Kabar dari Perancis (37) : Pendidikan Kaum Perempuan di Perancis (2)

Oleh : Nenden Nurhayati Issartel (Koresponden, Perancis)

Tri Indri Hardini (Dosen, Universitas Pendidikan Indonesia)

Dalam tulisan kami sebelumnya dibahas tentang delapan tahun penting dalam sejarah pendidikan perempuan di Perancis. Untuk mengetahui lebih jauh tempat perempuan dalam pendidikan di dunia, tulisan ini akan membahas laporan yang disampaikan oleh UNESCO.

Kesetaraan gender adalah prioritas UNESCO. Di  seluruh dunia terdapat 122 juta anak perempuan dan 128 juta anak laki-laki yang putus sekolah. Perempuan mewakili hampir 2/3 orang dewasa yang tidak bisa membaca.

UNESCO menampilkan kesetaraan gender dalam semua sistem pendidikannya, baik dalam penerimaan, isi, konteks dan praktik pengajaran dan cara belajar serta hasil belajarnya. Peluang untuk hidup dan bekerja juga disoroti. 

Strategi UNESCO untuk kesetaraan gender disalurkan melalui Pendidikan (2019-2025) yang bertujuan untuk melakukan transformasi sistemik yaitu manfaat yang sama dirasakan oleh semua siswa (perempuan dan lelaki) dalam tiga bidang utama: pengumpulan data yang lebih baik untuk menjadi dasar tindakan atau keputusan yang harus diambil, menetapkan kerangka hukum dan kebijakan yang lebih baik untuk memajukan penerimaan hak-hak , dan menerapkan kebijakan yang lebih baik dalam praktik belajar  dan mengajar untuk membudaya.

Tindakan UNESCO dalam mendukung pendidikan dan kesetaraan gender menghadapi situasi pendidikan dan kepincangan diskriminasi antara perempuan dan laki-laki di dunia.

Meskipun ada kemajuan yang dicapai, Institut Statistik UNESCO melaporkan bahwa hampir 250 juta anak-anak dan remaja putus sekolah, atau 122 juta anak perempuan dan 128 juta anak laki-laki. Selain itu, perempuan masih mewakili hampir dua pertiga dari 763 juta orang dewasa yang tidak memiliki keterampilan dasar membaca. Kemiskinan, isolasi geografis, status minoritas, kecacatan, pernikahan dini dan kehamilan, kekerasan berbasis gender dan sikap tradisional mengenai status dan peran perempuan dan laki-laki adalah merupakan beberapa hambatan yang menghalangi anak-anak dan remaja untuk mendapatkan hak mereka dalam berpartisipasi dalam pembangunan, menyelesaikan dan mendapatkan manfaat dari pendidikan.

Kesetaraan gender menjadi prioritas 

Kesetaraan gender adalah prioritas  UNESCO. Mandat utamanya adalah mendorong Agenda Pendidikan 2030, yang menyadari bahwa kesetaraan gender memerlukan pendekatan yang “menjamin bahwa  perempuan dan laki-laki, (anak dan dewasa) tidak hanya memiliki akses terhadap siklus pendidikan dan menyelesaikannya, namun juga menjadi mandiri dalam pendidikan dan melalui pendidikan”. 

Menurut  UNESCO kekuatan transformatif pendidikan adalah mewujudkan dunia yang lebih adil, sejahtera, dan merengkuh  semua orang tak terkecuali. 

Pendidikan yang transformatif dalam kesetaraan gender membuka potensi pelajar dalam segala keberagamannya, membantu mengakhiri norma-norma ”aneh”(misalnya istilah tempat perempuan adalah di dapur, dll), sikap dan praktik gender yang berbahaya (lelaki yang merasa berhak memukul perempuan, misalnya, ) serta mentransformasi institusi-institusi untuk membuat masyarakat yang adil, setara, dan merengkuh semua orang (inclusives). 

Pendidikan kaum perempuan ( anak dan dewasa)  memberi kekuatan pada perempuan yang berkat pendidikan bisa  menyelamatkan nyawa karena pendidikan membuat pikiran jalan dan merangsang efek berganda dalam mengurangi kemiskinan, angka kematian ibu dan anak, serta menghindari pernikahan di bawah umur atau pernikahan dini.

