Forum Orbicom-Unesco “Meningkatkan Kualitas Guru Masa Depan”

Universitas Pendidikan Indonesia merpakan salah satu universitas pencetak guru yang harus memiliki modal dan updating ilmu serta informasi guru yang mampu menjadi figur sepanjang hayat. Memang sulit untuk mendapatkan profil lulusan guru yang berkualitas, terutama pada tahap proses pembekalan calon guru. Namun demikian UPI dengan kurikulum unggulan yang dimilikinya serta dukungan teknologi pembelajaran yang dimilikinya telah mampu menyelenggarakan sistem layanan pendidikan guru yang modern.

Salah satu layanan program pendidikan yang sedang mengalami dilematis di Indonesia adalah Keberhadaan Guru Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Dari fenomena tentang guru TIK ini maka sejumlah studi dilakukan, diantaranya oleh Komunitas Guru TIK (KOGTIK), Asosiasi Guru TIK Indonesia, dan sejumlah penggerak dan organisasi professional guru TIK lainnya. Sejumlah solusi sedang dilakukan baik melaui kelembagaan formal maupun organisasi profesi guru yang ada di Indonesia. Dari upaya pencarian soluasi inilah maka UNESCO dengan salah satu kajian program pendidikannya mencoba mengajak untuk menemukan sejumlah solusi yang mampu menyelesaikan kondisi guru TIK tersebut.

Pada kesempatan simposium yang diselenggarakan UNESCO maka salah seorang delegasi dari UPI yang mencoba berkiprah pada organisasi pendidikan dan kebudayaan tingkat dunia ini mencoba memaparkan hasil risetnya tentang upaya mencarikan solusi dan pengembangan mutu pendidikan TIK di Indonesia. Dari tema yang ditawarkan oleh UNESCO pada simposium yang ke-6 di Jakarta ini maka delegasi dari UPI yang mewakili Indonesia dalam dunia pendidikan yaitu Deni Darmawan memaparkan papernya yang berjudul “Reconciliation Of Conflict Ict Communication as a Subject Matter at School Level in Indonesia”. Adapun tema secara keseluruhan dari yang ditawarkan oleh UNESCO melalui COSDEV (Communication Sustainable Development), yaitu mencakup:

Tema yang diusung oleh delegasi Indonesia dalam hal ini oleh UPI cukup mendapatkan apresiasi dari peserta yang hadir mengingat ada sejumah peserta yang  berpartisipasi menjadi audiens secara online, khususnya dari kelompok KOGTIK dan Asosiasi guru TIK. Beberapa harapan juga disampaikan oleh partisipan online tersebut, diantaranya solusi untuk mengembalikan mata pelajaran TIK ke dalam Kurikulum 2013. Adapun solusi yang dipaparkan oleh Deni Darmawan, diantaranya menekankan pada upaya melakukan komunikasi secara Biocommunication, yaitu lebih mendekatkan berbagai pihak yang terlibat dalam persoalan guru TIK untuk mampu memperoleh solusi mulai dari (a) mengamati dan menyimak kembali duduk persoalannya seperti apa; (b) Dirasakan apa yang lebih baik untuk dijadikan solusi pemecahannya; (c) bagaimana dipahami secara komprehensif atas permasalahan tersebut; dan (d) melakukan tindakan-tindakan strategis sebagai solusi pemecahan masalah tersebut. Melalui keempat tahapan dari “Biocommunication” ini dapat dilakukan dengan media social WathApps, dimana antar satu sama lain dapat dengan terbuka untuk menyampaikan solusinya. Demikian yang dapat dilakukan oleh pihak Puskurbuk, Kemenristek dan Balitbang Dikbud dalam menyikapi dan menyampaikan sejumlah solusi sehingga peran dan fungsi Mata Pelajaran TIK yang selama ini menjadi perbincangan di kalangan guru TIK terpecahkan secara bijak.

