Tradisi Panjang Kuliner Nusantara

Sejak lebih dari enam ratus tahun yang lampau, Indonesia dikenal sebagai negeri penghasil rempah yang melimpah. Dari bumbu berdasar rempah inilah banyak masakan khas Indonesia tercipta yang terkenal hingga ke mancanegara. Rempah merupakan bahan dasar untuk meracik makanan dan minuman yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan cita rasa dan menghangatkan tubuh. Rempah menarik bangsa Eropa untuk menguasai Nusantara pada abad XVI hingga pertengahan abad XX. Bangsa Portugis masuk ke Nusantara dipimpin oleh pelaut terkenal Alfonso de Albuquerque pada tahun 1552 dengan tujuan untuk mencari rempah. Sejak saat itu, mulailah ekspansi besar-besaran bangsa Eropa ke Nusantara untuk berniaga rempah-rempah, hingga kolonialisasi oleh bangsa Belanda selama lebih dari 350 tahun.

Tulisan ini mencoba menguraikan tentang tradisi Panjang Kuliner Nusantara. Termasuk   peranan perempuan dalam tata boga. Tata boga yang dimaksud memiliki 2 (dua) makna, yaitu tata boga sebagai ilmu (science) dan boga sebagai produk (product) dalam bentuk variasi makanan yang menjadi hajat hidup manusia yang paling pokok. Hal berikutnya tentang perempuan. Ada perjalanan panjang yang bila dirunut secara historis tentang peranan wanita sebagai pihak yang “dominan” memberi warna tentang berbagai variasi makanan dan kuliner yang yang dihasilkan. Ada empat alasan mengapa penulis memilih kajian ini sebagai hot issues dalam perjalanan panjang kuliner Nusantara.

Pertama, secara historis, makanan Indonesia adalah salah satu tradisi kuliner yang paling kaya di dunia karena penuh rasa cita dengan bahan dan bentuk yang variatif. Menurut sejarah, jejak kuliner Indonesia telah didapati dalam sejumlah prasasti abad ke-8 sampai ke-10 Masehi. Ketika itu, istilah boga telah dikenal, yakni makanan yang berhubungan dengan dapur yang dibuat dengan sentuhan seni dan memberikan kenikmatan. Hal itu banyak didapati pada prasasti Jawa dan Sumatra. Kekayaan jenis masakan atau boga ini menjadi cermin kekayaan jenis makanan khas Nusantara. Hampir semua kuliner khas Indonesia kaya dengan bumbu tradisional yang berasal dari tumbuhan sekitar yang tumbuh subur di berbagai pelosok Nusantara. Pada dasarnya, tidak ada satu bentuk tunggal ‘masakan khas Indonesia’. Banyak keragaman makanan daerah yang dipengaruhi oleh budaya lokal dan ketersediaan bahan baku makanan khas tersebut yang tersedia melimpah di daerah masing masing. Sebagai contoh, beras dikenal sebagai makanan pokok bagi mayoritas penduduk Indonesia. Beras diolah menjadi nasi putihketupat atau lontong (beras yang dikukus). Namun, masyarakat di bagian timur Indonesia lebih umum mengonsumsi sagujagungsingkong, dan ubi jalar sebagai makanan pokok. 

Kedua, bila dikaji dari telaah gastronomis, jenis makanan dan tata boga berkorelasi erat dengan budaya, adat istiadat dan tradisi bangsa. Gastronomi atau tata boga adalah seni, atau ilmu akan makanan yang baik (good eating).  Sumber lain menyebutkan gastronomi sebagai studi mengenai hubungan antara budaya dan makanan, di mana gastronomi mempelajari berbagai komponen budaya dengan makanan sebagai pusatnya.  Gastronomi bersifat kultural karena gastronomi adalah produk budidaya pada kegiatan pertanian sehingga pengejawantahan warnaaroma, dan rasa dari suatu makanan dapat ditelusuri asal-usulnya dari lingkungan tempat bahan bakunya dihasilkan.