Tindakan UNESCO memajukan kesetaraan jenis kelamin melalui pendidikan

Terlalu banyak perempuan (anak dan juga dewasa) yang masih terkekang oleh norma sosial dan praktik sekolah tradisional yang berdampak menjegal hak dan peluang kaum perempuan pada pendidikan. Padahal diketahui bahwa pendidikan yang merata untuk semua orang (laki dan Perempuan) merupakan investasi yang sangat kuat di masa depan kita bersama.

UNESCO mempromosikan kesetaraan gender di seluruh sistem pendidikan, termasuk partisipasi dalam penerimaan masuk, juga dalam praktik pendidikan itu sendiri (isi, konteks dan praktik belajar mengajar) dan melalui pendidikan (hasil belajar, peluang setelah lulus untuk hidup dan bekerja). 

Tindakan ini dipandu oleh Strategi UNESCO untuk Kesetaraan Gender dalam dan melalui Pendidikan (2019-2025) dan Rencana Aksi Kesetaraan Gender ((https://unesdoc.unesco.org/). 

Fokus UNESCO adalah transformasi pendidikan  ini menjadi sistemik (tidak lagi dianggap keganjalan). Pendidikan memberikan manfaat yang sama bagi semua peserta didik, dalam tiga bidang prioritas: pengumpulan data yang lebih baik untuk dijadikan masukan dalam tindakan, penerapan kerangka hukum dan kebijakan yang lebih baik untuk memajukan hak-hak peserta didik, dan penerapan praktik mengajar dan belajar yang lebih baik dan mandiri  (l’autonomisation). 

Fokus khusus UNESCO dalam bidang  pendidikan perempuan (anak  dan dewasa) melalui inisiatif pendidikan mereka adalah masa depan kita (son éducation, notre avenir). 

UNESCO merancang program  untuk mempercepat tindakan dan leadership dalam bidang ini. UNESCO mendukung negara-negara melalui platform seperti Platform Global untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan anak Perempuan dan Perempuan( Plateforme mondiale pour l’égalité des genres et l’autonomisation des filles et des femmes), serta kemitraan seperti Kemitraan Strategis Pendidikan Anak Perempuan UNESCO-CJ.

Selain itu, UNESCO juga menerbitkan laporan pemantauan mendunia mengenai kesetaraan gender dalam pendidikan dan melacak perkembangan seluruh indikator pendidikan di berbagai negara dan kelompok masyarakat melalui Database on Global Inequalities in Education (WIDE).

Mengapa pendidikan STEM penting bagi anak perempuan dan perempuan?

UNESCO berfokus pada pendidikan sains, teknologi, enginering, dan matematika (STEM: Science, Technology, Engineering & Mathematics) untuk mengatasi rendahnya jumlah anak perempuan dan perempuan yang bergulat di bidang ini, baik di sekolah maupun di dunia kerja. 

Terlalu banyak kaum perempuan (anak dan dewasa) yang terkekang oleh prasangka, norma-norma sosial dan tuntutan sosial yang mempengaruhi pendidikan yang mereka terima dan mata pelajaran yang mereka pelajari. 

Kesenjangan yang paling besar terdapat dalam bidang teknik dan TIC /Information and communication technologiesICT , perempuan muda hanya mencakup 25% pelajar di 2/3 negara yang mengelola  data. 

Menurut UNESCO, Cracking the Code: STEM ( Education for Girls and Women), merupakan laporan pertama yang menyoroti hambatan yang mencegah keterlibatan anak perempuan dan perempuan menekuni disiplin ilmu ini, dan memberikan solusi praktis untuk mengatasi hambatan tersebut. 

UNESCO mendukung negara-negara untuk menyelenggarakan mata pelajaran STEM yang transformatif dan menjawab untuk kepincangan gender mengenai jumlah peminat untuk memicu minat dan partisipasi anak perempuan dan perempuan di bidang-bidang yang dianggap penting bagi masa depan kita bersama.

Mengapa STEM diperlukan

Bukan hanya pendidikan menengah yang menawarkan orientasi STEM : Sains, Teknologi, Engineering dan Matematika  populer di universitas, perguruan tinggi dan sekolah malam hari (kursus atau sekolah yang diperuntukkan orang-orang yang bekerja pada siang hari, dan bisa belajar pada malam hari). Sarjana muda dan master sekarang dapat dilengkapi dengan tambahan ilmu di bidang matematika, ilmu eksakta, teknologi atau TIC.

