sangat maskulin dan baru terbuka untuk perempuan setelah tahun 1970. Di Perancis, perempuan hanya dapat berkompetisi secara resmi dalam lompat galah, lempar palu, dan lari halang rintang 3.000 pada tahun 1987. dalam Federasi Atletik.

Piala Dunia Sepakbola tahun 2019 banyak diminati kaum perempuan dan anak perempuan. Pada tahun 2022, perempuan, yang berjumlah hampir 164.000 pemain, mewakili 9% dari pemegang ijazah Federasi Sepak Bola Perancis (FFF) (Statista, “Sports and Leisure”, 2023). Bidang olahraga terakhir yang terbuka bagi perempuan adalah lompat ski, pada tahun 2013 yang dilombakan di Sochi.

Bagaimana kondisi saat masih usia dini?

Dari masa kanak-kanak hingga usia sekolah menengah dan setelahnya, anak laki-laki selalu lebih sering berolahraga dibandingkan anak perempuan, dan lebih banyak di klub dan kompetisi. Mengenai kegiatan yang dipilih, perbedaan yang diamati tetap ada seiring berjalannya waktu. Tari dan senam mendominasi masa kanak-kanak perempuan dan sepak bola dan judo mendominasi masa kanak-kanak anak laki-laki.

Olahraga yang digemari anak lelaki meliputi pertarungan, permainan kolektif di lapangan luas, di luar ruangan, atau bermain bola. Sedangkan olahraga yang disukai oleh anak perempuan adalah aktivitas individu di dalam ruangan, yang melibatkan pembelajaran untuk mengendalikan dan menjaga estetika tubuh dan pakaian. Sebuah fakta yang diketahui oleh banyak federasi adalah banyak anak perempuan yang berhenti berolahraga di masa remaja, dan kasus ini tidak terjadi pada anak laki-laki.

Masa puber atau remaja adalah masa pengenalan  ”jenis kelamin” dengan kondisi tubuh yang mulai memainkan peranan dalam “rayuan” seksualitas. Pertanyaan tentang feminitas mulai muncul di benak remaja perempuan. Sebaliknya, olahraga merupakan komponen yang bermanfaat dalam pembentukan dan penegasan kejantanan selama masa remaja pada anak laki-laki. 

Penggunaan sarana olahraga membuktikan bahwa olahraga dalam ruangan dan jalanan, bahkan di ruang khusus untuk aktivitas olahraga yang baru dibangun di kota-kota hampir seluruhnya dipakai oleh anak laki-laki, seperti taman papan luncur, stadion kota dan tempat bermain streetball lainnya (bahkan lapangan basket sering digunakan sebagai tempat bermain sepak bola). 

Oleh karena itu, persoalan yang ada di sini bukanlah mengenai keberadaan infrastruktur atau peralatan, namun mengenai rasa percaya diri. Tindakan yang dilakukan harus bertujuan agar anak perempuan “berani” melakukan olahraga yang didominasi oleh anak laki-laki (baik di luar ataupun di dalam ruangan).

Ketimpangan antara perempuan dan laki-laki dalam olahraga juga terus terjadi  berkaitan dengan posisi manajemen. Saat ini terdapat 19 presiden dari 115 federasi (termasuk 2 untuk olahraga Olimpiade) dan terdapat 37% perempuan di antara mereka yang terpilih menjadi ketua komite. Penerapan Undang-undang tahun 2014 “Untuk kesetaraan nyata antara perempuan dan laki-laki” telah membuahkan hasil meskipun banyak terjadi pelanggaran, dan hal ini dianggap sebagai sebuah kemajuan.

Keterlibatan dalam posisi manajemen/profesi olahraga juga sangat minim di kalangan perempuan. Hanya 11 perempuan dari 70 direktur teknik nasional (DTN: Directeur Techniques Nationaux) yang bekerja di tingkat manajemen teknis tertinggi dan terdapat 5% wasit perempuan untuk sepak bola, rugbi, dan hoki es (rata-rata 26%). Perlu diketahui, untuk Piala Dunia Sepak Bola Putra tahun 2022, terdapat 3 wasit perempuan di antara 105 wasit yang dipilih, dan di bidang ilmu  tehnik fisik dan olahraga (STAPS: sciences et techniques des activités physiques et sportives), rata-rata proporsi perempuan di sektor universitas ini kurang dari 30%, yang walaupun di fakultas ini mengalami peningkatan dilihat dari jumlah calon mahasiswa. Bahkan di Perancis, ada sebuah website bernama EGAL sport yang berkomitmen untuk kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam olahraga

 Sorotan media terhadap olahragawan perempuan merupakan indikator yang kuat mengenai keadaan aktivitas  olahraga feminin. Dari ribuan jam yang dicurahkan untuk olahraga setiap tahunnya di semua saluran, hanya terlihat olahraga laki-laki 74% dari keseluruhan waktu; 4,8% dari waktu media ini dikhususkan untuk olahraga bagi perempuan, dan 21% untuk kompetisi “campuran” (data diambil pada tahun 2021) (ARCOM, Analisis Bobot Siaran Kompetisi Olahraga Perempuan di Televisi antara 2018 dan 2021, 26 Januari 2023).

