Negosiasi Interkultural di Panggung Virtual

Oleh Juju Masunah

Di tahun kedua pandemi covid-19, seni pertunjukan khususnya tari menemukan bentuk yang baru dalam pemanggungan. Panggung virtual adalah sebuah ruang maya yang dihubungkan oleh teknologi melalui koneksi internet. Image visual muncul dalam bentuk dua dimensi atau tiga dimensi melalui perangkat komputer atau handphone. Penari atau seniman tampil di ruang-ruang privat di rumah, di dapur, di alam terbuka, atau di panggung, baik langsung atau direkam terlebih dahulu kemudian ditayangkan melalui livestreaming melalui zoom, channel youtube, atau televisi.  Virtual Reality (VR) Event dan Virtual Event adalah nama yang sering digunakan dalam konteks seni pertunjukan virtual ini. Apresiator atau penonton dapat menyaksikan dan menikmati seni pertunjukan ini di ruang-ruang privat dan dimanapun berada asalkan ada koneksi internet. Inilah salah satu keunggulan seni virtual dapat menghemat ruang, waktu, dan biaya.

Dalam sepekan penulis menyaksikan tiga pertunjukan tari di panggung virtual yaitu sebuah Festival Tahunan diGyeryongsan Mountain International Dance Festival (GMIDF) di Korea Selatan tanggal 17 Oktober 2021, Bandung Isola Performing Arts Festival (BIPAF) ke-5 tanggal 20 Oktober 2021, dan Pegelaran seni virtual pada malam Dies Natalis UPI ke-67.  Koreografer Ayo Sunaryo, Dosen Prodi Pendidikan Tari FPSD UPI menampilkan karya “Sanghyang Awi” dalam GMIDF ke-26 di Korea Selatan yang ditayangkan melalui livestreaming tanggal 17 Oktober 2021. “Shanghyang Awi” dipentaskan di Amphitheater UPI di Bandung secara langsung dan ditayangkan secara live melalui zoom dan ditonton oleh penonton festival di Korea Selatan dan beberapa negara sebagai peserta festival antara lain Jepang, Russia, Pakistan, China, dan India.

Berbeda dengan GMIDF di Korea Selatan, BIPAF ke-5 ditayangkan secara virtual pada tanggal 20 Oktober 2021. Pre-recording merupakan strategi penyelenggara untuk panggung virtual di BIPAF ke-5. Terdapat dua teknik pre-recording yaitu konsep panggung proscenium dan site specific dengan editing yang menarik. Delapan karya yang ditampilkan di BIPAF ke-5 secara pre-recording menarik perhatian penonton yang hadir melalui zoom dan melalui youtube livestreaming. Buyer dari Surakarta, yaitu  Direktur Solo International Performing Arts (SIPA) Dra. Irawati Kusumorasri, M.Sn., dan dari Korea Selatan yaitu Direktur GMIDF tertarik kepada karya yang ditampilkan di BIPAF ini.

Pertunjukan yang menarik lainnya adalah Panggung Virtual dalam rangkaian Dies Natalis UPI ke-67 pada tanggal 19 Oktober 2021. Pada malam ini menampilkan beragam sajian pertunjukan dari berbagai fakultas, baik disajikan oleh mahasiswa, dosen, Wakil Rektor dan bahkan  Rektor UPI, Prof. Dr. M. Solehuddin, M.A., M.Pd. yang tampil menyanyikan lagu ciptaannya. Ada satu tampilan yang berbeda pada malam Dies Natalis UPI ke-67 ini yaitu karya tari digital reality berjudul A-Forest.  A-Forest menggunakan teknik pemanggungan yang unik, berbeda dengan di GMIDF ataupun BIPAF.