Dari respon presiden Orbiciom-UNIESCO dalam hal ini Bertrant Cabedoche (2017) menyampaikan rasa tertariknya dengan sejumlah analisa yang disampaikan tentang tema dari delegasi UPI yang mewakili kemendikbud dalam hal pembangunan pendidikan dan rekonsiliasi atas tantangan yang dihadapinya. Kedepan mungkin analisa lebih strategis dan menyeluruh dapat dilakukan dalam sebuah studi yang lebih baik dengan melibatkan para peneliti dari UNESCO, mengingat dari kajian sementara yang disampaikan oleh Deni Darmawan, diantaranya berbasis pada data tentang pembangunan ICT di wilayah ASIA tenggara, dengan data sebagai berikut.

Sebagai sebuah solusi bahwa TIK atau ICT ini merupakan sebuah ilmu dan harus diajarkan dipersekolahan yaitu sebagai mata pelajaran. Jika ICT dipandang sebagai mata pelajaran sudah pasti telah banyak dilakukan di sejumlah negara-negara Eropa, Amerika bahkan wilayah asis sendiri. Berikut adalah laporan riset yang dilakukan UNESCO (2014), yang menjelaskan tentang ICT masuk dalam Kurikulum dan dipelajari di kelas. Kajian dari Unesco menyatakan bahwa “ICT is ubiquitous in Asia in high-income and/or developed countries, while in many developing countries its integration and use – especially more advanced forms of ICT and broadband connectivity – often lag behind other social and economic spheres, including general communications, employment and commerce. As a consequence, children and youth in these countries frequently learn more about how to use ICT informally outside of the school system than in the classroom.”

Mengenai kekeliruan yang terjadi selama ini di Indonesia, dimana ICT dijadikan bahan Bimbingan (guidance) TIK oleh mantan guru TIK kepada siswa secara sederhana. Prosesnya dilakukan dengan tidak menempatkan ICT sebagai mata pelajaran, dengan demikian kondisi ini cukup melemahkan profesionalitas guru TIK dan kevalidan TIK sebagai ilmu. Berdasarkan hasil studi dokumentasi, sudah pasti di negara-negara Asia ICT masuk ke dalam kurikulum nasional dan dipelajari oleh siswa mulai dari pendidikan dasar dan menengah, sebagaimana dijelaskasn dalam laporan riset UNESCO (2011:14) bahwa: “Nonetheless, as the integration of ICT in education rises and evolves with evermore sophisticated tools, and participation and transition rates to higher levels of education increase, children and adults will increasingly need to develop digital literacy, not only for life skills but also to support their education throughout the secondary, post-secondary and tertiary levels. The early integration of ICT into primary and secondary curricula through formal recommendations is therefore vital and moreover acts as an important lever for ensuring the introduction and implementation of ICT into educational institutions and classrooms.”

Dari penjelasan riset UNESCO tersebut jelas bahwa ICT bukan hanya sebagai pelengkap dalam kehidupan siswa sehari-hari, namun lebih dari itu harus masuk ke dalam kurikulum dunia pendidikan dan dipelajari dengan baik di kelas. Artinya dapat ditegaskan bahwa tidak ada yang istilah Bimbingan atau Counseling untuk ICT dalam dunia pendidikan dan pembelajaran ICT di kelas yang dilakukan di negara-negara Asia.

Semoga apa yang disampaikan oleh delegasi Indonesia untuk bidang pembangunan pendidikan dan solusi atas tantangan yang ada, khususnya mengenai pembangunan ICT menjadi lebih maju lagi setelah ditemukannya dan disepakatinya solusi atas program pendidikan dan kebudayaan. Pada akhirnya proses komunikasi bermedia yang dibahas serta sejumlah studi komparasi data riset dari UNESCO dapat menjadi input bagi semua pihak terkait dalam meluruskan kembali persoalan-persoalan guru TIK di tanah air ini. Pada akhirnya semua yang dilakukan oleh para guru, asosiasi, komunitas, Puskurbuk, dan Balitbang Kemendikbud dapat memperoleh solusi terbaik dalam hal ini. (DD/DN)