Sumardianto, Dosen Instruktur Senam

Bandung, UPI

Pagi itu tak seperti biasa. Sosoknya yang selalu dinanti belum jua terlihat. Kerumunan para wanita yang awalnya tak seberapa, lambat-laun mulai memenuhi tepian lapangan itu. Lapangan yang hanya bisa dinikmati setiap hari Jumat dan Minggu pagi. Lantunan musik masih mencoba untuk meyakinkan. Diterpa kegamangan yang tak kunjung berhenti, akhirnya muncullah secerca harapan.

Layaknya bulan yang menyinari gelapnya malam, sosok itu terlihat melangkah cepat. Tahu kalau dia pasti dinanti dan diharapkan kedatangannya. Seperti magnet yang berdaya tarik sangat dahsyat, kedatangannya membuat kehampaan itu menunjukan denyutnya. Lapangan yang sedari tadi membisu, kini terdengar amat bising dipenuhi derap langkah. Kerumunan yang awalnya hanya memenuhi tepian lapangan, memberanikan diri bergerak ke bagian yang lebih dalam. Itulah kekuatan sosok yang dinanti-nanti pagi itu.

Sosok itu tidak lain adalah seorang laki-laki yang tidak lagi muda. Dia bernama Sumardianto. Seorang instruktur senam sekaligus pengajar di Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Sosok yang selalu berdiri lebih tinggi di depan setiap orang. Sosok yang selalu dipatuhi dan ditaati. Sosok yang menjadi panutan setiap orang di lapangan. Sosok yang tak banyak orang mengenalnya tapi tetap saja ditunggu.2

Pria berpenampilan sederhana itu telah mengabdikan hidupnya menjadi seorang instruktur senam sejak tahun 1984 sampai saat ini. Dan kemungkinan masih akan berlanjut entah sampai kapan. Hampir setengah usianya didedikasikan menjadi seorang instruktur senam yang merupakan program pengabdian masyarakat dari UPI. Tapi siapa yang tahu jika sosok yang senang berbagi ini memiliki begitu banyak keluh-kesah. Dibalik banyaknya keluhan itu, dia selalu membumbungkan senyuman dihadapan masyarakat yang senantiasa menantinya di hari Jumat dan Minggu. Tak pernah sekalipun terpasang ekspresi wajah yang penuh dengan keluhan-keluhan yang dipendam selama ini. Disetiap kesempatan, dia selalu memberikan yang terbaik bagi masyarakat.

Tak mau membuang waktu lagi, dia bergegas menyiapkan peralatannya. Dibantu tiga orang sukarelawan, dia mengangkat panggung mininya dan segera berada diposisi yang seharusnya. Diawali dengan doa dan pemeriksaan denyut nadi, Sumardianto mengisyaratkan senam akan segera dimulai. Dengan topi hitam yang menjadi ciri khasnya, pria berbaju oranye itu memutar otak merangkai gerakan senam. Sesekali dia menggapai botol minuman di depannya. Sesekali pula dia berhenti sejenak untuk mengusap peluhnya yang sedari tadi keluar tanpa henti. Satu jam lebih dia habiskan untuk menjadi instruktur senam di pagi itu.

Mencoba mengatur napasnya yang agak tersengal, Sumardianto merapatkan tubuhnya ke sudut gedung Gymnasium. Dengan sebotol air mineral dan handuk kecil melingkar dilehernya, dia tetap tersenyum ramah. Meski lelah mendera tubuh rentanya itu, dia masih mau berbagi dengan sesamanya. Tubuhnya mungkin tak sekuat tubuh masa mudanya dulu. Tapi semangatnya untuk terus berbagi dan berguna bagi sesamanya menjadikannya sosok yang selalu berdiri tegap di atas singgasana sederhananya itu.1

Satu hal yang membuatnya begitu khawatir adalah siapa yang akan melanjutkan apa yang selama ini menjadi kebahagiaannya. Selama ini yang menjadi harapannya adalah anak didiknya agar mau menggantikannya suatu saat nanti. Tapi, iming-iming uang membuat mereka terlena dan pergi menjauh dari kegiatan yang tidak menghasilkan kekayaan bagi mereka. Hanya kenangan manis-pahit yang menjadikannya kuat. Hanya gelak tawa masyarakat yang menjadikannya bisa berdiri sampai saat ini. Bukan kekayaan yang dicari, bukan juga kemahsyuran yang ingin didapat. Hanya niat ikhlas untuk berbagi dan berbuat baik selama hidupnya.

Siapa sangka di balik senyuman itu tersimpan kekhawatiran. Siapa sangka dibalik teriakan-teriakan penyemangat itu tersimpan hati yang menjerit meminta pertolongan. Siapa sangka di balik alunan musik itu tersimpan nyanyian kepedihan. Siapa sangka dibalik gerakan penuh energi itu tersimpan tubuh yang kelelahan. Siapa sangka semua yang terlihat baik-baik saja itu menyimpan hal yang tidak baik-baik saja. Hanya dia yang tahu itu semua. (Ira Susanti, Mahasiswa Ilmu Komunikasi FPIPS UPI)