Kabar dari Perancis (2) Unjuk Rasa dan Pemogokan di Perancis

Nenden Nurhayati Issartel (Koresponden, Perancis) & Tri Indri Hardini (Dosen, Universitas Pendidikan Indonesia)

Semua orang pasti mengenal negara Perancis, negara yang kemarin tanggal 14 Juli baru saja merayakan Hari Kemerdekaannya, dan juga terkenal dengan ibu kotanya yaitu Paris, kota yang terletak di urutan teratas sebagai kota turistik yang paling terkenal, paling romantis, dan paling banyak dikunjungi di dunia. Namun beberapa bulan terakhir ini, seperti juga kota-kota besar lainnya di Perancis, terjadi pemogokan para pekerja di segala bidang untuk menolak dan mencegah jatuhnya keputusan pemerintah tentang Hukum Baru Pensiun.

Beberapa organisasi pekerja (persekutuan pekerja dan buruh) turun ke jalan, juga diikuti pekerja individual dan bahkan mahasiswa serta pensiunan yang meneriakkan ketidaksetujuan mereka atas hukum baru yang ditawarkan pemerintahan Perancis, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Madame Elisabeth Borne tentang penambahan usia aktif dari 62 tahun ke 64 tahun ( saat ini usia pensiun yang sekarang diterapkan adalah 62 tahun). Alasannya adalah semakin orang bekerja lama, semakin banyak uang yang terkumpul dari pajak pendapatan dan beban Pemerintah Perancis untuk membayar uang pensiun kepada pensiunan semakin berkurang. Alasan lainnya mengapa hukum ini diterapkan adalah karena usia hidup orang Perancis semakin tinggi. Semakin lama orang tua (pensiunan) hidup, maka  Pemerintah Perancis terbebani untuk membayar gaji pensiun mereka. Dengan demikian, agar dapat menjamin tersedianya uang untuk mengaji para pensiunan, perlu dilakukan penambahan usia aktif.

Warga Perancis terkenal sangat peka terhadap segala keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah.  Pemogokan (grève) dan unjuk rasa (manifestation) sering dilakukan dan ditunjukkan dengan nada yang keras di lahan terbuka ( di jalan-jalan utama dan alun-alun) di hampir semua kota besar di Perancis ( Paris, Marseille, Clérmont-Ferrand, dll). Unjuk rasa tersebut terkadang tidak berjalan dengan damai karena di antara massa yang turun ke jalan, baik yang di bawah bendera organisasi pekerja CGT ( Confédération générale du travail) dan comité social et économique / CSE), atau organisasi lainnya maupun yang tidak terikat pada organisasi apapun, terdapat sejumlah oknum (yang bahkan di antara mereka merupakan perusak profesional yang dibayar oleh pihak yang berkepentingan untuk merusak atau memprovokasi. Mereka disebut sebagai « Black blocs ».

Kekacauan di negara Perancis ini berlangsung terus-menerus dan menjadi pemberitaan utama di koran maupun TV Perancis. Walaupun Senat (seperti DPR dan MPR) tidak menyetujui, Pemerintah di bawah kepemimpinan Emmanuel Macron,   terus bersikeras untuk menerapkan dan mensahkan peraturan baru tentang batas usia pensiun dari 62 tahun menjadi 64 tahun bahkan dengan menggunakan Paragraf ketiga pasal 49 Konstitusi Republik Prancis Kelima, yang biasa disebut 49.3, yaitu hak veto pemerintah untuk mengambil keputusan tanpa persetujuan Senat. Hukum ini merupakan « senjata yang sangat kuat » untuk kestabilan pemerintahan.

Unjuk rasa tetap berlangsung walaupun polisi hadir untuk melindungi masyarakat serta daerah-daerah rawan. Polisi tidak bisa bertindak keras atau menyerang ulang « les black blocs ». Mereka berusaha keras untuk menahan dan meminimalisasi kehancuran dari serbuan « black blocs » ini tanpa bisa menyerang balik penyerang mereka karena Perancis adalah negara demokratis karena penduduknya boleh berunjuk rasa dan Perancis adalah sebuah negara yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan hak asasi manusia. Pada perostiwa seperti ini, aparat keamanan seperti polisi tidak berdaya dan terutama tidak berhak untuk menganiaya seseorang. 