Setelah menunggu 20 tahun sejak Piala Dunia Sepak Bola Perempuan yang pertama (dan lebih dari 40 tahun sejak masuknya perempuan ke dalam FFF), Liputan media televisi mengenai olahraga yang dimainkan oleh perempuan ini dapat terlihat di Perancis selama Piala Dunia Sepak Bola Perempuan untuk Piala Dunia 2011 (Kampanye diluncurkan oleh “Women in Solidarity”: “On TV, no girls offside”).

Liputan media dengan melibatkan wartawan perempuan terhadap olahraga masih minim karena hanya ada 20% perempuan di kalangan wartawan untuk media audio dan TV yang meliput olahraga, dan mereka hanya berbicara selama 12% yang menempatkan kalangan ini pada peringkat terendah dari semua sektor berita (ARCOM, The Representation of Women on Television and Radio – Laporan Tahun Anggaran 2022, 6 Maret 2023).

Padahal, perempuan tetap diperlukan untuk liputan media terhadap olahragawan. Semuanya terjadi seolah-olah perempuan hanya memiliki kewajiban untuk membuktikan “feminitas” mereka dibebankan pada mereka. Pemain sepakbola, seperti atlet lainnya, mengikuti protokol sebagai berikut. Hampir semuanya berambut panjang, banyak yang memakai riasan, memakai cat kuku, memakai cincin, gelang, kalung, dll. Banyak atlet perempuan yang mengalah  pada “aturan klasik feminitas”  Atlet perempuan identic dengan pakaian ketat yang memperlihatkan tubuh dan kondisi ini diminta untuk mereka kenakan dalam kompetisi tingkat tinggi. Banyak foto dari mereka  saat berolahraga yang bersifat iklan atau “sporty”, yang menunjukkan peningkatan seksualitas dalam penampilan mereka. Jadi mereka harus tetap tampil cantik dan berdandan saat berolahraga karena mereka disorot oleh media.

Jenis atlet yang tidak banyak diliput dan tidak terlalu diekspos di media adalah atlet pelempar palu, atlet angkat besi, dan olahraga bertarung. Mereka tidak mengenal banyak model yang bisa dijadikan teladan atau panutan bagi mereka. Segala sesuatu yang terjadi dalam kompetisi olahragawan perempuan seolah-olah tidak terlihat, tidak diperlihatkan dan tidak diucapkan oleh karena itu dianggap tidak ada. Dengan demikian, fakta yang ada mengenai ketidaksetaraan gender dalam dunia olahraga sangatlah keras.

Bagaimana kita bisa menjelaskan ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam olahraga?

para politisi perempuan sering mencari-cari alasan  untuk tidak melatih fisik melalui olah raga. Salah satu alasannya adalah lokasi yang jauh ke tempat olaraga atau jumlah akses  peralatan yang kurang. Bahkan jika mereka memiliki kolam renang di depan rumah, hal ini tidak berarti keberadaannya. Padahal walaupun peralatan olah raga disediakan, hal ini tidak menyebabkan perempuan lebih tertarik untuk berolahraga.

“Alasan” lain yang sering diberikan adalah para perempuan ini adalah kurangnya waktu. Namun, sedikitnya waktu yang tersedia bukanlah suatu alasan yang terpercaya karena para pekerja dan karyawan (yang bekerja 35 jam/ minggu) dibandingkan dengan para pekerja mandiri, manajer, profesi liberal yang bekerja lebih dari 40 jam seminggu dan bekerja dalam waktu yang sangat lama dan merekalah yang paling sering berolahraga dan  jalan-jalan selain kegiatan olahraga (Menurut INSEE).

Anehnya lagi, perempuan yang “mengurus rumah tangga” – yang secara statistik memiliki lebih banyak waktu luang dibandingkan perempuan pekerja – memiliki tingkat partisipasi yang jauh lebih rendah dalam aktivitas fisik dan olahraga  dibandingkan dengan perempuan karir. Alasan sebenarnya adalah konsentrasi mereka dipusatkan untuk mengurus diri mereka sendiri sebagai kepala keluarga suami, anak, dan tugas-tugas rumah tangga sebagai orang tua. (Bersambung).