Tujuan STEM adalah untuk memungkinkan lulusan (segala jurusan) mendapatkan pekerjaan ilmiah atau teknis. Dengan pelatihan tradisional, lebih sedikit pencari kerja yang mempunyai kesempatan karena pengetahuan ilmiah mereka terlalu rendah. Misalnya, seorang ahli sejarah, yang bekerja di siang hari, mengikuti kuliah malam untuk mendapatkan gelar insinyur. Hal ini mungkin dilakukan.

Tindakan UNESCO untuk memulihkan kesetaraan Setelah penutupan sekolah akibat COVID-19.

Penutupan sekolah secara nasional telah berdampak pada lebih dari 1,5 miliar pelajar, mulai dari pendidikan pra-sekolah dasar hingga pendidikan menengah. Sebuah program utama mengenai kesetaraan gender, di bawah naungan badan Koalisi Pendidikan Dunia (Coalition mondiale pour l’éducation) yang membantu negara-negara memulihkan kesetaraan dan mempertahankan kemajuan yang telah dicapai selama 25 tahun terakhir di bidang pendidikan dan kesetaraan gender.

UNESCO dan pengurus dari program utama ini berada mengibarkan kampanye bertajuk “Anak Perempuan di Garis Depan” (https://www.unesco.org/en/covid-19/education-response/keeping-girls-picture) yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya keberlangsungan pendidikan bagi anak perempuan dalam konteks COVID-19 dan kembalinya anak perempuan ke sekolah dengan aman.

Laporan yang terkumpul dari seluruh dunia ” When schools shut/ Saat sekolah ditutup” (https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000379270) memberikan informasi penting tentang mengakui adanya kepincangan jenis kelamin berhubungan dengan penutupan sekolah terkait COVID, dan ”Membangun kembali kesetaraan/ Reconstruire l’égalité: le guide de rescolarisation des filles”https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000379270): panduan untuk mengembalikan anak perempuan ke sekolah membantu pembuat kebijakan dan praktisi di Kementerian Pendidikan dan mitra mereka untuk memastikan kesinambungan pendidikan bagi anak perempuan dan menetapkan rencana yang berdasarkan bukti agar mereka dapat kembali ke sekolah dengan aman.

Meskipun UNESCO banyak mencari tahu tentang keadaan pendidikan  kaum perempuan di suatu negara, dan melakukan kebijakan atas dasar informasi yang didapat.  Bagaimana kita bisa mengukur keadaan dunia dalam kaitannya dengan ketidaksetaraan gender dan pendidikan anak perempuan, di Afghanistan atau di Perancis, di Meksiko, atau di Liberia? Apakah hal ini hanya mungkin terjadi mengingat adanya perbedaan antar wilayah, negara, dan masyarakat?

Jika kita mencermati kemajuan dari laporan UNESCO dan badan-badan asosiasi lainnya,  kita melihat gambaran dunia yang sebenarnya. Anak-anak perempuan, remaja atau perempuan ini dilarang bersekolah di negara-negara tertentu di wilayah  Asia tenggara, dan juga mereka  yang dipaksa bekerja di ladang yang bukan milik mereka  di Afrika, pekerja tekstil di Bangladesh, pengurangan jumlah pembantu rumah tangga di negara-negara tersebut. 

Di Indonesia, kaum perempuan banyak bekerja di negara-negara arab seperti Saudi, Dubai, bahkan di Singapura dan Malaysia. Kehidupan mereka terkadang  tidak jauh dari korban perbudakan modern.  Perempuan-perempuan dari negara berkembang atau miskin, dijadikan budak  di Asia Tenggara atau Timur Tengah, pelacuran di Eropa atau Amerika, dll.. Apakah orang-orang ini mengatakan bahwa mereka memilih profesi mereka? Tahukah mereka apa itu feminisme? Apakah mereka membayangkan bahwa mereka bisa menjadi orang lain selain anak-istri-ibu?

Terkadang para perempuan tidak cukup puas berperan hanya sebagai anak, istri dan ibu, bahkan terkadang juga  perempuan Indonesia terpaksa harus bekerja keras menjadi Tenaga Kerja Wanita atau bahkan mencari nafkah di belahan dunia lain untuk menghidupi keluarganya yang miskin di negaranya.

Sumber:

https://www.unesco.org
https://globaleducationcoalition.unesco.org/home
https://www.jobat.be
https://www.letudiant.fr
https://www.insee.fr/fr/statistiques/6047727?sommaire=6047805#consulter