Unjuk rasa dan pemogokan di Perancis ini begitu sering terjadi. Orang lebih cenderung menganggap gerakan massa ini sebagai salah satu budaya orang Perancis. Jika kita memantau sejarah gerakan unjuk rasa ini, mari kita kembali 232 tahun yang lalu saat Hukum Chapelier (La loi Le Chapelier)  di tahun 1791  melarang koalisi tenaga kerja, lalu selanjutnya pada tahun 1810 Napoleon Bonaparte melarang dengan keras koalisi para buruh. Walaupun tekanan dan ancaman Pemerintah yang menyebabkan ratusan orang meninggal dunia, orang Perancis tetap turun ke jalan untuk protes, terutama saat peristiwa pemberontakan Les Canuts “La révolte des canuts” di Lyon, Perancis pada tahun 1831-1834, yaitu peristiwa unjuk rasa saat pekerja pabrik kain sutera mengeluh tentang kondisi kerja yang sulit karena harga kain sutera yang turun drastis dan menyebabkan gaji mereka sangat rendah. 

Pada tahun 1864 hukum Ollivier (Loi Ollivier) menghapus hukum yang menganggap koalisi sebagai pelanggaran. Walaupun demikian, kondisi kerja tetap buruk dan mobilisasi massa sulit diorganisasi. Pada tahun 1884, mobilisasi massa yang menonjol adalah ‘Pemogokan Besar Para Penambang Anzin (La grande grève des mineurs d’Anzin) dam kemudian aksi mogok ini dijadikan  simbol pemogokan di kalangan buruh yang berhasil menggalang 10000 pemogok selama 56 hari. Mereka menginginkan perbaikan kondisi kerja dan kenaikan gaji. Setelah peristiwa sosial ini,  beberapa hukum mengenai hak protes dan berunjuk rasa dikeluarkan. Pada tahun 1946 lahir Konstitusi Perancis tanggal 27 Oktober 1946 (Constitution française du 27 octobre 1946). Konstitusi ini memberi nilai konstitusional pada prinsip-prinsip yang dianggap “sangat diperlukan” pada saat itu yaitu : kesetaraan gender, hak suaka, hak dan kebebasan berserikat,hak mogok, hak atas pekerjaan, non-diskriminasi di tempat kerja, dan hak untuk berpartisipasi dalam penentuan kondisi kerja bersama dan dalam manajemen perusahaan. Dengan demikian, hak pemogokan menjadi hak asasi  bagi seluruh orang Perancis termasuk pegawai negeri.

Selain peristiwa-peristiwa di atas, peristiwa di bulan Mei 1968 atau dikenal dengan Peristiwa Mei-Juni 1968, atau lebih singkatnya 68 Mei, merujuk pada peristiwa demonstrasi besar terjadi di Perancis, serta pemogokan umum dan pemogokan liar, disertai dengan pendudukan pabrik dan gedung administrasi, generalisasi forum diskusi dan proposal sosial dan politik, kelumpuhan sistem ekonomi dan administrasi yang hampir lengkap, dan garis besar organisasi hubungan masyarakat egaliter di seluruh Prancis. Sekitar 10 juta orang pelajar dan buruh turun ke jalan untuk menuntut pemerintah menaikkan gaji minimal dan pembubaran Majelis Nasional.

Namun demikian, ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar aksi pemogokan dapat diakui, yaitu sebagai berikut.  

  1. Pemberhentian kerja saat mogok harus seharian penuh, tidak boleh setengah hari bekerja, dan sisanya melakukan pemogokan, dan saat kembali bekerja, aktivitas bekerja berjalan seperti biasa, tidak memperlambat produksi kerja.
  2. Pemberhentian kerja bersifat kolektif : seorang pekerja tidak bisa melakukan aksi mogok kecuali didampingi mobilisasi nasional.
  3. Klaim atau alasan aksi mogok harus diberitahukan, misalnya untuk meminta kenaikan gaji atau memperbaiki kondisi kerja.

Jika ketiga syarat tersebut tidak dipenuhi, maka aksi mogok ini tidak diakui dan pekerja akan dikenakan sanksi. Selain itu, para pegawai swasta bisa melakukan aksi mogok kapan saja, sedangkan bagi pegawai negeri, mereka harus memberitahu terlebih dahulu 5 hari sebelumnya.

Di Perancis, pada hari Jumat 14 April 2023, Dewan Konstitusi  telah mengesahkan bagian utama dari reformasi pensiun, termasuk penundaan usia legal masa pensiun menjadi 64 tahun. Mulai 1 September 2023, baru akan mulai diberlakukan, untuk tertanggung yang tunduk pada aturan umum, yang usia saat ini ditetapkan pada 62 tahun, dinaikkan menjadi 62 tahun 3 bulan bagi orang yang lahir antara 1 September 1961 dan 31 Desember 1961, dan harus bertambah seperempat per tahun kelahiran, yaitu usia 64 tahun bagi orang yang lahir mulai 1 Januari 1968.