SPPKS UPI Gelar Public Lecture and Book Launching

Bandung, UPI

Unit kerja Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (SPPKS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menyelenggarakan Public Lecture and Book Launching: Systemic Silencing; Activism, Memory, and Sexual Violence in Indonesia. Tampil sebagai pemateri, Professor in Southeast Asian History Historical and Philosophical Studies, Prof. Kate McGregor dari The University of Melbourne. Kegiatan berlangsung di Auditorium Lt. 3 Gedung LPPM Kampus UPI Jalan Dr. Setiabudhi Nomor 229 Bandung, Senin (6/11/2023), dipandu oleh Hani Yulindrasari, S.Psi., M. Gendst., Ph.D., sebagai moderator.

Dalam pembahasannya, Prof. Kate McGregor mengungkapkan tentang bagaimana pengalaman wanita Indonesia dalam menghadapi kekerasan sejak zaman Jepang. Kemudian kenapa aktivisme di Indonesia agak terlambat muncul dibandingkan di negara lain, dan apa hambatan untuk aktivisme di Indonesia.

Ditegaskan Prof. Kate McGregor,”Penting menangkap konteks yang lebih besar terutama dalam isu Gender, basis dari aktivisme ini dan bagaimana kita bisa bergabung dalam aktivisme internasional dalam membangun kekuatan. Bagaimana perkembangan aktivisme ini, ada ruang untuk membicarakan hal seperti ini. Bagaimana posisi aktivisme ini sendiri, apa yang didapat dan apa yang dipelajari. Kita perlu meningkatkan simpati bagi mereka yang penyintas.”

Sistem wanita penghibur, adalah suatu sistem yang disengaja dan terencana. Sesuai dokumen-dokumen Jepang, sebelum masuk Indonesia merencanakan melaksanakan ini. Sistemik secara formal mulai diimplementasi di Cina 1966. Mereka menyatakan dari tentara perlu kesempatan seks, mereka ingin menghindari tentara terkena penyakit seksual.

Khususnya perempuan di kelas bawah terjebak kawin paksa atau sipil Jepang. Banyak dari daerah Indonesia dan sekitarnya yang dibawa ke Jawa untuk jadi wanita penghibur.

Sistem nyai jadi sistem patriarki di Indonesia dimana wanita Indonesia diminta tidur bersama dan tinggal bersama laki-laki Belanda. Selain itu, ada sistem Patrarki yang lokal. Perempuan sering diberikan sebagai hadiah bagi keluarga yang lebih tinggi. Ada keterkaitan wanita sebagai gender di Indonesia. Di Indonesia beberapa daerah terdapat “comfort station.” Dari beberapa arsip yang dikumpulkan Belanda dari Jepang menyebutkan banyak kesaksian dan tidak ada kesaksian dari wanita itu sendiri, karen banyaknya perempuan tidak dipercaya.

Perempuan yang dipekerjakan paksa dianggap sebagai resources. Selama perang perempuan-perempuan sebagai pekerja seks dipaksa, contohnya Suharti sedang berjalan lalu di tahan di Hotel di comfort station. Ada juga yang ditipu, tentara Jepang menawrkan pekerjaan seperti perawat. Ada 200 perempuan Belanda yang diambil drai camp tahanan yang juga diambil.

Tentara Jepang membawa para perempuan aga jauh supaya jauh dari perlindungan. Setelah masuk mereka mengalami perkosaan dan kekerasan fisik lainnya. Ketika hamil mereka dipaksa digugurkan, tidak mendapat perawatan medis yang cukup, dibunuh. Sebagian banyak perempuan dipaksa menikah.

Setelah perang mereka menerima stigma yang besar bahwa perempuan bersalah karena tidak melindungi diri, dan tidak menerima simpati, serta dianggap aib. Hal ini dalam posisi sulit, dan tidak berani cerita. Beberapa perempuan melahirkan anak dari perkosaan ini, mengakibatkannya dalam posisi sulit. Ada juga yang menjadi sejahtera.

Tidak ada progress dari pasca perang ini, di tahun 1968 semua hal dianggap selesai. Wanita tidak menjadi fokus, karena kasus kekerasan seksual dianggap hal yang normal. Namun orang Indonesia tidak lupa.

Terkait aktivisme perempuan di Indonesia, Kim Mak Sun tahun 1991, dia menceritakan pernah mengalami. Di Korea tahun 1977 terdapat Ewha Womans University yang mempelajari gender, hak asasi manusia, hak asasi perempuan.

Di Jepang banyak refleksi apa yang terjadi pada tentara jepang untuk menghadapi kekerasan HAM gerakan perempuan di Jepang, mereka mulai mempertanyakan peran perempuan di relasi Jepang dengan Negara lain. Waktu itu mereka melihat eksploitasi perempuan Korea dan Thailand. Banyak stigma dan tidak adanya simpati. Di Indonesia Tuminah terinspirasi Kim hak Sun namun tidak mendapat banyak simpati dan hanya ada di dua surat kabar. DI Indonesia baru secara formal ada pada 1993.

Mardiyem dan Suharti diajak Konjimura ke Jepang dibantu LBH di Indonesia pada 1996 dan membangun pemikiran bahwa kasus perkosaan bukan salah mereka melainkan tentara Jepang. Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa perempuan penyintas menerima uang secara individu, sehingga lebih baik dibuat panti jompo secara general. Mereka merasa tidak dihargai sebagai perempuan, dan ada satu buku “derita paksa”. Terdapat keraguan juga dari pemerintah Indonesia terhadap Jepang. Di Indonesia sikap masa terhadap masa pendudukan Jepang tidak sekritis di Korea.  (ed/dodiangga)