Teknik pemanggungan A-Forest menggunakan telepresence technology (yang digunakan Musion 3 D TechCompany dari U.K.) dan Pepper’s ghost technology.  Teknik pemanggungan ini disebut realitas teleholografis oleh Martinus Miroto asal Jogjakarta.  Miroto menggunakan teknik ini pertama kali pada tahun 2013 untuk karya “Body in Between.” Dalam A-Forest, penari teleholografis Nahoon Park (Korea Selatan) dan Ikko Suzuki (Tokyo, Jepang) dihadirkan langsung melalui zoom dan diproyeksikan melalui kaca temper dan pencahayaan dengan proyektor, dipadu dengan media visual penebangan pohon dan hutan yang terbakar yang diproyeksikan secara digital. Teknik pemanggungan A-Forest dapat menghadirkan penari dari Korea Selatan dan Jepang secara langsung bersamaan dengan sepuluh penari bermasker mahasiswa UPI.

Sepuluh penari secara langsung menari di panggung silih berganti dengan gerakan cepat dan kuat penuh energi yang diawali oleh Wening Galih Lasminingrat, Egi Rifaldi, Tazkya Harini Nurfadillah, Uus Yusuf Rizal, M. Rizki Haeruman, Rustam, M. Bangun, Prasetyo, M. Rizky Abdilah, Rega Febria, Sekar Ali, dan Dilan Ardiansyah. Koreografi ditata oleh Ayo Sunaryo dan Miroto, diiringi musik garapan Iwan Gunawan. Idiom musik tradisi yang dikolaborasi dengan musik digital ciptaan komposer Iwan Gunawan sangat pas dengan suasana dan gerak tari A-Forest di panggung virtual.

Terdapat sedikit catatan dalam karya A-Forest ini yaitu kehadiran penari teleholografis, yang menari langsung di rumah masing-masing di hadapan laptop harus bernegosiasi dengan ruang dan waktu. Jarak kamera laptop dan green screen yang dipasang di belakang penari sangat membatasi ruang gerak penari, untuk diproyeksikan pada kaca temper yang berukuran 2, 4 M  x 2,6 M dengan ketebalan 12 mili. Kaca temper berdiri statis dalam kemiringan 45 derajat di atas panggung yang menerima proyeksi visual image penari. Nahoon Park hanya menampilkan gerak nonlokomotor di tempat. Jika Nahoon bergerak bebas, maka bagian-bagian badan tidak akan terekam kamera. Nahoon menari tunggal selama 2,5 menit melakukan gerak tangan, melilitkan badan, dan mengacungkan kaki ke depan tanpa keluar dari ukuran green screen, kemudian Nahoon menari lagi bersama penari yang ada di panggung. Begitu juga seorang penari dari Jepang, Ikko Suzuki, hadir dengan gaun kuning sekitar 2 menit menari berpasangan dengan Tazkya yang hadir di panggung secara langsung dan bergerak bebas. Di bagian akhir Ikko dan Nahoon tampil kembali beberapa detik.

Kontras gerak antara penari teleholografis yang hadir secara virtual dan penari realitas yang bergerak dengan bebas, gesit, penuh energi, berlari, melompat, berputar, dengan  secara tunggal, berdua, bertiga, berlima, dengan silih berganti di atas panggung berukuran 8, 4 meter dan panjang 10, 4 meter memberi kesan tersendiri. Penari teleholografis Nahoon Park dan Ikko Suzuki betul-betul bernegosiasi dan patuh kepada sang sutradara dan teknologi yang mengatur panggung virtual. Negosiasi interkultural di panggung virtual ini berhasil memukau penonton yang hadir secara luring terbatas dan via zoom atau channel youtube selama 24 menit. Teknik pemanggungan menggunakan telepresence technology, holografis, pepper’s ghost technology penting dikembangkan di Indonesia sejalan dengan perkembangan ilmu seni dan pendidikan seni serta teknology. Juga, untuk menjalin kolaborasi interkultural yang lebih luas. Kolaborasi interkultural di panggung virtual ini perlu dilanjutkan dengan mengundang penari dari beberapa negara, namun demikian perlu didukung dengan pendanaan yang memadai. Produksi A-Forest dibantu pendanaannya dari dana riset UPI yang diketuai oleh Dr. phil. Yudi Sukmayadi, M.Pd.