Kabar dari Perancis (5) Seputar Kecelakaan Kerja di Perancis

Oleh : Nenden Nurhayati Issartel (Koresponden, Perancis)Tri Indri Hardini (Dosen, Universitas Pendidikan Indonesia)

Menurut organisasi Eurostat (Biro Statistik Uni Eropa, berkedudukan di Luxembourg dan bertugas mengumpulkan dan menganalisis data statistik dari berbagai negara di Uni Eropa), jumlah kecelakaan kerja di Perancis sangat banyak : 733 orang terluka langsung di tempat kerja pada tahun 2019. Kecelakaan ini tidak termasuk kecelakaan pekerja dalam perjalanan, penyakit, atau kecelakaan yang tidak dilaporkan. 

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kecelakaan di tempat kerja, secara sederhana kecelakaan di tempat kerja didefinisikan sebagai kejadian tiba-tiba dan tak terduga yang menyebabkan kerusakan fisik atau psikologis seseorang selama melakukan aktivitas profesional. Hal ini tentu saja berbeda dengan penyakit akibat kerja atau kecelakaan dalam perjalanan. Beberapa hal harus diperhitungkan termasuk bentuk pekerjaan yang dilakukan pada saat kecelakaan atau waktu dan tanggal kejadian.

Sebetulnya, setiap instansi di Perancis memiliki prosedur kecelakaan kerja dan prosedurnya tampak mudah, namun untuk melakukan klaim tidaklah mudah walaupun karakterisasi suatu kecelakaan didefinisikan  atas dasar deklarasi (karyawan, PNS, majikan, dll.) pada  asuransi. Kenyataannya, prosedur ini ternyata dapat mengakibatkan penipuan atau penyalahgunaan. 

Di samping itu, asuransi terhadap kecelakaan kerja tidak wajib untuk sektor tertentu (perajin, pedagang, pengusaha swasta, dan lain-lain). Hal ini menyebabkan kekurangan atau kelemahan untuk menentukan bentuk suatu  kecelakaan kerja, dan dalam pertanggungjawaban  atau kompensasinya. Saat melaporkan kecelakaan kerja, harus dilakukan identifikasi untuk  mengetahui siapa yang bertanggung jawab terhadap kecelakaan tersebut. Dari hasil identifikasi dapat diketahui asuransi milik siapa yang harus menutupi biaya dan membayar kompensasi ”kerugian” fisik atau kesehatan korban kecelakaan.

Selain itu, meskipun sebagian besar kecelakaan fisik dapat diidentifikasi tanpa banyak kesulitan, seperti misalnya luka akibat terpotong atau terbakar, beberapa akibat dari kecelakaan, seperti misalnya sakit jantung, ternyata terabaikan. Begitu pula dengan kecelakaan yang menyebabkan kelemahan jiwa, misalnya kondisi stres kronis di mana pekerja merasa lelah secara fisik, mental, dan emosional gara-gara pekerjaannya, atau dikenal dengan istilah ”burn out” (dalam bahasa Perancis maupun Inggris, atau dalam bahasa Perancis dikenal juga dengan istilah L’épuisement professionnel).

Bagaimana dengan kasus bunuh diri karena “burn out” di Perancis? bagaimana hukumnya?  Laporan terbaru dari “Vigilan’S” (layanan yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan Perancis untuk melakukan pemantauan dan kontak ulang untuk orang-orang yang mencoba bunuh diri, dan tujuannya adalah untuk mencegah percobaan bunuh diri kembali) menunjukkan bahwa pada ternyata adanya hubungan antara pekerjaan dan bunuh diri.

Walaupun banyaknya  aksi bunuh diri dilakukan di tempat kerja, aksi bunuh diri ini lebih dikaitkan dengan kerapuhan individu daripada penyebab profesional. Namun demikian penelitian terbaru menunjukkan bahwa beban kerja yang berlebihan dan kondisi kerja yang menurun dapat merapuhkan kejiwaan seseorang. Kondisi kejiwaan pekerja yang disebabkan oleh pekerjaannya ini telah menjadi kenyataan yang tersembunyi dan tidak pernah disebut-sebut ketika dibahas tentang kecelakaan kerja. Di luar kekhususan ini, sektor yang paling berisiko selama beberapa dekade ini adalah dalam bidang konstruksi, pertanian, industri ekstraktif, pengerjaan kayu, transportasi, dan pergudangan.

Patut diketahui bahwa angka dan data dari Eurostat (atau sumber lain) dijadikan acuan ukuran dalam masalah ini, baik untuk kecelakaan fatal maupun non-fatal, dan negara Perancis adalah negara yang memiliki korban terbanyak di Eropa. Jadi, untuk semua kecelakaan serius, perusahaan atau majikan wajib setidaknya memberi 4 hari libur kerja pada pekerja yang tertimpa kecelakaan. Di Perancis terdapat 3.500 orang yang cedera di antara 100.000 karyawan, yaitu 3,5% per tahun, yang merupakan dua kali lebih banyak untuk UE secara keseluruhan (1,6%). 