Ketiga, keterkaitan makanan/boga dengan perempuan. Berpijak pada telaah sejarah kuliner, kehidupan perempuan pada masa lalu identik dengan pekerjaan yang berkaitan dengan “kasur, sumur, dan dapur”.  Frasa ini mencerminkan adanya anggapan bahwa pekerjaan perempuan berkaitan erat dengan urusan rumah tangga sehari-hari. Walaupun zaman telah berubah, melalui emansipasi perempuan, peran perempuan erat kaitan dengan pekerjaan domestik dalam keluarga. Kata kasur atau juga sering disebut matras atau ranjang adalah produk tradisional ataupun manufaktur yang digunakan untuk alas tidur atau berbaring, yang terdiri dari bahan kain atau plastik, berisi kapuk, karet busa, dan ditutupi dengan kain luar atau kain. Makna ‘sumur’ lebih bercirikan sumber kehidupan dalam keluarga. Sumur adalah simbol kebersihan dan kebaikan. Para istri diharapkan suka menjaga kebersihan diri, pakaian, serta peralatan rumah tangga. Sumur juga menjadi simbol kesucian, karena air jernih itu digunakan untuk bersuci dari hadtas besar dan kecil. Melalui sumber air inilah kehidupan keluarga dimulai, dari aktifitas domestik di cuci mandi, sampai pada kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan, kebersihan dalam keluarga atau dalam tatanan masyarakat yang lebih luas. Makna ‘dapur’ lebih merefleksikan peran istri sebagai pengendali dan chef untuk urusan ketahanan pangan keluarga.

Keempat, pada zaman milenial seperti sekarang ini, peran boga, kuliner dan perempuan mendapatkan tempat yang semakin baik. Kuliner sebagai hasil olahan berupa masakan atau minuman, tak dapat dipisahkan dengan gaya hidup masyarakat. Saat ini, makanan memiliki makna lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan pokok. Makanan memiliki kelas yang beragam, mulai dari makanan sederhana yang dihidangkan di rumah atau emperan pinggiran jalan sampai makanan mahal yang berkelas tinggi dan mewah yang disajikan di restoran dan hotel berbintang. Profesi pengolahnya pun beragam mulai dari tukang masak, juru dapur di warung sempit, atau koki di resoran sederhana, sampai chef berkaliber nasional dan internasional di restoran mahal dan hotel berbintang. Seiring perkembangan zaman, para pelaku di bidang kuliner tidak lagi terbatas pada perempuan, namun juga laki-laki.

  Jejak kuliner Indonesia telah didapati dalam sejumlah prasasti di Jawa dan Sumatra pada abad ke-8 hingga ke-10 Masehi. Ketika itu, istilah boga telah dikenal sebagai makanan yang berhubungan dengan dapur yang dibuat dengan sentuhan seni dan memberikan kenikmatan.  Sayangnya, kuliner di wilayah timur Indonesia belum banyak diungkap. Dari sedikit catatan yang ditemukan, bahan makanan dari Indonesia Timur memiliki bahan yang homogen, yaitu sagu. Secara umum, teknik memasak dan bahan makanan asli Indonesia berkembang karena adanya pengaruh dari seni kuliner India, Timur Tengah, Cina, dan akhirnya Eropa. 

Kebijakan pemerintah kolonial Belanda melalui Politik Etis pada tahun 1902 ditandai dengan didirikannya Huishoudschool bagi perempuan. Huishoudschool merupakan sekolah kejuruan perempuan yang mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga seperti menjahit dan memasak. Adanya sekolah rumah tangga (Huishoudschool) menjadi sarana penting para perempuan untuk mengekspresikan diri dan saling bertukar resep masakan Nusantara pada masa tersebut. Dalam berbagai literatur juga dikemukakan bahwa aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh kaum perempuan pada zaman dulu juga menjadi sebab dari tersebarnya makanan Nusantara. Perempuan pedagang pada masa itu biasa menjual sejenis minuman tradisional yang bernama segoweer. Minuman ini dibuat dengan meragi sari tangkai bunga mentah dari sejenis pohon palem. Minuman tersebut banyak diminati oleh kalangan pendatang, khususnya orang-orang Belanda yang menjajah bangsa Indonesia (Hidayatullah, 2020).

Itulah perjalanan  panjang Kuliner Nusantara. Pada zaman milenial seperti sekarang ini, peran boga, kuliner dan perempuan mendapatkan tempat yang semakin baik.  Kuliner  memiliki makna lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan pokok. Kuliner memiliki kelas yang beragam. Kuliner tersaji mulai dari makanan sederhana yang dihidangkan emperan pinggiran jalan. sampai makanan mahal yang berkelas tinggi dan mewah yang disajikan di restoran dan hotel berbintang. Profesi pengolahnya pun beragam mulai dari tukang masak, juru dapur di warung sempit, atau koki di resoran sederhana, sampai chef berkaliber nasional dan internasional (Yulia Rahmawati/Ketua Program Studi Pendidikan Tata Boga, FPTK UPI)