Perlu ditambahkan bahwa menurut survei ESENER (European Survey of Enterprises on New and Emerging Risks) yang dilakukan pada tahun 2019, 55% pemberi kerja di Perancis mengatakan bahwa mereka secara teratur menilai dan mengevaluasi risiko pekerjaan perusahaan mereka, sedangkan  evaluasi ini dilakukan  rata-rata 75% di negara-negara lain di Uni Eropa. Meskipun Undang-undang tahun 1989 mewajibkan evaluasi adanya kemungkinan kecelakaan dalam pekerjaan, dalam praktiknya masih ada kekurangan dalam  pelatihan pegawai  dan penanggulangan risiko yang terkait kecelakaan dalam pekerjaan.

Lebih mengejutkan lagi, menurut laporan akun Jaminan Sosial 2021, setengah dari kecelakaan kerja tidak diakui dan dianggap sebagai kecelakaan kerja di Perancis. Pihak berwenang menganggap banyak perusahaan melakukan tindak ”kamuflase” atau menutup-nutupi, yang dilakukan di  semua sektor ekonomi, dan Pemerintah Perancis memiliki kesulitan untuk menanggulangi masalah ini (dikenal dengan istilah “Fraud”). Berikut ini adalah beberapa contoh kasus yang terjadi.

  • Memperkerjakan  subkontraktor (misalnya perusahaan asing atau pekerja tanpa izin tinggal).
  • Non-deklarasi, yaitu deklarasi yang tidak memperhitungkan pemberhentian kerja, yaitu pernyataan tanggung jawab sebagai majikan yang menyelewengkan laporan supaya tidak ada penyelidikan atau tidak membayar uang pesangon.
  • Menyatakan kecelakaan kerja sebagai kecelakaan perjalanan.
  • Melakukan pemecatan korban dan memberi ancaman, dan lain-lain.

Menghadapi situasi tersebut, Pemerintah telah memasukkan rencana aksi Kecelakaan kerja yang berat atau serius serta  fatal, yang disusun dalam Rencana ATGM : Accidents du Travail Graves et Mortels) dalam Rencana Kesehatan Kerja periode tahun 2022-2025.  Dalam Rencana ini tidak ada penambahan anggaran tambahan untuk memperbaiki masalah ini.  Rencana  Kesehatan ini berfokus pada penilaian risiko, dan pencegahan, terutama yang berkaitan dengan “populasi rentan” (karyawan lanjut usia, pekerja magang, pekerja sementara, dll.).

Di sisi lain, belum ada usaha perombakan struktur penyebab terjadinya kasus  ini. Selain itu, Peraturan Pemerintah tahun 2017 menghapus Komite Kesehatan, Keselamatan, dan Kondisi Kerja (CHSCT: Les Comités d’Hygiène, de Sécurité et des Conditions de Travail) padahal Komite ini yang memiliki daftar pegawai, dan saat ini daftar pegawai ini masih dalam proses mentransferkan data ke Comité social et économique(CSE), sebuah badan yang dibentuk pemerintahan Macron untuk menggantikan CHSCT. Hal ini menjadi kondisi yang ironis karena perlindungan terhadap hak asasi manusia di Perancis sangat dijunjung tinggi. Setiap keluhan dan perlakuan yang tidak wajar bisa menjadi senjata karena bisa langsung melibatkan pengadilan. Jam kerja 35 jam seminggu benar-benar harus diterapkan. Pekerja dapat mengajukan lembur hingga 38 jam dan untuk jenis kerja yang memiliki Convention collective (kesepakatan bersama) dapat mengajukan lembur hingga 42 jam ( misalnya pekerja di restoran maupun hotel, atau pekerja di bidang turisme). Seminggu sekali, pekerja wajib memiliki hari libur setidaknya sehari seminggu. Kadang-kadang pekerja yang memiliki jam kerja yang tinggi, diwajibkan mengambil RTT ( Reduction du Temps de Travail) karena dengan lembur 42 jam pun masih terlalu banyak jam kerja. 

Situasi ini membuat banyak sekali perusahaan Perancis melakukan fraud dengan memperkerjakan imigran tanpa izin tinggal dan tidak didaftarkan ke Urssaf (Union de recouvrement des cotisations de sécurité sociale et d’allocations familiales, sebuah serikat untuk pengumpulan iuran jaminan sosial dan tunjangan keluarga) dan pekerja ini dibayar secara gelap dan tanpa perlindungan sosial dan pensiun atau kompensasi pemberhentian kerja.

Untuk hal-hal yang berkenaan dengan pekerja malam hari (bekerja dari pukul 21.00 hingga pukul 7.00 pagi dianggap sebagai pekerjaan malam), pekerja tidak boleh bekerja tanpa henti selama 9 jam per hari. Jika bekerja 12 minggu tanpa henti, selama seminggu, pekerja di malam hari hanya boleh bekerja selama 40 jam. Namun pekerja tersebut boleh menolak diperkerjakan pada malam hari dengan alasan mengurus anak atau keharusan mengurus keluarga.

Bagaimana dengan kondisi di Indonesia?